Kebenaran
Pragmatis
Indra Tranggono ; Pemerhati Kebudayaan; Tinggal di
Yogyakarta
|
KOMPAS,
28 Agustus 2012
Ketika seorang penguasa bilang, mempermainkan
kebenaran sama dengan mempermainkan Tuhan, sejatinya ia sedang meneguhkan
keyakinannya atas kebenaran yang sesuai dengan kenyataan dan fakta versi
dirinya. Agar kebenaran itu diterima khalayak, ia pun menjadikan (nama) Tuhan
sebagai ”garansinya”.
Namun, pernyataan itu tidak otomatis membuat
semua orang percaya karena kebenaran ”versi” penguasa itu harus dikonfirmasi
bahkan dikonfrontasi dengan kebenaran orang lain yang juga memiliki kebenaran
atas sebuah kasus besar, terkait kehidupan dengan negara dan bangsa. Kebenaran tidak
otomatis menjadi realitas obyektif hanya karena dinyatakan. Untuk bisa menjadi
obyektif, kebenaran membutuhkan pengujian secara lengkap dan utuh dari berbagai
sisi, pihak, saksi, dan bukti.
Dengan otoritas apa pun, seseorang tidak bisa
menjadi hakim kebenaran tanpa pengujian dan pembuktian. Otoritas tidak identik
dengan kebenaran. Keduanya bisa sejalan jika syarat kebenaran terpenuhi, tetapi
juga bisa konflik ketika terjadi pengingkaran atas kebenaran. Secara
substansial, otoritas tidak bisa menjadi alat pukul atau penakluk kebenaran.
Sementara kebenaran bisa menekan otoritas.
Kebenaran hanya patuh dan tunduk pada nilai,
moral, logika, dan unsur pendukung lainnya: realitas dan fakta yang obyektif.
Kebenaran selalu menjerit dan meronta setiap ditekan oleh kepentingan yang
mengingkari dirinya, baik melalui hukum yang seolah adil tetapi sesat, maupun
rekayasa (manipulasi) atas perkara, data, dan fakta. Kebenaran pun selalu
menemukan jalannya sendiri untuk membuktikan eksistensinya yang sejati.
Menolak Kebenaran
Dalam sejarah kekuasaan, baik pada zaman
monarki, kekuasaan religi, maupun demokrasi, kebenaran selalu menimbulkan
persoalan rumit dan kompleks. Hal ini menegaskan: kebenaran itu mahal dan
sulit, sedangkan kekuasaan itu ”murah” dan ”mudah”. Mahal dan sulit karena
kebenaran membutuhkan cara atau jalan yang ideal untuk mewujudkannya. Di mata
kebenaran, kekuasaan menjadi bernilai/bermartabat jika berorientasi sekaligus
berbasis pada etika dan moral. Etika dan moral itu yang menuntut kekuasaan
sekaligus penguasa untuk bisa berbuat adil, jujur, bersih, santun, dan berani.
Dorongan dan godaan untuk selalu posesif atas
buih-buih kehormatan dan gumpalan uang dan materi sering membuat kekuasaan
”merasa letih” berpegang pada etika dan moral. Genggaman atas idealisme pun
meregang. Idealisme pun lepas dan tenggelam. Kekuasaan pun berderap-derap
menyongsong kehadiran pragmatisme yang datang kemudian. Di dalam kuasa
pragmatisme itu, kekuasaan bisa melampiaskan semua hasratnya demi kepentingan
jangka pendek dan instan.
Pragmatisme berasal dari bahasa latin
pragmaticus yang berarti praktis, aktif, sibuk. Dalam bahasa Yunani pragma
berarti bisnis. Filsafat pragmatisme tumbuh di Amerika. William James
(1842-1910) menumbuhkan filsafat ini melalui buku Pragmatism. Pokok ajaran
(kebenaran pragmatisme) ini adalah sebuah kepercayaan itu dinilai benar jika
berguna. Ukuran kebenaran ialah apakah suatu kepercayaan dapat mengantarkan
orang kepada tujuan. Pragmatisme menolak pandangan tentang kebenaran kaum
rasionalis dan idealis, yang dianggap tidak berguna dalam kehidupan praktis (Kuntowijoyo: 2005).
Kebenaran berbasis pragmatisme itulah yang
kini menguat di negeri ini. Dalam tata kelola negara sangat tampak para
penyelenggara tidak sepenuhnya mengacu pada dasar negara dan konstitusi serta
kearifan budaya bangsa. Pancasila diletakkan dalam etalase simbol atau menjadi
aksesori ritus kenegaraan. Nilai-nilai Pancasila direduksi menjadi
narasi-narasi yang mengambang di ruang hampa. Nasib buruk konstitusi pun
semakin melengkapi keburaman negeri ini.
”Kebenaran” yang dominan adalah kebenaran
kekuasaan bukan kebenaran yang membangsa atau merakyat sesuai dasar negara dan
konstitusi. Kenyataan ini semakin menegaskan: kebenaran ditentukan dan diborong
siapa yang menang bukan atas dasar nilai-nilai ideal kolektif publik. Para
tokoh elite politik yang diduga kuat melakukan korupsi bisa dengan santainya
berkilah, ”Saya tidak korupsi”. Kilah itu cukup ”sakti” menjadi gembok
pengusutan kasus secara lebih tuntas.
”Benere
dhewe”
Kebenaran versi kekuasaan, dalam kultur Jawa
disebut benere dhewe (benarnya
sendiri) yang bertentangan dengan benere
wong akeh (kebenaran publik) dan bener
kang sejati (kebenaran sejati yang bermuara pada Tuhan). Benere dhewe sering pula diartikan bener kang ora pener (kebenaran yang
tidak sesuai dengan nilai-nilai ideal kolektif dan nilai-nilai Tuhan). Maka,
sejatinya benere dhewe yang
menimbulkan korban ketika dijalankan merupakan ”kebenaran” yang mempermainkan Tuhan dan melecehkan kemanusiaan.
Lazimnya, orang-orang yang berani
mempermainkan Tuhan dan melecehkan kemanusiaan demi meraup keuntungan material
dan nonmaterial akan kualat (mendapatkan hukuman). Datangnya walat (hukuman) itu hanya soal waktu.
Semua kekuasaan yang mempermainkan kebenaran dan mempermainkan Tuhan telah
terbukti kualat. Marilah kita menyelamatkan negeri ini dengan memuliakan
kebenaran otentik yang berbasis pada etika dan moral. Negeri ini sudah penuh
sesak dengan kebenaran pragmatis. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar