Sengkarut
Pengadilan Tipikor
Saldi Isra ; Guru Besar Hukum Tata Negara, Direktur Pusat Studi
Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang
|
SINDO,
27 Agustus 2012
Saat
merayakan peringatan Hari Ulang Tahun Kemerdekaan Republik Indonesia Ke-67,
kita dikejutkan khabar tak sedap: dua hakim pengadilan tindak pidana korupsi
(tipikor) ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Semarang, Jawa
Tengah.
Penyandang
simbol Dewi Themis yang ditangkap KPK: Kartini Juliana Mandalena Marpaung hakim
ad hoc Pengadilan Tipikor Semarang
dan Heru Kusbandono hakim Tipikor Pontianak. Bagi sejumlah kalangan, kejadian
tersebut benar-benar merusak suasana khidmat merayakan Hari Kemerdekaan. Dikatakan
demikian, hari yang harusnya dimaknai sebagai hari pembebasan belenggu penjajah
(termasuk dijajah perilaku koruptif) justru dijadikan sebagai momentum untuk
merusak makna hakiki kehadiran seorang hakim.
Bagi mereka, boleh jadi, makna merdeka (baik dalam konteks kemerdekaan maupun posisi hakim yang merdeka) diartikan sebagai kebebasan menyelewengkan kekuasaan, termasuk melakukan suap. Tanpa mengaitkan dengan momentum peringatan Hari Kemerdekaan pun, kejadian yang menimpa dua hakim pengadilan tipikor itu menjadi salah satu titik kulminasi segala macam perdebatan yang hadir seputar pembentukan pengadilan tipikor di daerah.
Paling tidak,perdebatan seperti tidak berkesudahan terutama setelah pengadilan tipikor menujukan kecenderungan membebaskan para tersangka korupsi. Karena kecenderungan itu, pengadilan tipikor pernah dipelesetkan menjadi “pengadilan titipan koruptor”.
Karena itu, pertanyaan elementer yang mengikuti penangkapan hakim tipikor itu: apa sebetulnya yang terjadi dengan pengadilan tipikor? Pertanyaan tersebut atau gugatan lain yang sejenis mendapat ruang luas untuk dimunculkan. Bagaimanapun sengkarut yang menimpa pengadilan tipikor harus dibahas sebelum kehadirannya benar-benar menjadi tempat berlindung yang nyaman bagi para pencoleng uang rakyat.
Proyek Ambisius
Melihat luas dan masifnya praktik korupsi yang terjadi di negeri ini, banyak pihak menilai bahwa pengadilan tipikor yang dibentuk berdasarkan UU No 30/2002 tentang KPK masih jauh dari cukup untuk mempercepat pemberantasan korupsi. Dalam hal ini, Pasal 54 ayat (2) UU No 30/2002 menyatakan bahwa untuk pertama kali pengadilan tipikor dibentuk pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang wilayah hukumnya meliputi seluruh wilayah negara Republik Indonesia.
Dengan dasar pemikiran itu, sejalan dengan amanat Putusan Mahkamah Konstitusi No 012- 016/PUU-IV/2006 yang menilai dasarpembentukanpengadilan tipikor di bawah UU No 30/2002 adalah bertentangan dengan UUD 1945. Cara tunggal mempertahankan eksistensi pengadilan tipikor adalah membentuk undang-undang sendiri. Setelah melalui perdebatan panjang nan melelahkan dalam rentang waktu mendekati tiga tahun, akhirnya disahkan UU No 46/2009 tentang Pengadilan Tipikor.
Dengan pengesahan itu,keberadaan pengadilan tipikor bisa terselamatkan. Yang menggembirakan, konsiderans menimbang UU No 49/2009 secara eksplisit mengakui bahwa korupsi telah menimbulkan kerusakan dalam berbagai sendi kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara sehingga upaya pencegahan dan pemberantasannya perlu dilakukan secara terus-menerus dan berkesinambungan.
Barangkali karena pertimbangan itu pula pembentuk UU No 49/2009 secara eksplisit mengatur bahwa pengadilan tipikor menjadi satu-satunya pengadilan yang berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tindak pidana korupsi. Namun, di balik itu semua, beberapa substansi UU No 49/2009 menjadi semacam proyek ambisius dalam agenda pemberantasan korupsi terutama rencana pembentukan pengadilan tipikor.
Proyek penuh ambisi dapat dibaca dari Pasal 3 UU No 49/2009 yang meniscayakan pembentukan pengadilan tipikor di seluruh wilayah Indonesia. Ditegaskan lagi, pengadilan tipikor berkedudukan pada setiap ibu kota kabupaten/kota yang daerah hukumnya meliputi daerah pengadilan negeri bersangkutan. Keberadaan ketentuan bahwa untuk pertama kali pengadilan tipikor dibentuk pada setiap pengadilan negeri di ibu kota provinsi bahkan tidak bisa menghindari kesan ambisius tersebut.
Secara substansial, keinginan membentuk pengadilan di seluruh wilayah Indonesia sangat dapat dipahami di tengah wabah korupsi yang kian meluas. Kendati begitu, melihat fakta yang terjadi dalam beberapa waktu belakangan, rasanya ada yang tidak tepat dengan membentuk pengadilan tipikor di setiap pengadilan negeri di ibu kota provinsi. Tentunya pilihan begitu akan terasa lebih tidak tepat lagi sekiranya benar-benar dibentuk di seluruh kabupaten/kota.
Barangkali berkaca dari peristiwa tertangkapnya dua hakim Pengadilan Tipikor Semarang tempo hari dan merujuk kecenderungan vonis bebas di sejumlah daerah, upaya pemenuhan kewajiban pembentukan pengadilan tipikor di setiap daerah harus dipikirkan kembali. Demi mencapai tujuan hakiki penegakan hukum pemberantasan korupsi, pengalaman awal pembentukan pengadilan tata usaha negara (PTUN) bahkan tidak ada salahnya dijadikan sebagai rujukan. Artinya, kebutuhan membentuk pengadilan tipikor tidak perlu di setiap provinsi, apalagi di setiap kabupaten/kota.
Kebutuhan Hakim
Saya tidak sepakat dengan pandangan bahwa penangkapan di Semarang adalah cerminan gagalnya hakim ad hoc. Jauh lebih tidak sepakat lagi untuk tergesa-gesa memvonis bahwa hakim ad-hoc tipikor tidak diperlukan lagi. Paling tidak, berkaca dari pengalaman di bawah UUNo30/2002 pada pengadilan tipikor di Jakarta Pusat, hakim ad hoc justru yang jauh lebih memberikan harapan dalam memberantas korupsi.
Boleh jadi, jika hakim ad hoc tidak ada, harapan memberantas korupsi melalui pengadilan tipikor telah meluruh sejak lama. Pada konteks itu, tertangkapnya dua hakim tipikor tersebut menjadi pembenaran empirik betapa tidak mudahnya mencari hakim ad hoc yang ideal, terutama yang memiliki tingkat tahan godaan tertinggi. Dulu pada Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat perilaku menyimpang sebagaimana yang dilakukan hakim Kartini Marpaung dan Heru Kusbandono nyaris tak terdengar.
Kondisi positif itu salah satunya ditentukan oleh jumlah pengadilan tipikor yang hanya terbatas. Dengan jumlah demikian, menjadi lebih mudah mendapatkan hakim-hakim berintegritas. Kini dengan keharusan ada pengadilan tipikor di setiap pengadilan negeri di ibu kota provinsi, kebutuhan akan hakim ad hoc meningkat tajam. Padahal jamak dipahami, mencari sosok hakim yang memiliki integritas bukan masalah sederhana.
Sulit dibantah, perekrutan yang dilakukan dalam waktu yang terbatas sulit untuk melacak jejak rekam calon secara akurat. Begitu jadi hakim, keadaannya bisa menjadi lebih parah karena minimnya pengawasan. Hakim Kartini Marpaung misalnya yang telah membebaskan lima tersangka korupsi dari sejak lama harusnya telah diberi sinyal dalam bentuk shock therapy.
Agar tidak menjadi lebih parah, untuk segera keluar dari sengkarut yang menimpa pengadilan tipikor, langkah darurat yang harus dilakukan adalah meninjau ulang jumlah pengadilan tipikor. Tak hanya itu, langkah lainnya, moratorium pembentukan pengadilan tipikor.
Khusus hakim, harus ada keberanian melakukan penilaian ulang terhadap semua hakim tipikor.Tanpa langkah darurat, pengadilan tipikor akan segera berubah menjadi monumen pembunuhan agenda antikorupsi! ●
Bagi mereka, boleh jadi, makna merdeka (baik dalam konteks kemerdekaan maupun posisi hakim yang merdeka) diartikan sebagai kebebasan menyelewengkan kekuasaan, termasuk melakukan suap. Tanpa mengaitkan dengan momentum peringatan Hari Kemerdekaan pun, kejadian yang menimpa dua hakim pengadilan tipikor itu menjadi salah satu titik kulminasi segala macam perdebatan yang hadir seputar pembentukan pengadilan tipikor di daerah.
Paling tidak,perdebatan seperti tidak berkesudahan terutama setelah pengadilan tipikor menujukan kecenderungan membebaskan para tersangka korupsi. Karena kecenderungan itu, pengadilan tipikor pernah dipelesetkan menjadi “pengadilan titipan koruptor”.
Karena itu, pertanyaan elementer yang mengikuti penangkapan hakim tipikor itu: apa sebetulnya yang terjadi dengan pengadilan tipikor? Pertanyaan tersebut atau gugatan lain yang sejenis mendapat ruang luas untuk dimunculkan. Bagaimanapun sengkarut yang menimpa pengadilan tipikor harus dibahas sebelum kehadirannya benar-benar menjadi tempat berlindung yang nyaman bagi para pencoleng uang rakyat.
Proyek Ambisius
Melihat luas dan masifnya praktik korupsi yang terjadi di negeri ini, banyak pihak menilai bahwa pengadilan tipikor yang dibentuk berdasarkan UU No 30/2002 tentang KPK masih jauh dari cukup untuk mempercepat pemberantasan korupsi. Dalam hal ini, Pasal 54 ayat (2) UU No 30/2002 menyatakan bahwa untuk pertama kali pengadilan tipikor dibentuk pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang wilayah hukumnya meliputi seluruh wilayah negara Republik Indonesia.
Dengan dasar pemikiran itu, sejalan dengan amanat Putusan Mahkamah Konstitusi No 012- 016/PUU-IV/2006 yang menilai dasarpembentukanpengadilan tipikor di bawah UU No 30/2002 adalah bertentangan dengan UUD 1945. Cara tunggal mempertahankan eksistensi pengadilan tipikor adalah membentuk undang-undang sendiri. Setelah melalui perdebatan panjang nan melelahkan dalam rentang waktu mendekati tiga tahun, akhirnya disahkan UU No 46/2009 tentang Pengadilan Tipikor.
Dengan pengesahan itu,keberadaan pengadilan tipikor bisa terselamatkan. Yang menggembirakan, konsiderans menimbang UU No 49/2009 secara eksplisit mengakui bahwa korupsi telah menimbulkan kerusakan dalam berbagai sendi kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara sehingga upaya pencegahan dan pemberantasannya perlu dilakukan secara terus-menerus dan berkesinambungan.
Barangkali karena pertimbangan itu pula pembentuk UU No 49/2009 secara eksplisit mengatur bahwa pengadilan tipikor menjadi satu-satunya pengadilan yang berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tindak pidana korupsi. Namun, di balik itu semua, beberapa substansi UU No 49/2009 menjadi semacam proyek ambisius dalam agenda pemberantasan korupsi terutama rencana pembentukan pengadilan tipikor.
Proyek penuh ambisi dapat dibaca dari Pasal 3 UU No 49/2009 yang meniscayakan pembentukan pengadilan tipikor di seluruh wilayah Indonesia. Ditegaskan lagi, pengadilan tipikor berkedudukan pada setiap ibu kota kabupaten/kota yang daerah hukumnya meliputi daerah pengadilan negeri bersangkutan. Keberadaan ketentuan bahwa untuk pertama kali pengadilan tipikor dibentuk pada setiap pengadilan negeri di ibu kota provinsi bahkan tidak bisa menghindari kesan ambisius tersebut.
Secara substansial, keinginan membentuk pengadilan di seluruh wilayah Indonesia sangat dapat dipahami di tengah wabah korupsi yang kian meluas. Kendati begitu, melihat fakta yang terjadi dalam beberapa waktu belakangan, rasanya ada yang tidak tepat dengan membentuk pengadilan tipikor di setiap pengadilan negeri di ibu kota provinsi. Tentunya pilihan begitu akan terasa lebih tidak tepat lagi sekiranya benar-benar dibentuk di seluruh kabupaten/kota.
Barangkali berkaca dari peristiwa tertangkapnya dua hakim Pengadilan Tipikor Semarang tempo hari dan merujuk kecenderungan vonis bebas di sejumlah daerah, upaya pemenuhan kewajiban pembentukan pengadilan tipikor di setiap daerah harus dipikirkan kembali. Demi mencapai tujuan hakiki penegakan hukum pemberantasan korupsi, pengalaman awal pembentukan pengadilan tata usaha negara (PTUN) bahkan tidak ada salahnya dijadikan sebagai rujukan. Artinya, kebutuhan membentuk pengadilan tipikor tidak perlu di setiap provinsi, apalagi di setiap kabupaten/kota.
Kebutuhan Hakim
Saya tidak sepakat dengan pandangan bahwa penangkapan di Semarang adalah cerminan gagalnya hakim ad hoc. Jauh lebih tidak sepakat lagi untuk tergesa-gesa memvonis bahwa hakim ad-hoc tipikor tidak diperlukan lagi. Paling tidak, berkaca dari pengalaman di bawah UUNo30/2002 pada pengadilan tipikor di Jakarta Pusat, hakim ad hoc justru yang jauh lebih memberikan harapan dalam memberantas korupsi.
Boleh jadi, jika hakim ad hoc tidak ada, harapan memberantas korupsi melalui pengadilan tipikor telah meluruh sejak lama. Pada konteks itu, tertangkapnya dua hakim tipikor tersebut menjadi pembenaran empirik betapa tidak mudahnya mencari hakim ad hoc yang ideal, terutama yang memiliki tingkat tahan godaan tertinggi. Dulu pada Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat perilaku menyimpang sebagaimana yang dilakukan hakim Kartini Marpaung dan Heru Kusbandono nyaris tak terdengar.
Kondisi positif itu salah satunya ditentukan oleh jumlah pengadilan tipikor yang hanya terbatas. Dengan jumlah demikian, menjadi lebih mudah mendapatkan hakim-hakim berintegritas. Kini dengan keharusan ada pengadilan tipikor di setiap pengadilan negeri di ibu kota provinsi, kebutuhan akan hakim ad hoc meningkat tajam. Padahal jamak dipahami, mencari sosok hakim yang memiliki integritas bukan masalah sederhana.
Sulit dibantah, perekrutan yang dilakukan dalam waktu yang terbatas sulit untuk melacak jejak rekam calon secara akurat. Begitu jadi hakim, keadaannya bisa menjadi lebih parah karena minimnya pengawasan. Hakim Kartini Marpaung misalnya yang telah membebaskan lima tersangka korupsi dari sejak lama harusnya telah diberi sinyal dalam bentuk shock therapy.
Agar tidak menjadi lebih parah, untuk segera keluar dari sengkarut yang menimpa pengadilan tipikor, langkah darurat yang harus dilakukan adalah meninjau ulang jumlah pengadilan tipikor. Tak hanya itu, langkah lainnya, moratorium pembentukan pengadilan tipikor.
Khusus hakim, harus ada keberanian melakukan penilaian ulang terhadap semua hakim tipikor.Tanpa langkah darurat, pengadilan tipikor akan segera berubah menjadi monumen pembunuhan agenda antikorupsi! ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar