Selasa, 14 Agustus 2012

Tantangan 45 Tahun ASEAN


Tantangan 45 Tahun ASEAN
Faustinus Andrea ; Pemerhati masalah ASEAN,
Editor Jurnal Analisis CSIS, Jakarta
TEMPO.CO,  10 Agustus 2012


Baru saja ASEAN berulang tahun ke-45 pada 8 Agustus 2012. Pengalaman pahit ASEAN selama eksis sebagai organisasi regional adalah tekanan politik Cina bertubi-tubi terhadap dua negara anggota ASEAN, Vietnam dan Filipina, soal klaim tumpang-tindih di Laut Cina Selatan. Betapa tidak, ASEAN, yang selama 45 tahun dikenal berhasil, untuk pertama kalinya gagal menghasilkan dokumen komunike bersama. Kegagalan terutama terjadi ketika Kamboja menolak memasukkan insiden Beting Scarborough di Laut Cina Selatan antara Filipina dan Cina yang terjadi dalam agenda Pertemuan Tahunan Menteri Luar Negeri ASEAN (AMM) di Kamboja, 12 Juli 2012.

Setidaknya tekanan Cina akhir-akhir ini membuat ASEAN kalang-kabut. Dengan menekan Kamboja sebagai tuan rumah AMM ke-45 untuk tidak mengangkat isu Laut Cina Selatan masuk agenda utama dalam AMM, Cina mampu meredam keinginan negara pengklaim, Filipina dan Vietnam, yang selama ini dibuat jengkel oleh perilaku Cina.

Tetapi langkah Cina itu belum tentu melapangkan jalan ambisi Cina yang selalu menghendaki masalah klaim tumpang-tindih di Laut Cina Selatan diselesaikan secara bilateral. Selain Filipina dan Vietnam, masih ada negara pengklaim lainnya, yakni Taiwan, Malaysia, dan Brunei, yang tidak menghendaki klaim Laut Cina Selatan diselesaikan secara bilateral. Filipina pernah mengajukan protes ke Perserikatan Bangsa-Bangsa atas insiden penangkapan awak kapal pengebor minyak milik Filipina oleh militer Cina di perairan Laut Cina Selatan. Sedangkan Malaysia menghendaki agar sengketa di Laut Cina Selatan diselesaikan melalui Konvensi PBB tentang Hukum Laut Internasional (UNCLOS 1982).

Sebagai negara besar, Cina seharusnya ikut bertanggung jawab menangani masalah Laut Cina Selatan secara damai, yang dimotori Indonesia dan ASEAN, bukan malah membuat konflik baru. Proses damai di Laut Cina Selatan yang diprakarsai ASEAN tidak hanya dimulai dari pertemuan ASEAN Regional Forum (ARF) dari tahun ke tahun, tetapi juga dari prakarsa Indonesia sejak 1990-an melalui lokakarya Laut Cina Selatan sejak 1980-an.  

Dalam menyikapi masalah Cina dan masalah kebijakan pelibatan konstruktif (constructive engagement) ASEAN terhadap isu Laut Cina Selatan, ARF seharusnya memainkan peran keamanan yang lebih substantif dalam mengkonsolidasikan aneka kepentingan anggota ARF lainnya. Dibentuknya ARF di mana Cina juga menjadi anggota merupakan bagian dari usaha ASEAN untuk melibatkan Cina membicarakan masalah keamanan di kawasan Asia-Pasifik dan Asia Tenggara. Tetapi pertemuan ARF ke-19 yang berlangsung di Phnom Penh pada Juli 2012 tidak mengagendakan politik dan keamanan kawasan dijadikan upaya dukungan peran ASEAN sebagai penggerak ARF. Kegagalan ASEAN menghasilkan dokumen komunike bersama dan terancamnya pembahasan kode tata berperilaku (COC) di Laut Cina Selatan tentu menjadi beban bagi ASEAN. Lantas, bagaimana eskalasi konflik di Laut Cina Selatan dapat diminimalkan agar tidak semakin memperlemah daya kepemimpinan ASEAN?

Pelibatan Konstruktif?

Dalam pertemuan AMM di Phnom Penh pada Juni 2003, ASEAN secara bulat mendesak junta militer Myanmar untuk membebaskan tokoh prodemokrasi Aung San Suu Kyi. Meski desakan AMM itu dianggap telah keluar dari tradisi ASEAN yang selama ini berprinsip tidak mencampuri (non-interference), tindakan ASEAN tersebut memberi apresiasi sebagai terobosan penting kebijakan pelibatan konstruktif di masa mendatang.
Kebijakan pelibatan konstruktif ASEAN tetap konsisten dengan Cara ASEAN (The ASEAN Way) karena cara ini dianggap berhasil dalam menyelesaikan masalah yang melibatkan negara-negara ASEAN di kawasan Asia Tenggara. Masalahnya, apakah cara seperti ini tetap relevan dalam menghadapi perilaku Cina yang agresif di Laut Cina Selatan, dan Kamboja, yang rupanya kini ada dalam cengkeraman Cina?

Juga, apakah komitmen Treaty of Amity and Cooperation in Southeast Asia (TAC) 1976, yang dianggap cukup efektif dalam melakukan hubungan antarnegara anggotanya, masih bisa diandalkan? Betul bahwa kebijakan pelibatan konstruktif ASEAN pada batas tertentu banyak memberikan manfaat daripada cara-cara konfrontasi langsung dalam menangani konflik kawasan, dan cara ini pernah dilakukan ASEAN saat mendesak Vietnam menarik mundur pasukannya dari Kamboja. Tetapi, dalam kasus Laut Cina Selatan, apakah ASEAN akan melakukan hal yang sama menghadapi perilaku Cina yang agresif dan selalu membuat konflik baru di Laut Cina Selatan, mengingat timbulnya konflik di Laut Cina Selatan makin sulit diselesaikan karena sumber-sumber konflik meliputi banyak aspek, seperti yurisdiksi, geografis, sejarah, dan ideologis di kawasan Laut Cina Selatan serta melibatkan banyak negara, AS misalnya. Dalam hal itu,
kebijakan pelibatan konstruktif menghadapi banyak tantangan atas klaim Laut Cina Selatan di masa mendatang.

ASEAN Way
    
Di satu pihak, kebijakan pelibatan konstruktif ASEAN di Laut Cina Selatan merupakan cara ASEAN menyelesaikan masalah yang dihadapi. Di lain pihak, kebijakan itu dipertanyakan banyak pihak: untuk siapa kebijakan itu bersifat konstruktif, apakah untuk kekuatan penyelesaian konflik di kawasan secara menyeluruh? Inilah tantangannya. Sebab, gugatan atas kebijakan itu akan terus timbul. 

Tugas utama Kamboja sebagai Ketua ASEAN 2012 sebetulnya mencari modalitas baru dan menempatkan agendanya tentang kebijakan itu dengan meningkatkan mutu keamanan di kawasan, bukan malah mengikuti kehendak politik Cina. Ini dimaksudkan sebagai langkah untuk mengatasi perbedaan pendapat yang terjadi di antara anggota ASEAN dan kecaman kalangan internasional terhadap perilaku Cina yang makin agresif di Laut Cina Selatan.

Sejauh ini ASEAN telah berhasil mempertahankan kerja sama dalam menghadapi berbagai ketegangan maupun konflik. ASEAN telah membuktikan, kerja sama di antara mereka dapat dilakukan tanpa harus menyelesaikan sumber-sumber konflik yang ada lebih dulu. Tetapi, apakah ASEAN harus puas dengan cara itu, mengingat TAC sendiri tampaknya hanya mampu mencegah timbulnya konflik di antara mereka dan belum mampu menyelesaikan konflik-konflik secara tuntas? 

Dalam kerangka itu, upaya ASEAN untuk terus melakukan pendekatan terhadap pemerintah Cina dan Kamboja merupakan prasyarat yang tidak bisa ditawar-tawar, dan desakan ASEAN untuk menghormati Declaration on the Conduct of Parties in South Cina Sea (DoC) 2002 dan garis acuan DoC 2011, serta proses pembahasan kode tata berperilaku (COC) di Laut Cina Selatan antarnegara anggota ASEAN dan Cina harus membawa implikasi lebih positif di masa depan. Penyusunan norma dan prinsip-prinsip baru tersebut diharapkan mampu menjawab persoalan dan memenuhi kebutuhan strategis ASEAN di kawasan Laut Cina Selatan, agar ketegangan tidak makin memuncak.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar