Konflik Agama
dan Eksistensi Tuhan
Satrio Wahono ; Magister
Filsafat UI
|
SUARA
KARYA, 30 Agustus 2012
Kehidupan umat beragama di Indonesia saat ini sedang heboh.
Gara-garanya adalah konflik horizontal antara umat Islam Sunni dan Syiah di
Sampang, Madura, 26 Agustus 2012 yang menimbulkan dua korban jiwa, dua korban
luka-luka, dan puluhan rumah dibakar massa. Tak pelak, aksi kekerasan atas nama
agama ini boleh jadi membuat sekalangan orang sinis terhadap peran agama.
Logika para kaum sinis itu: jika Tuhan yang Maha Pengasih itu ada
dan menurunkan agama buat kebaikan umat manusia, buat apa Dia menciptakan
hal-hal buruk seperti konflik agama, kekerasan dan kejahatan?
Sudah begitu banyak para filsuf Islam membahas argumen-argumen
filosofis tentang keberadaan Tuhan demi memperkuat tauhid dan iman. Namun,
memang tidak banyak filsuf Islam yang membahas secara khusus argumentasi
keberadaan Tuhan dari segi keadilan dan eksistensi konflik serta kejahatan.
Nah, salah satu dari yang sedikit itu adalah filsuf Iran termasyur, Murtadha
Muthahhari.
Dalam bukunya, Al-'Adl
Al-Ilahiy (Keadilan Ilahi, terjemahan Mizan, 2009), Muthahhari mengakui
memang ada pihak-pihak dungu yang mencoba menggugat keberadaan Tuhan lewat
fakta adanya kejahatan di mana-mana. Menurut para penggugat itu, menjamurnya
kejahatan dan penderitaan di dunia adalah bukti bahwa Tuhan tidak adil dalam
menciptakan tatanan dunia ini. Harusnya, demikian argumen mereka, Tuhan
menciptakan dunia ini senantiasa damai dan dipenuhi dengan kebaikan.
Di sinilah, Muthahhari langsung menyoroti kesesatan logika argumen
rasional semu itu. Menurut Muthahhari, setidaknya ada dua aspek kejahatan yang
justru membuktikan kejahatan itu sejatinya merupakan instrumen penting bagi
terwujudnya keadilan Tuhan di bumi.
Pertama, aspek esensial. Dalam aspek ini, kejahatan bukanlah
esensi yang mandiri. Melainkan, ia sekadar noneksistensi dari esensi yang
sempurna, yaitu kebaikan. Gampangnya, noneksistensi adalah hilangnya atau
absennya esensi dari satu benda. Misalnya, kebutaan adalah hilangnya
penglihatan, pembunuhan adalah hilangnya kasih sayang terhadap orang lain,
kemiskinan adalah hilangnya harta, dan seterusnya. Jadi, kebutaan bukanlah
'jahat' atau 'tidak adil' secara esensi, melainkan dia adalah kondisi 'belum
memiliki esensi kebaikan'. Dengan kata lain, noneksistensi ini tidaklah
mengurangi esensi hakiki kebaikan. Sebaliknya, kondisi noneksistensi inilah
yang harus disempurnakan supaya ia bisa meraih esensi kebaikan.
Pendapat seperti ini menyangkal argumen bahwa alam itu tidak
sempurna karena adanya kejahatan. Argumentasi ateistis dengan logika demikian
mengandaikan kejahatan adalah esensi mandiri yang menjadi lawan bagi kebaikan.
Karena ada lawan, berarti ada pihak yang menciptakan lawan tersebut. Dan, jika
ada pencipta lawan selain Tuhan, berarti Tuhan tidak sempurna. Jadi, jika Tuhan
tidak sempurna, itu berarti Dia bukan Tuhan. Sehingga konklusinya, Tuhan itu
tidak ada. Demikianlah logika sesat (logical
fallacy) yang terbantahkan secara telak oleh argumentasi filosofis canggih
Muthahhari.
Logika Muthahhari ini juga digemakan oleh sejumlah filsuf Barat.
Misalnya, Hegel mengatakan, Roh Absolut - Tuhan - adalah puncak dari proses
dialektika yang terdiri dari tesis, antitesis, dan sintesis. Menurutnya, setiap
proses dialektika ini akan terus menghasilkan perbaikan yang bermuara pada Roh
Mutlak. Dari pendapat demikian, kita bisa menyimpulkan bahwa konflik antara
kebaikan dan kejahatan sejatinya merupakan proses sejarah dari satu maujud
(entitas) noneksistensi yang terus-menerus mencoba menggapai esensi yang belum
dimilikinya.
Dari sudut pandang manusia, keberadaan noneksistensi kejahatan dan
keburukan ini juga menjadi wahana bagi manusia untuk berkehendak bebas.
Meminjam pendapat Muhammad Iqbal sebagaimana dikutip Fakhry Ali (Insan Kamil,
1984), dosa asal Adam memakan buah kuldi persis terjadi karena Adam dikaruniai
kehendak bebas untuk memilih antara kebaikan dan keburukan. Kalau tidak ada
pilihan itu, Adam bukanlah manusia. Melainkan, ia akan menjadi malaikat yang
tinggal di surga alih-alih di dunia. Maka dari itu, jika manusia menjalankan
kehendak bebasnya untuk mengatasi noneksistensi keburukan dan menggapai esensi
kebaikan, niscaya dia akan menjadi manusia sempurna yang bahkan mampu melampaui
malaikat.
Kedua, aspek relasional. Maksudnya, kejahatan memang diperlukan
untuk menampakkan kebaikan. Jadi, noneksistensi-kejahatan adalah sarana bagi
manusia untuk mengetahui kebaikan. Bayangkan saja, jika segala sesuatu
diciptakan sama, tentu tidak ada kategori 'berbeda' karena toh semuanya sama.
Contoh: jika dunia ini terdiri dari manusia yang semuanya tampan, tentu manusia
tidak akan lagi mengenal konsep tampan, apalagi konsep buruk. Sebab, semuanya
'sama tampan' alias rata-rata. Jadi, kejahatan dan konflik berguna untuk
menunjukkan manusia kepada jalan kebaikan dan kedamaian.
Jalan pikir ini juga yang digunakan Socrates beribu-ribu tahun
lalu dalam membuktikan keberadaan akhirat sekaligus Tuhan. Saat hendak
dieksekusi, alkisah dia berkata, "Kita menyaksikan hal-hal berlawanan di
alam ini: keadilan dari kezaliman, tidur dari terjaga, kekuatan dari kelemahan.
Segala sesuatu muncul dari lawannya. Kematian dan kehidupan, ada dan tiada.
Dengan bukti ini, setelah kematian, pastilah ada kehidupan lain."
Pendek kata, demikian Socrates bernalar, pastilah ada Tuhan yang
menyambut kita setelah kematian. Begitulah rangkaian argumen filosofis
keberadaan Tuhan yang semestinya dikaji oleh semua pihak demi membentengi diri sendiri
dan umat dari godaan rasio yang kerap menyesatkan akibat kejadian-kejadian
partikular yang sejatinya tidak ada kaitan dengan doktrin fitrawi agama. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar