Sikap Paradoks
terhadap Koperasi
Rahmat Pramulya ; Dosen dan Peneliti di Universitas Teuku Umar,
Meulaboh,
Aceh Barat
|
SUARA
KARYA, 29 Agustus 2012
Sebanyak 30 persen dari 138.000 koperasi di
Indonesia hingga saat ini belum aktif. Salah satu penyebabnya, koperasi
kekurangan modal untuk mengembangkan usaha. (Adi Sasono, 2007) Dari sisi volume
usaha, saat ini baru 22 persen masyarakat Indonesia tergabung dalam koperasi
dengan sekitar Rp 55 triliun per tahun. (Secara keseluruhan, volume usaha
koperasi di seluruh dunia mencapai 60 triliun dolar AS per tahun). Persentase
ini jauh lebih kecil dibandingkan dengan kondisi di negara-negara maju, seperti
AS dan Singapura. Di AS 70 persen warganya sudah tergabung dalam koperasi,
sedangkan di Singapura sekitar 80 persen.
Koperasi, lembaga perekonomian rakyat ini sudah
melembaga sejak era penjajahan Belanda. Ide-ide perkoperasian yang
diperkenalkan pertama kali oleh seorang patih di Purwokerto, Jateng, R Aria
Wiraatmadja (1896) ini terus hidup di tengah masyarakat. Budi Utomo (1908),
Serikat Dagang Islam (1927), Partai Nasional Indonesia (1929) pun mengemban
perjuangan penyebarluasan semangat koperasi.
Di era kemerdekaan, koperasi cukup diperhatikan
pemerintah. Pada 1945, koperasi masuk di bawah Kementerian Kemakmuran. Tanggal
12 Juli 1947, Gerakan Koperasi mengadakan Kongres di Tasikmalaya dan hasilnya
menetapkan bahwa tanggal 12 Juli dinyatakan sebagai Hari Koperasi.
Tahun 1958, koperasi menjadi bagian dari
Kementerian Kemakmuran. Perkoperasian kemudian dikelola oleh Menteri
Transmigrasi Koperasi dan Pembangunan Masyarakat Desa (1960) yang kemudian
diubah menjadi Departemen Koperasi pada 1963, menjadi Departemen Transmigrasi
dan Koperasi (1964), dan pada 1966 diubah lagi menjadi Kementerian Perdagangan
dan Koperasi di bawah pimpinan Prof Dr Sumitro Djojohadikusumo, dengan Dirjen
Koperasi Ibnoe Soedjono.
Pada 1967 diberlakukan UU No 12/1967 tentang
Pokok-pokok Perkoperasian. Tahun 1978, Koperasi masuk dalam Departemen
Perdagangan dan Koperasi, dengan Radius Prawiro sebagai menterinya. Untuk
memperkuat kedudukan koperasi dibentuk pula Menteri Muda Urusan Koperasi, yang
dipimpin oleh Bustanil Arifin.
Dengan berkembangnya usaha koperasi dan
kompleksnya masalah yang dihadapi dan ditanggulangi, koperasi melangkah maju di
berbagai bidang dengan memperkuat kedudukan dalam pembangunan dengan memasukkan
koperasi ke dalam satu departemen tersendiri. Berbagai peraturan perundangan
pun disusun, antara lain UU No 25/1992 tentang Perkoperasian, sebagai revisi UU
No 12/1967 tentang Pokok-pokok Perkoperasian.
Keppres No 58 dan No 96 Tahun 1993, mengubah
nama Departemen Koperasi menjadi Departemen Kopeasi dan Pembinaan Pengusaha
Kecil. Tugas Departemen Koperasi menjadi bertambah dengan membina pengusaha
kecil. Hal ini merupakan perubahan strategis dan mendasar, karena secara
fundamental golongan ekonomi kecil sebagai suatu kesatuan dan keseluruhan dan
harus ditangani secara mendasar mengingat perekonomian tidak terbatas hanya
pada pembinaan perkoperasian saja.
Keppres No 134/1999 mengubah Departemen
Koperasi dan PK menjadi Menteri Negara Koperasi dan Pengusaha Kecil dan
Menengah. Dengan Keppres No 175/2000 diubah lagi menjadi Menteri Negara
Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah (Kemenkop dan UKM).
Dalam perspektif ini, pembentukan Kemenkop dan
UKM sesungguhnya merupakan langkah strategis untuk mewujudkan salah satu tujuan
pembangunan nasional. Yakni, memajukan kesejahteraan umum, yang berarti
kemakmuran masyarakatlah yang diutamakan, bukan kemakmuran orang per orang.
Koperasi dan usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) merupakan representasi
rakyat Indonesia dalam kehidupan ekonomi nasional, sehingga perlu diberikan
prioritas yang tinggi dalam pembangunan nasional.
Jika dalam perjalanannya visi dan prinsip
seperti di atas belum terimplementasi dengan baik, itu dikarenakan beragamnya
kendala yang harus dihadapi Kemenkop dan UKM. Mulai dari terbatasnya sarana dan
prasarana penunjang persebaran koperasi, masih sulitnya akses koperasi dan UKM
terhadap sumber daya kemajuan ekonomi seperti pasar, modal usaha, teknologi,
kemitraan usaha, manajemen, dan keterampilan kewirausahaan, hingga rendahnya
kualitas SDM. Di samping, belum lengkapnya kelembagaan pemberdayaan koperasi
dan UKM, belum tegaknya pelaksanaan peraturan perundangan yang mengatur
persaingan secara sehat dan adil, serta belum mantapnya pembinaan usaha
nasional, baik antar-sektor, golongan ekonomi maupun daerah.
Di sisi lain, kebijakan iklim usaha yang
diimplementasikan pemerintah dan pemda belum memberi rasa keadilan dan
keberpihakan kepada UMKM. Kendala lain yang dihadapi adalah rendahnya
perspektif, tak hanya para pimpinan instansi pemerintah namun juga dunia usaha
mengenai pemberdayaan koperasi dan UMKM di Indonesia. Dalam konteks ini,
penguatan wewenang Kemenkop dan UKM menjadi sangat penting dan relevan untuk
mengurangi konflik kepentingan.
Koperasi dan UKM memang bisa saja dilekatkan di
masing-masing departemen teknis, namun melihat peran strategisnya dalam
memajukan kesejahteraan umum maka ide penghapusan kementerian ini bisa
berdampak bagi tak jelasnya masa depan pembinaan koperasi dan UKM di Indonesia.
Sebaliknya, proses
revitalisasi organisasi Kemenkop dan UKM menjadi vital dilakukan. Ke depan kita
perlu memperkukuh struktur ekonomi yang berintikan koperasi dan UMKM sebagai
penggerak utama pertumbuhan ekonomi, yang pro pengurangan kemiskinan dan
peningkatan lapangan usaha. Ketimpangan penguasaan sumber daya produktif, baik
antar-pelaku usaha, antar-daerah maupun antara pusat dan daerah merupakan
tantangan yang harus dihadapi. Di samping, bagaimana meningkatkan alokasi
sumberdaya produktif yang mudah diakses oleh koperasi UMKM, sehingga dapat
mengubah struktur ekonomi nasional yang lebih adil. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar