Halalbihalal
Kebangsaan
Ismatillah A Nu’ad ; Peneliti
pada Pusat Studi Islam dan Kenegaraan
Universitas
Paramadina Jakarta
|
SUARA
MERDEKA, 27 Agustus 2012
SALAH satu tradisi Islam di Indonesia,
setelah merayakan Idul Fitri biasanya mengadakan silaturahmi yang dikenal
dengan halalbihalal. Tradisi saling
memaafkan ini dilakukan baik sesama sanak keluarga, karib kerabat, handai
taulan, antara pemilik perusahaan dan karyawan, antara pemimpin departemen dan
stafnya, antara ulama dan umara, dan seterusnya. Tradisi itu cuma ada di
Indonesia karena di belahan dunia Islam lain tidak ada.
Alquran memerintahkan,’’ Wahai umat manusia, sesungguhnya telah Kami ciptakan kamu, sekalian
dari laki-laki dan perempuan, dan Kami jadikan kalian bersuku-suku dan
berbangsa-bangsa supaya saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di
antara kalian di sisi Allah adalah yang paling bertakwa. Sesungguhnya Allah
Maha Tahu lagi Maha Mengetahui’’ (QS Al-Hujurat, 49:13).
Ayat untuk saling mengenal sesama manusia
inilah salah satunya yang melanggengkan tradisi halalbihalal. Setidaknya ada
dua arus penafsiran ulama menyangkut ayat tersebut. Pertama, ulama yang
menafsirkan secara tertutup, bahwa makna dan tujuan dari ayat itu hanya
ditujukan bagi umat Islam.
Sementara ulama kedua menafsirkannya secara
lebih terbuka, bahwa ayat tersebut ditujukan bagi bangsa-bangsa dan agama-agama
lainnya, tak hanya bangsa Arab dan agama Islam, melainkan kemanusiaan dalam
arti sepenuh dan seutuhnya. Tafsir kedua ini lebih sesuai untuk mengaitkan
halalbihalal dengan persoalan kebangsaan Indonesia yang kita hadapi sekarang.
Dalam kitab tafsir al-Mizan fi al-Tafsir al-Qur’an misalnya, Muhammad Thabathaba’i menafsirkan
bahwa ayat tersebut dibuka dengan kata-kata,’’ Ya ayyuha al-nasu (wahai umat manusia) yang menandakan ayat
tersebut tak hanya ditujukan bagi umat Islam tapi seluruh manusia dari suku
bangsa dan agama apapun latar belakangnya. Di sini, makna superfisial halalbihalal yang dipraktikan selama ini
dapat dikembangkan menjadi persatuan kebangsaan tanpa mengenal agama atau
ideologi.
Bagaimanapun, sikap-sikap kemanusiaan semacam
itu sangat diperlukan untuk menandingi kecenderungan pada sebagian kecil masyarakat
yang membenarkan adanya praktik-praktik kekerasan; praktik kekerasan yang
ditimpakan pada komunitas yang berbeda paham ideologi ataupun keagamaan oleh
pihak-pihak tertentu, atau fenomena mengerikan seperti tindakan terorisme atau
bom bunuh diri atas nama agama.
Seorang ahli syariat Islam di University of California LA, Khaled Abu
al-Fadl menyebutkan bahwa sebenarnya tindakan kekerasan tak bertanggung jawab
yang mengatasnamakan Islam dilakukan oleh segelintir orang yang tentu sedikit
jumlahnya (peripheral).
Namun jumlah yang sedikit tersebut
seakan-akan mewakili dari jumlah umat Islam yang banyak. Ini tentu pada
gilirannya sangat merugikan umat Islam secara keseluruhan.
Persaudaraan
Kebangsaan
Bukankah Hadis Nabi Muhammad saw menyebutkan,’’Belum sempurna iman seseorang sehingga ia
mencintai saudaranya sama seperti ia mencintai dirinya sendiri’’ (HR.
Bukhari).
Ini menandakan betapa dalam Islam sangat
menjunjung tinggi nilai-nilai persaudaraan antarumat manusia, terlepas dari
perbedaan agama, ideologi, ras, atau suku bangsa.
Sayang, terlalu banyak muslim di negeri ini
tidak melaksanakan keimanan dan ketakwaannya yang sesungguh-sungguhnya.
Akibatnya bangsa ini akhirnya terombang-ambing dan karut-marut dilanda berbagai
persoalan, baik ekonomi, sosial maupun politik.
Kehidupan masyarakat penuh dengan
ketidakmenentuan, penyakit-penyakit sosial masih eksis. Pengembangan dan pelaksanaan persaudaraan
kebangsaan (ukhuwah wathaniyah) perlu
dilakukan dan dikukuhkan secara bersama, saling mendukung, dan bersifat
sinergis. Persaudaraan kebangsaan perlu ditopang dengan adanya kesadaran
persaudaraan kemanusiaan (ukhuwah
insaniyah) bukan hanya sebatas persaudaraan Islam (ukhuwah Islamiyah) semata-mata.
Jika hanya mengukuhkan persaudaraan Islam
tanpa mengikutkan persaudaraan kemanusiaan, sama halnya mengkutubkan
kemanusiaan dalam sebuah blokade-blokade perbedaan agama yang sangat .
Sementara iklim
peradaban saat ini pun mengharuskan adanya kerja sama yang terbuka yang
dibangun berdasarkan kesadaran bersama, saling menghargai, menghormati, dan
mengasihi antarumat manusia untuk membangun peradaban kemanusiaan pada masa
kini dan masa mendatang. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar