Sinergi
Kebijakan dan Refocusing Program Litbang
Hendro Wicaksono ; Kedeputian Bidang
Relevansi dan Produktivitas Iptek Kemenristek
|
MEDIA
INDONESIA, 25 Agustus 2012
''Hal terpenting dari
semua ini ialah implementasi yang menyeluruh dan berkesinambungan demi kemajuan
dan kemandirian, bukan semata-mata untuk kepentingan institusi semata.''
RAPAT koordinasi nasional (rakornas) ilmu pengetahuan dan
teknologi (iptek) merupakan salah satu agenda rutin Kementerian Riset dan
Teknologi (Kemenristek) dalam upaya menyinergikan kegiatan litbang nasional
sejak 2000-an. Seluruh kementerian/lembaga yang terkait dengan iptek ikut serta
dalam mencari solusi dan pencerahan terkait dengan kebijakan dan program
litbang nasional. Sudah banyak kesepakatan ditelurkan bersama-sama.
Tahun lalu, Menristek Gusti Muhammad Hatta memberikan arahan bahwa
sebagai institusi pemerintah, selain membuat kebijakan dan koordinasi
pelaksanaan kebijakan, kemenristek hendaknya dituntut melakukan pembinaan dalam
sinergi riset dan refocusing arah riset. Lembaga litbang dan perguruan tinggi
diharapkan dapat berperan dalam tumbuh suburnya embrio-embrio inovasi, motor
penggerak inovasi, dan perkembangan iptek serta berperan sebagai agent for transfer of technology (ToT).
Adapun industri diharapkan dapat berperan sebagai ujung tombak
dari proses inovasi nasional yang akan mengabsorpsi hasil litbang dari lembaga
litbang dan perguruan tinggi. Menristek juga mengharapkan semua kegiatan
litbang yang dibiayai pemerintah harus menghasilkan output yang jelas seperti publikasi, prototipe, dan paten.
Namun, implementasi orkestra iptek nasional belum enak didengar
telinga kita. Di lapangan, itu banyak terkendala oleh berbagai sistem
administrasi dan birokrasi yang masih belum mencerminkan suatu kesatuan grand scenario litbang nasional.
Yang menjadi permasalahan utama ialah bagaimana relevansi
kebijakan sistem nasional penelitian, pengembangan, dan penerapan (litbangrap)
iptek yang tertuang dalam UU No 18 Tahun 2002 dengan implementasi, monitoring,
dan evaluasi pelaksanaan kebijakan tersebut? Apakah benar kewenangan
Kemenristek sebagai koordinator penyusunan kebijakan strategis pembangunan
nasional iptek? Sudah produktifkah implementasi sistem nasional litbangrap
iptek untuk kontribusi kepada nilai tambah (value
added) teknologi?
Sejauh manakah kebijakan strategis iptek nasional dirujuk
secara nasional oleh lembaga litbang dan perguruan tinggi?
Sulit Bersinergi
Perlu dipahami, keberhasilan negara maju meningkatkan penguasaan
iptek disebabkan negara tersebut mampu menyinergikan perkembangan kelembagaan
dan sumber daya iptek yang dimiliki dengan berbagai faktor lain dengan sistem
secara nasional. Hal tersebut tampak pada daya saing mereka di tengah iklim
globalisasi di saat negara-negara maju mampu berada pada peringkat atas dalam
indeks daya saing global yang dilaporkan World
Economic Forum (WEF).
Membangun sinergi nasional merupakan kata kunci agar dapat bertahan
dan bersaing di tengah arus globalisasi. Proses globalisasi telah mendorong
keterlibatan bangsa dalam persaingan internasional serta berkompetisi untuk
pasar, teknologi, keahlian, dan investasi. WEF melakukan kajian global competitiveness index (GCI) yang
meliputi 12 pilar dalam perbandingan daya saing antarnegara, yakni pilar
institusi, infrastruktur, lingkungan makroekonomi, kesehatan dan pendidikan
dasar, pendidikan tinggi dan training,
efisiensi pasar ko moditas, efisiensi pasar tenaga kerja, pengembangan pasar finansial,
kesiapan teknologi, besaran pasar, kecanggihan bisnis, dan inovasi.
Pada 2011-2012, Indonesia menempati peringkat 46 dari 142 negara
(tahun lalu peringkat 44). Dari 12 pilar yang ada, pilar yang mewakili iptek
(pilar kesiapan teknologi) dinilai masih lemah, yakni di peringkat 94.
Pilar kesiapan teknologi tersebut, dalam kurun waktu 2008-2012,
nyaris tak bergerak dari peringkat 90-an. Dari data tersebut dapat disimpulkan,
kemajuan hasil litbang iptek belum berdampak nyata terhadap peningkatan daya
saing.
Dari data olahan LIPI, Kemenristek, dan BPS 1990-2006 mengenai
neraca perdagangan Indonesia, transaksi perdagang an komoditas yang
berintensitas teknologi rendah baik migas maupun nonmigas mengalami kenaikan
volume transaksi. Adapun komoditas yang berteknologi menengah/tinggi mengalami
penurunan.
Hal tersebut menunjukkan kontribusi hasil litbang dalam
peningkatan nilai tambah produk masih dinilai kurang dan cenderung pada
peningkat an transaksi produk bahan mentah seperti bahan baku sumber daya alam.
Dalam rangka upaya peningkatan kontribusi iptek untuk meningkatkan
kemampuan daya saing, perlu suatu upaya peningkatan penguasaan kemampuan iptek
baik di industri maupun di lembaga pendukung yang mempunyai peran untuk dapat
menghasilkan produk inovasi dengan tingkat kandungan teknologi dalam negeri
yang lebih tinggi.
Mempertajam orientasi kebijakan pembangunan iptek yang lebih fokus
kepada kontribusi dalam pertumbuhan ekonomi menjadi keharusan. Hasil dari
berbagai kajian yang telah dilakukan para pakar kebijakan pembangunan
menunjukkan kontribusi iptek akan sangat besar apabila kegiatan litbang bisa
sinergi dan fokus terhadap kebutuhan industri, pemerintah, dan masyarakat.
Contohnya Jepang, Belanda, dan Jerman. Mereka membangun industri-industri
sekaligus memperkuat kemampuan litbang iptek untuk meningkatkan pertumbuhan
ekonomi dan daya saing mereka. Hal tersebut merupakan salah satu cara jitu
untuk berkontribusi kepada sistem inovasi mereka.
Kesulitan Implementasi
Sinergi mengandung makna berkoordinasi, bekerja sama, selaras,
dan serasi. Itu mudah diucapkan, tetapi sulit dilaksanakan untuk sebagian
kasus. Realitasnya, semua kementerian/lembaga mempunyai indeks kinerja utama
(IKU) dan rencana strategis masing-masing yang sudah diplot untuk jangka pendek
dan menengah. Di dalam RPJMN Pembangunan Iptek, sudah terbagi habis rencana
tindak kementerian/lembaga untuk 2010-2014.
Begitu pula halnya dengan implementasi MP3EI (Masterplan Percepatan
dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia), terdapat 22 kegiatan ekonomi
utama yang tersebar di enam koridor ekonomi nasional.
Ada pula 6 Program Prorakyat di Klaster 4 yang merupakan arahan
Presiden, yang salah satunya ialah kendaraan angkutan umum murah untuk
perdesaan dan N219. Kebutuhan investasi dalam skema MP3EI tersebut sebesar Rp4.012
triliun. Tidak mungkin dana itu diadakan sendiri.
Foreign direct
investment
(FDI) dalam bentuk publicprivate
partnership (PPP) yang dapat menarik investasi asing sebesar 51% sangat
diharapkan. Oleh karena itu, segenap kementerian berupaya keras merancang dan
membuat analisis dan naskah akademis untuk diajukan sebagai dasar
dikeluarkannya instruksi presiden (inpres). Inpres itulah yang akan menjadi
landasan hukum bagi kementerian/ lembaga untuk melaksanakan rencana pembangunan
tersebut.
Hal terpenting dari semua ini ialah implementasi yang menyeluruh
dan berkesinambungan demi kemajuan dan kemandirian, bukan semata-mata untuk
kepentingan institusi semata. Begitu pula dengan kebijakan pengembangan iptek, hal tersebut
merupakan suatu kebijakan yang memakan waktu yang tidak bisa instan dalam
proses pencapaian outcome-nya.
Skema implementasi pengembangan
iptek yang bersinergi, salah satunya, harus diawali dengan mengurangi unfocused research dan overlapped research. Tanpa mengurangi
hal-hal tersebut, harapan besar yang sudah dirancang akan jauh panggang dari
api. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar