Tantangan 45
Tahun ASEAN
Faustinus Andrea ; Pemerhati
masalah ASEAN,
Editor Jurnal Analisis CSIS, Jakarta
TEMPO.CO,
10 Agustus 2012
Baru saja ASEAN berulang
tahun ke-45 pada 8 Agustus 2012. Pengalaman pahit ASEAN selama eksis sebagai
organisasi regional adalah tekanan politik Cina bertubi-tubi terhadap dua
negara anggota ASEAN, Vietnam dan Filipina, soal klaim tumpang-tindih di Laut
Cina Selatan. Betapa tidak, ASEAN, yang selama 45 tahun dikenal berhasil, untuk
pertama kalinya gagal menghasilkan dokumen komunike bersama. Kegagalan terutama
terjadi ketika Kamboja menolak memasukkan insiden Beting Scarborough di Laut Cina Selatan antara Filipina dan Cina
yang terjadi dalam agenda Pertemuan Tahunan Menteri Luar Negeri ASEAN (AMM) di
Kamboja, 12 Juli 2012.
Setidaknya tekanan Cina akhir-akhir ini membuat ASEAN kalang-kabut. Dengan menekan Kamboja sebagai tuan rumah AMM ke-45 untuk tidak mengangkat isu Laut Cina Selatan masuk agenda utama dalam AMM, Cina mampu meredam keinginan negara pengklaim, Filipina dan Vietnam, yang selama ini dibuat jengkel oleh perilaku Cina.
Tetapi langkah Cina itu belum tentu melapangkan jalan ambisi Cina yang selalu menghendaki masalah klaim tumpang-tindih di Laut Cina Selatan diselesaikan secara bilateral. Selain Filipina dan Vietnam, masih ada negara pengklaim lainnya, yakni Taiwan, Malaysia, dan Brunei, yang tidak menghendaki klaim Laut Cina Selatan diselesaikan secara bilateral. Filipina pernah mengajukan protes ke Perserikatan Bangsa-Bangsa atas insiden penangkapan awak kapal pengebor minyak milik Filipina oleh militer Cina di perairan Laut Cina Selatan. Sedangkan Malaysia menghendaki agar sengketa di Laut Cina Selatan diselesaikan melalui Konvensi PBB tentang Hukum Laut Internasional (UNCLOS 1982).
Setidaknya tekanan Cina akhir-akhir ini membuat ASEAN kalang-kabut. Dengan menekan Kamboja sebagai tuan rumah AMM ke-45 untuk tidak mengangkat isu Laut Cina Selatan masuk agenda utama dalam AMM, Cina mampu meredam keinginan negara pengklaim, Filipina dan Vietnam, yang selama ini dibuat jengkel oleh perilaku Cina.
Tetapi langkah Cina itu belum tentu melapangkan jalan ambisi Cina yang selalu menghendaki masalah klaim tumpang-tindih di Laut Cina Selatan diselesaikan secara bilateral. Selain Filipina dan Vietnam, masih ada negara pengklaim lainnya, yakni Taiwan, Malaysia, dan Brunei, yang tidak menghendaki klaim Laut Cina Selatan diselesaikan secara bilateral. Filipina pernah mengajukan protes ke Perserikatan Bangsa-Bangsa atas insiden penangkapan awak kapal pengebor minyak milik Filipina oleh militer Cina di perairan Laut Cina Selatan. Sedangkan Malaysia menghendaki agar sengketa di Laut Cina Selatan diselesaikan melalui Konvensi PBB tentang Hukum Laut Internasional (UNCLOS 1982).
Sebagai negara besar,
Cina seharusnya ikut bertanggung jawab menangani masalah Laut Cina Selatan
secara damai, yang dimotori Indonesia dan ASEAN, bukan malah membuat konflik
baru. Proses damai di Laut Cina Selatan yang diprakarsai ASEAN tidak hanya
dimulai dari pertemuan ASEAN Regional
Forum (ARF) dari tahun ke tahun, tetapi juga dari prakarsa Indonesia sejak
1990-an melalui lokakarya Laut Cina Selatan sejak 1980-an.
Dalam menyikapi masalah Cina dan masalah kebijakan pelibatan konstruktif (constructive engagement) ASEAN terhadap isu Laut Cina Selatan, ARF seharusnya memainkan peran keamanan yang lebih substantif dalam mengkonsolidasikan aneka kepentingan anggota ARF lainnya. Dibentuknya ARF di mana Cina juga menjadi anggota merupakan bagian dari usaha ASEAN untuk melibatkan Cina membicarakan masalah keamanan di kawasan Asia-Pasifik dan Asia Tenggara. Tetapi pertemuan ARF ke-19 yang berlangsung di Phnom Penh pada Juli 2012 tidak mengagendakan politik dan keamanan kawasan dijadikan upaya dukungan peran ASEAN sebagai penggerak ARF. Kegagalan ASEAN menghasilkan dokumen komunike bersama dan terancamnya pembahasan kode tata berperilaku (COC) di Laut Cina Selatan tentu menjadi beban bagi ASEAN. Lantas, bagaimana eskalasi konflik di Laut Cina Selatan dapat diminimalkan agar tidak semakin memperlemah daya kepemimpinan ASEAN?
Pelibatan Konstruktif?
Dalam menyikapi masalah Cina dan masalah kebijakan pelibatan konstruktif (constructive engagement) ASEAN terhadap isu Laut Cina Selatan, ARF seharusnya memainkan peran keamanan yang lebih substantif dalam mengkonsolidasikan aneka kepentingan anggota ARF lainnya. Dibentuknya ARF di mana Cina juga menjadi anggota merupakan bagian dari usaha ASEAN untuk melibatkan Cina membicarakan masalah keamanan di kawasan Asia-Pasifik dan Asia Tenggara. Tetapi pertemuan ARF ke-19 yang berlangsung di Phnom Penh pada Juli 2012 tidak mengagendakan politik dan keamanan kawasan dijadikan upaya dukungan peran ASEAN sebagai penggerak ARF. Kegagalan ASEAN menghasilkan dokumen komunike bersama dan terancamnya pembahasan kode tata berperilaku (COC) di Laut Cina Selatan tentu menjadi beban bagi ASEAN. Lantas, bagaimana eskalasi konflik di Laut Cina Selatan dapat diminimalkan agar tidak semakin memperlemah daya kepemimpinan ASEAN?
Pelibatan Konstruktif?
Dalam pertemuan AMM di
Phnom Penh pada Juni 2003, ASEAN secara bulat mendesak junta militer Myanmar
untuk membebaskan tokoh prodemokrasi Aung San Suu Kyi. Meski desakan AMM itu
dianggap telah keluar dari tradisi ASEAN yang selama ini berprinsip tidak
mencampuri (non-interference), tindakan ASEAN tersebut memberi apresiasi
sebagai terobosan penting kebijakan pelibatan konstruktif di masa mendatang.
Kebijakan pelibatan
konstruktif ASEAN tetap konsisten dengan Cara ASEAN (The ASEAN Way) karena cara ini dianggap berhasil dalam
menyelesaikan masalah yang melibatkan negara-negara ASEAN di kawasan Asia
Tenggara. Masalahnya, apakah cara seperti ini tetap relevan dalam menghadapi
perilaku Cina yang agresif di Laut Cina Selatan, dan Kamboja, yang rupanya kini
ada dalam cengkeraman Cina?
Juga, apakah komitmen Treaty of Amity and Cooperation in Southeast Asia (TAC) 1976, yang dianggap cukup efektif dalam melakukan hubungan antarnegara anggotanya, masih bisa diandalkan? Betul bahwa kebijakan pelibatan konstruktif ASEAN pada batas tertentu banyak memberikan manfaat daripada cara-cara konfrontasi langsung dalam menangani konflik kawasan, dan cara ini pernah dilakukan ASEAN saat mendesak Vietnam menarik mundur pasukannya dari Kamboja. Tetapi, dalam kasus Laut Cina Selatan, apakah ASEAN akan melakukan hal yang sama menghadapi perilaku Cina yang agresif dan selalu membuat konflik baru di Laut Cina Selatan, mengingat timbulnya konflik di Laut Cina Selatan makin sulit diselesaikan karena sumber-sumber konflik meliputi banyak aspek, seperti yurisdiksi, geografis, sejarah, dan ideologis di kawasan Laut Cina Selatan serta melibatkan banyak negara, AS misalnya. Dalam hal itu, kebijakan pelibatan konstruktif menghadapi banyak tantangan atas klaim Laut Cina Selatan di masa mendatang.
ASEAN Way
Juga, apakah komitmen Treaty of Amity and Cooperation in Southeast Asia (TAC) 1976, yang dianggap cukup efektif dalam melakukan hubungan antarnegara anggotanya, masih bisa diandalkan? Betul bahwa kebijakan pelibatan konstruktif ASEAN pada batas tertentu banyak memberikan manfaat daripada cara-cara konfrontasi langsung dalam menangani konflik kawasan, dan cara ini pernah dilakukan ASEAN saat mendesak Vietnam menarik mundur pasukannya dari Kamboja. Tetapi, dalam kasus Laut Cina Selatan, apakah ASEAN akan melakukan hal yang sama menghadapi perilaku Cina yang agresif dan selalu membuat konflik baru di Laut Cina Selatan, mengingat timbulnya konflik di Laut Cina Selatan makin sulit diselesaikan karena sumber-sumber konflik meliputi banyak aspek, seperti yurisdiksi, geografis, sejarah, dan ideologis di kawasan Laut Cina Selatan serta melibatkan banyak negara, AS misalnya. Dalam hal itu, kebijakan pelibatan konstruktif menghadapi banyak tantangan atas klaim Laut Cina Selatan di masa mendatang.
ASEAN Way
Di satu pihak, kebijakan
pelibatan konstruktif ASEAN di Laut Cina Selatan merupakan cara ASEAN
menyelesaikan masalah yang dihadapi. Di lain pihak, kebijakan itu dipertanyakan
banyak pihak: untuk siapa kebijakan itu bersifat konstruktif, apakah untuk
kekuatan penyelesaian konflik di kawasan secara menyeluruh? Inilah
tantangannya. Sebab, gugatan atas kebijakan itu akan terus timbul.
Tugas utama Kamboja
sebagai Ketua ASEAN 2012 sebetulnya mencari modalitas baru dan menempatkan
agendanya tentang kebijakan itu dengan meningkatkan mutu keamanan di kawasan,
bukan malah mengikuti kehendak politik Cina. Ini dimaksudkan sebagai langkah
untuk mengatasi perbedaan pendapat yang terjadi di antara anggota ASEAN dan
kecaman kalangan internasional terhadap perilaku Cina yang makin agresif di
Laut Cina Selatan.
Sejauh ini ASEAN telah
berhasil mempertahankan kerja sama dalam menghadapi berbagai ketegangan maupun
konflik. ASEAN telah membuktikan, kerja sama di antara mereka dapat dilakukan
tanpa harus menyelesaikan sumber-sumber konflik yang ada lebih dulu. Tetapi,
apakah ASEAN harus puas dengan cara itu, mengingat TAC sendiri tampaknya hanya
mampu mencegah timbulnya konflik di antara mereka dan belum mampu menyelesaikan
konflik-konflik secara tuntas?
Dalam kerangka itu,
upaya ASEAN untuk terus melakukan pendekatan terhadap pemerintah Cina dan
Kamboja merupakan prasyarat yang tidak bisa ditawar-tawar, dan desakan ASEAN
untuk menghormati Declaration on the
Conduct of Parties in South Cina Sea (DoC) 2002 dan garis acuan DoC 2011,
serta proses pembahasan kode tata berperilaku (COC) di Laut Cina Selatan
antarnegara anggota ASEAN dan Cina harus membawa implikasi lebih positif di
masa depan. Penyusunan norma dan prinsip-prinsip baru tersebut diharapkan mampu
menjawab persoalan dan memenuhi kebutuhan strategis ASEAN di kawasan Laut Cina
Selatan, agar ketegangan tidak makin memuncak. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar