Merebut Kembali
Identitas
Siti Maimunah ; Forum Masyarakat Sipil Indonesia untuk
Keadilan Iklim
|
KOMPAS,
30 Agustus 2012
Masyarakat adat Mollo, Amanuban, dan Amanatun
di Kabupaten Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur, tak mengenal kata
moratorium.
Namun, saat menggelar Festival Ningkam
Haumeni, akhir Juli lalu, mereka mengumumkan banu atau larangan lewat sumpah
adat. Masyarakat tidak boleh membunuh satwa hutan dalam waktu lima tahun dan
menebang cendana tanpa batas waktu.
Alasan banu bukan karena ada bantuan, semacam
dana Pemerintah Norwegia untuk moratorium atau jeda penebangan hutan. Bukan
pula untuk mengurangi emisi karbon hingga bisa ikutan proyek dagang karbon.
Alasan mereka sederhana, lingkungan yang rusak harus dipulihkan agar bisa
melayani manusia dengan baik.
Dalam banu, larangan membunuh satwa hutan
sama artinya dengan larangan merusak ekosistem hutan habitat satwa. Dari
pengalaman, masyarakat adat yakin lima tahun waktu yang cukup untuk satwa hutan
dan ekosistemnya memulihkan diri.
Larangan menebang cendana lebih dalam
maknanya. Mereka menuntut dipulihkannya identitas Pulau Timor, yang dikenal
lewat pohon cendana atau haumeni dalam bahasa lokal. Kayu harum ini statusnya
hampir punah karena eksploitasi sejak zaman penjajahan. Memulihkan pohon
cendana adalah pekerjaan panjang, tak dibatasi waktu.
Moratorium Pemerintah
Andai saja moratorium penebangan hutan
pemerintah memiliki alasan secerdas dan searif masyarakat adat ini, alangkah
permainya Indonesia. Sayangnya, tidak. Moratorium penebangan hutan ini
implementasi dari Kesepakatan Oslo dua tahun lalu antara Indonesia dan
Norwegia. Tujuannya: mengurangi emisi karbon lewat bantuan senilai satu miliar
dollar AS.
Itu sebabnya saat jeda tebang berjalan malah
keluar Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2012 tentang Penggunaan Kawasan
Hutan. Peraturan yang tak bisa dipahami akal sehat ini membuka peluang
pemutihan izin pertambangan. Itu artinya, izin tambang batubara di Samarinda, yang
meliputi 70 persen kawasan kota, berpeluang diteruskan asal sudah diputihkan.
Serupa izin tambang batubara di Kecamatan Samboja dengan 22 desa dan kelurahan,
sementara izin tambangnya ada 90 buah.
Berbeda dengan logika masyarakat adat tentang
banu. Rupanya keselamatan warga tak masuk hitungan pemerintah saat mengizinkan
eksploitasi sumber daya alam, khususnya pertambangan. Pertimbangannya semata
angka. Berapa royalti yang bisa didapat dari pertambangan.
Bagaimana dengan orang yang meninggal
ditembak, ditangkap, diintimidasi aparat tiap tahun karena tak mau lahannya
dibongkar? Tak ada yang masuk catatan. Konflik sumber daya alam: 6.000 kasus
dilaporkan Komnas HAM tahun lalu, hanya lewat sebagai angka. Tak ada tanggapan.
Reklaim Identitas
Mestinya Pansus DPR di Senayan tak perlu
jauh-jauh melakukan studi banding ke China ataupun Brasil untuk menyusun RUU
Desa. Mari belajar dari masyarakat adat di Timor Tengah Selatan (TTS) tentang
mengutamakan keselamatan warga dan menghargai kekayaan alamnya.
Masyarakat adat Mollo, Amanuban, dan Amanatun
tak hanya mengajarkan bahwa jeda itu bukan tujuan. Ia hanya satu langkah
bersama langkah lainnya untuk memulihkan layanan alam demi keselamatan warga.
Mereka juga menuntut perubahan lambang Kabupaten TTS. Lambang itu didominasi
gambar pohon cendana yang tersisa pangkal pohonnya dengan latar gunung Mutis.
Persis kondisi cendana saat ini yang hampir punah. Mereka menuntut perubahan
menjadi gambar cendana utuh.
Cendana adalah identitas Pulau Timor. Salah
satu fungsi ekologisnya adalah pah e afan atau minyak pelumas penyubur Bumi.
Masyarakat adat percaya hilangnya cendana membuat lahan-lahan makin kritis dan
mudah longsor. Cendana juga berfungsi budaya sebagai kayu keramat dan digunakan
dalam ritual adat.
Tuntutan memulihkan cendana adalah upaya
merebut kembali ruang hidup dan identitas orang Timor. Identitas yang telah
dirampok sejak lama. Mereka ingin mengembalikan peran cendana, baik secara
ekologi, ekonomi, maupun sosial budaya.
Ajakan Pemulihan
Mari memaknai banu yang diikrarkan masyarakat
adat di TTS sebagai ajakan bagi kita untuk memulihkan banyak hal. Memulihkan
pangan kita yang 65 persen bergantung pada pangan impor. Memulihkan lahan-lahan
yang rusak dan menghentikan alih fungsi hutan. Memulihkan perairan dari
pencemaran industri agar tersedia laut yang sehat bagi nelayan. Memulihkan
kembali alam agar baik melayani kita.
Lebih jauh lagi, banu mesti dimaknai sebagai
seruan kembali identitas Indonesia agar tidak hanya bangga menjadi penyedia
bahan mentah tambang, minyak mentah sawit, dan menjadi pasar raksasa produk
asing. Banu berarti mengembalikan negara agraris, maritim, dan memastikan
keselamatan warganya. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar