Koherensi Sistem
dan Kebijakan
Anita Lie ; Guru Besar Unika Widya Mandala Surabaya;
Anggota Komunitas
Indonesia untuk Demokrasi
|
KOMPAS,
30 Agustus 2012
Dinamika globalisasi makin menuntut
pemerintah membangun sistem pendidikan bermutu yang akan mengantar anak-anak
bangsa sebagai warga dunia yang bermartabat, bermoral, dan berkontribusi dalam
pembangunan bangsanya dan perkembangan peradaban dunia.
Dalam konteks negara yang sedang berkembang,
partisipasi aktif masyarakat dalam pembangunan pendidikan masih sangat sporadis
tetapi tetap potensial untuk terus digalang dan ditumbuhkan secara optimal.
Semangat dan pemikiran Wakil Presiden
Boediono (Kompas, 27/8) kita sambut gembira dan harapkan bisa meneguhkan
kesadaran bersama bahwa pendidikan adalah kunci pembangunan. Visi pembangunan
dan kemajuan bangsa melalui pendidikan perlu didukung dengan koherensi sistem
dan kebijakan pendidikan.
Ada tiga isu sentral dalam sistem dan
kerangka kebijakan pendidikan di Indonesia: sentralisasi-desentralisasi,
komitmen pendidikan untuk semua, dan kejelasan sasaran.
Sentralisasi-Desentralisasi
Banyak negara—maju maupun berkembang—masih
terus berproses dan bereksperimen dalam tarik ulur sentralisasi dan
desentralisasi. Ketika dinamika institusi-institusi politik dan ekonomi sedang
berlangsung dalam tarik ulur ini (di antaranya, polemik pembahasan Rancangan
Undang-Undang Pengganti Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah), sistem pendidikan di Indonesia juga terus bereksperimen dalam
kebijakan pusat-daerah.
Ada banyak kajian tentang kemajuan
pembangunan pendidikan negara-negara maju dan kaitannya dengan pembagian
wewenang pusat-daerah. Setiap negara mempunyai sistem pendidikan yang unik dan
tidak bisa dibandingkan secara langsung. Namun, ada pelajaran berharga yang
bisa diambil untuk pembangunan pendidikan di Indonesia.
Dalam tarik ulur pusat-daerah, tiga area
kebijakan pendidikan perlu diperjelas, yakni kebijakan kurikulum, pembiayaan,
serta pendidik dan tenaga kependidikan. Peraturan Pemerintah No 19/2005 tentang
Standar Nasional Pendidikan memuat delapan standar.
Empat di antaranya: standar isi dan standar
kompetensi (menyangkut kurikulum), standar pembiayaan, dan standar pendidik dan
tenaga kependidikan, mengandung nilai strategis dalam pencapaian visi
pembangunan pendidikan. Sementara empat lainnya terlalu instrumental dan teknis
(misalnya, standar sarana dan prasarana mengatur jumlah minimal ruang belajar, tempat
olahraga, tempat beribadah, dan sebagainya).
Kebijakan kurikulum termasuk substantif
karena memuat apa yang penting dan harus diajarkan. Polemik standar kurikulum
terus terjadi di kalangan pakar pendidikan.
Perbandingan antarnegara menjadi
materi argumen oleh kedua belah pihak pengusung ataupun penentang standar
kurikulum.
Pakar pendukung kebijakan standar kurikulum
berpendapat standar nasional dibutuhkan sebagai acuan untuk memperbaiki mutu
pendidikan. Sementara para penentang mengkhawatirkan standar nasional akan
mengarah pada reduksi esensi pendidikan dan minimalisasi pencapaian.
Tak ada bukti cukup kuat yang mendukung
korelasi standar nasional dengan kemajuan pendidikan di negara-negara lain.
Bahkan, sentralisasi standar nasional kurikulum di China tak mengurangi
kesenjangan capaian akademik di antara siswa dari sejumlah daerah (Yong Zhao,
2010).
Finlandia sering menjadi acuan sebagai negara
maju dengan mutu dan capaian pendidikan yang cemerlang. Negara ini mempunyai
sistem standar nasional tetapi menyerahkan implementasi dan penilaian pada
komunitas lokal.
Bangsa Indonesia membutuhkan kesatuan visi
tentang tujuan pendidikan dan the Indonesian Dream secara nasional dengan
eksekusi yang menghargai keberagaman di tingkat lokal. Standar seharusnya
menjadi arahan dan ideal, bukan hasil yang harus dicapai. Keunggulan
membutuhkan perjuangan menuju yang ideal bukan kepatuhan terhadap ekspektasi
minimal.
Standar pembiayaan serta standar pendidik dan
tenaga kependidikan juga memegang peran strategis dalam pembangunan pendidikan
secara nasional. Belajar dari negara-negara dengan sistem pendidikan yang
berhasil (Kanada, Finlandia, Jepang, Korea, dan Singapura), dibutuhkan komitmen
serius terhadap kebijakan pembiayaan dan perekrutan/pengembangan pendidik.
Dalam konteks Indonesia saat ini, belum
saatnya menyerahkan kedua hal ini sepenuhnya pada komitmen dan kejujuran
pemerintah daerah. Ada variasi komitmen dan kompetensi kepala daerah yang masih
terlalu besar.
Secara nasional, alokasi minimum 20 persen
dari APBN (sekitar Rp 200 triliun pada 2010) untuk pendidikan sudah
menghasilkan peningkatan akses terhadap pendidikan (Angka Partisipasi Murni/APM
dan Angka Partisipasi Kasar/APK) tetapi kualitas masih menjadi masalah besar.
Bank Dunia mencatat permasalahan ketidakefisienan dalam pengeluaran pendidikan.
Bermutu untuk Semua
Ketika beberapa negara maju sudah beranjak
dari kebijakan ”pendidikan dasar untuk semua” menuju pengembangan knowledge workers, Indonesia masih tetap
harus konsisten terhadap komitmen ”pendidikan dasar untuk semua” sambil
melakukan lompatan strategis agar semua anak bisa dapat kesempatan menikmati
pendidikan bermutu.
Sayangnya, masih ada kesenjangan antara
deklarasi komitmen dan praktik. Di daerah-daerah terpencil masih banyak anak
”lulusan” SD yang belum kompeten baca-tulis-hitung. Sementara, keluarga kelas
menengah dan atas berlomba-lomba memasukkan anaknya ke sekolah-sekolah
berstandar internasional, baik dalam struktur pemerintah seperti SBI dan RSBI
maupun sekolah-sekolah negeri dan swasta yang telah membeli kurikulum asing.
Sudah saatnya pemerintah pusat dan daerah
menggunakan indikator lebih dari sekadar APK dan APM untuk menilai keberhasilan
pembangunan pendidikan. Pengabaian terhadap anak miskin dalam sistem pendidikan
nasional kelak akan berakibat pada ketimpangan dan gejolak sosial yang terlalu
mahal.
Sasaran Harus Jelas
Setelah pendidikan dasar dan menengah, kita
perlu menjabarkan impian kita terhadap anak- anak muda Indonesia. Apakah kita
mengejar sebagian negara maju dengan mendorong sebanyak-banyaknya anak muda
untuk menjadi sarjana dan knowledge workers?
Atau kita cukup realistis dengan situasi
bahwa sebagian anak muda kita akan menjadi pemimpin yang terdidik sementara
sebagian lainnya cukup menjadi terlatih dan terampil?
Jawaban ”ya” pada pertanyaan pertama terkesan
humanis dan demokratis tetapi sangat tidak realistis untuk saat ini.
Sebaliknya, kita mungkin tidak suka menjawab pertanyaan kedua karena
mengingatkan pada rekayasa manusia ke dalam lima kasta: Alfa, Beta, Gamma,
Delta, dan Epsilon, dalam novel Brave New
World karya Aldous Huxley walaupun sesungguhnya kecemasan terhadap fenomena
kastanisasi (Darmaningtyas) muncul dari pengelompokan anak berdasarkan kelas
sosial di sekolah-sekolah dengan berbagai tingkatan standar.
Dalam catatan Bank Dunia, hanya 4 persen anak
berusia 18-20 tahun dari kuintil pendapatan paling rendah yang bisa menikmati
pendidikan tinggi. Penyelesaian terhadap permasalahan kesenjangan ini perlu
dimulai dari pengakuan terhadap realitas kemiskinan yang sedang kita hadapi dan
pemahaman mengenai sumber daya yang kita punya.
Strategi penyelesaian masalah perlu dibuat
secara bertahap dengan kejelasan sasaran di atas prinsip keadilan bagi semua
anak. Pembangunan universitas, politeknik, dan akademi komunitas perlu memperhatikan
tahapan dan kejelasan sasaran dalam strategi penyelesaian masalah secara jangka
panjang.
Ajakan Wapres Boediono untuk melaksanakan
percepatan dan perluasan pendidikan dengan lebih serius kita harapkan bisa
menjadi energi bagi tumbuhnya sikap kepemimpinan nonpartisan dalam beberapa
dekade mendatang dalam pembangunan pendidikan yang bertanggung jawab dan kerja
keras pemerintah serta masyarakat agar bonus demografi bisa benar-benar
berlanjut pada kemakmuran bagi bangsa Indonesia. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar