Menjaga Pesona
Desa
Jusman Dalle ; Analis Ekonomi Society Reseacrh and
Humanity Development (SERUM) Institute dan FE Universitas Muslim Indonesia
(UMI) Makassar
|
KORAN
TEMPO, 29 Agustus 2012
Bandingkan dengan artikel Jusman Dalle di Jawa Pos 29 Agustus
2012
Kritik tajam dari berbagai
kalangan tak menyurutkan langkah Panitia Khusus RUU Desa DPR RI untuk melakukan
studi banding di Brasil. Ahad (26 Agustus) rombongan Pansus RUU Desa, yang
terdiri atas 13 orang anggota dan 3 orang staf khusus, terbang ke Negeri Samba.
Mereka akan berada di negeri emerging market itu hingga 1 September mendatang.
Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) mengestimasi, rombongan
yang dipimpin oleh Budiman Sujatmiko (F-PDIP) tersebut menghabiskan anggaran Rp
1,6 miliar.
Ketua Pansus RUU Desa, Ahmad Muqowwam, mengemukakan beberapa alasan dipilihnya Brasil sebagai destinasi studi banding. Di antaranya, Pansus RUU Desa memandang Brasil sukses memajukan pedesaan berbasis pertanian dan karakteristik desa di Brasil sama dengan Indonesia. Pansus RUU Desa akan belajar cara mengatur produksi dan pemasaran hasil pertanian secara kolektif sebagaimana diterapkan di negeri yang terkenal dengan sepak bolanya itu.
Pada awalnya tujuan studi banding Pansus RUU Desa adalah ke Venezuela, namun pemerintah di negara sosialis tersebut sibuk mengurusi persiapan kemerdekaannya pada bulan Juli lalu. Dengan demikian, Pansus mengalihkan tujuannya ke Brasil. Sebelumnya, rombongan lain dari Pansus RUU Desa juga telah pelesir ke Cina pada 6-12 Juli 2012.
Mencermati argumentasi Pansus RUU Desa sebagaimana disampaikan oleh Ketua Pansus RUU Desa, Ahmad Muqowwam, studi banding ke Brasil sebenarnya tidak penting. Studi banding yang telanjur dilakukan di Cina telah mewakili sejumlah data yang mereka butuhkan di Brasil. Kedua negara ini memiliki tipologi sama dalam hal pembangunan desa, kontribusi sektor pertanian terhadap kemunculan Brasil dan Cina sebagai kekuatan ekonomi dunia, maupun tata kelola pertaniannya.
Bahkan, bisa jadi, hasil studi banding di Cina dan Brasil tidak implementatif dengan pertanian di Indonesia yang di beberapa daerah masih berbasis kearifan lokal (local wisdom). Jika kemudian hasil studi banding di Cina dan Brasil dipaksakan dituangkan dalam regulasi tanpa reserve, justru kearifan lokal budaya pertanian di Indonesia akan terancam. Lebih tepat jika Pansus langsung studi ke desa yang sukses sebagai desa mandiri serta juga mengunjungi desa paling terbelakang di Indonesia, sebagai komparasi agar Pansus memahami kebutuhan regulasi pedesaan.
Alasan lain yang disampaikan oleh Pansus, soal kesuksesan Brasil memasarkan hasil pertanian, juga tidak relevan dengan Indonesia yang menganut liberalisasi pasar. Persoalan lambannya pembangunan desa berbasis pertanian di Indonesia adalah akibat tekanan produk pertanian impor. Petani di desa tidak bisa sejahtera karena harga produk mereka jatuh oleh membanjirnya produk impor. Ini tentu saja berbeda dengan Cina, Venezuela, atau Brasil, yang pasar pertaniannya sangat tertutup. Dari sini tampak, Pansus RUU Desa melihat persoalan secara sepotong-sepotong.
Desa Masa Depan
Undang-Undang Desa semestinya telah ada sejak 2001 sebagaimana dijanjikan pemerintah di awal reformasi. Namun hingga kini RUU Desa belum selesai. Dalam pidatonya pada 16 Agustus 2012, Ketua DPR Marzuki Alie mengatakan bahwa RUU Desa akan diteruskan ke Prolegnas tahun 2013. Regulasi untuk menata desa di Indonesia sangat krusial, mengingat Indonesia masih merupakan negara dengan penduduk berbasis pedesaan. Tak kurang dari 73 persen penduduk Indonesia bermukim di desa, yang jumlahnya mencapai 72 ribu desa (Sumber: Kemenkominfo, 2011)
Tidak seriusnya pemerintah dalam membangun desa juga terlihat dari minimnya anggaran. Tahun 2012 anggaran untuk desa hanya 1,3 persen dari APBN dan atau hanya sekitar Rp 18,7 triliun. Ironisnya, dalam RAPBN 2013 yang dibacakan oleh Presiden SBY pada 16 Agustus lalu, anggaran untuk desa menurun drastis. Pemerintah hanya mengusulkan anggaran sebesar Rp 0,8 triliun. Ada usul agar pemerintah mengalokasikan 5-10 persen APBN untuk desa. Sementara pemerintah sendiri mengusulkan 10 persen anggaran, namun diambil dari APBD masing-masing.
Di luar persoalan anggaran, yang tak kalah penting adalah grand design pembangunan desa yang nantinya bisa dituangkan dalam undang-undang, sehingga anggaran bisa digunakan tepat sasaran jika usulan disepakati. Tanpa desain pembangunan jangka panjang yang rigid, anggaran besar untuk desa hanya akan menjadi korban pemborosan dan korupsi.
Dalam hal ini, salah satu konsep menarik adalah gagasan desa inkubasi, yaitu mendesain-ulang desa sebagai hunian harapan yang nyaman, mengembalikan pesona desa. Hunian penduduk ditata dengan pola komunitas. Bermukim pada spot-spot strategis sehingga mengakselerasi mobilitas masyarakat desa dalam mendinamisasi aktivitas ekonomi mereka.
Desa dijadikan sebagai inkubator-inkubator ekonomi berdasarkan potensi yang tidak hanya berbasis sumber daya alam, namun juga berbasis kearifan budaya lokal. Desa diproyeksikan sebagai basis ekonomi pertanian serta berperan sebagai pusat pemeliharaan nilai-nilai sosial-budaya, yang tentu saja tetap bernilai ekonomi, misalnya sebagai desa wisata.
Selain sebagai penyangga budaya nasional yang kian tereduksi ekspansi budaya asing, ini juga memberi kesempatan kepada desa yang tidak memiliki potensi sumber daya alam agar bisa tetap memajukan pembangunan berbasis sumber daya budaya (intangible resources) dan sejajar dengan desa lain yang dikaruniai SDA. Karena, harus diakui, persebaran SDA di Indonesia tidak merata. Ada daerah yang memiliki keterbatasan SDA namun memiliki kekayaan budaya yang sesungguhnya bernilai ekonomis.
Grand design ini tentu harus pula diikuti oleh SDM perangkat desa yang bisa mewujudkan good and clean governance (GCG). Dengan tata kelola yang baik, bersih, dan transparan, serta memberi ruang bagi potensi-potensi non-materiil, maka ekonomi pedesaan bisa tumbuh akseleratif. Muncul desa yang menarik untuk dijadikan sebagai permukiman dan sentra ekonomi sehingga bisa mencegah terjadinya urbanisasi yang saat ini menjadi satu problem pembangunan di Indonesia.
Desa berbasis inkubasi ini juga kita harapkan mampu menarik kaum muda yang banyak melakukan perantauan intelektual, agar kembali membangun desa dengan ilmu yang mereka miliki. Desa berbasis inkubasi bisa mengurai masalah kependudukan, seperti kemiskinan, pengangguran, dan kriminalitas, yang sering terpusat di kota, dengan menurunnya angka urbanisasi.
Bahkan ada kemungkinan terjadi arus perpindahan penduduk dari kota ke desa atau ruralisasi. Orang perkotaan yang jenuh dan merasakan sumpeknya kehidupan metropolitan akan berpikir rasional tinggal di desa dengan potensi ekonomi menjanjikan serta dukungan stabilitas sosial-budaya yang makin minim terdapat di kota. Pesona harmoni alam yang kian langka kita jumpai di kota merupakan magnet lain yang juga masih terpelihara di desa. ●
Wah, Pak Budisan, ini dua artikel yg sama, dimuat pada hari yg sama, di koran nasional semuanya lagi. Harus dilaporkan ke medianya, Pak. Bisa telepon atau lewat surat pembaca.
BalasHapus