Menyoal
Kemandirian Riset Nasional
Husin Alatas ; Lektor Kepala
Departemen Fisika FMIPA-IPB
|
MEDIA
INDONESIA, 25 Agustus 2012
INOVASI untuk kemandirian bangsa merupakan tema yang dicanangkan
pemerintah pada perayaan ke-17 Hari Kebangkitan Teknologi Nasional tahun ini.
Kesuksesan realisasi tema tersebut tentu saja dapat membawa ke kemajuan yang
signifikan bagi bangsa kita.
Namun, pertanyaan mendasar yang perlu dijawab guna mendukung kesuksesan
tema tersebut ialah bagaimanakah kondisi kemandirian nasional di bidang riset
saat ini? Sebuah kemandirian yang efek domino nya terbukti secara empiris
berkorelasi positif dengan kemampuan sebuah bangsa mengoptimalkan apa yang di
milikinya melalui inovasii-novasi yang cerdas dan kreatif serta memiliki nilai
tambah tinggi.
Sebelum menjawabnya, layak dikaji terlebih dahulu data terkait
dengan profil produksi dokumen ilmiah terpublikasikan yang berasal dari
Indonesia jika dibandingkan dengan negara lain. Jumlah tersebut dapat dijadikan
indi kator kemandirian riset sebuah negara. Data terkait dapat diakses secara
gratis di http://www.scimagojr.com
yang bersumber dari pangkalan data publikasi ilmiah, Scopus.
Selain Indonesia, negara yang datanya dipilih untuk disajikan
ialah tiga negara maju yang nyata-nyata telah mandiri dalam riset, Amerika
Serikat, Jerman, dan Jepang. Kemudian empat negara BRIC--Brasil, Rusia, India,
dan China--dan terakhir empat negara di Asia Tenggara, yaitu Thailand,
Malaysia, Vietnam, dan Filipina. Sebagai tambahan disertakan pula Iran sebagai
kasus khusus.
Penelusuran difokuskan pada jumlah produksi dokumen ilmiah baik
yang dapat di sitasi maupun tidak, serta persentase dokumen hasil kola borasi
dengan institusi dari negara lain untuk 2010. Data tahun tersebut merupakan
data terbaru yang tersedia.
Berikut ialah data jumlah dokumen ilmiah negara-nega ra tersebut
dan angka dalam kurung menyatakan persentase dokumen ilmiah hasil kolaborasi
antara institusi di negara tersebut dan institusi dari negara lain.
1. Indonesia: 2.032 (67,67%), 2. Amerika Serikat: 502.804
(28,45%), 3. Jerman: 130.031 (44,72%), 4. Jepang: 113.246 (23,69%), 5. Brasil:
45.189 (24,35%) 6. Ru sia: 36.053 (29,37%) 7. India: 71.975 (17,46%), 8. China:
320.800 (14,68%), 9. Thailand: 9.129 (37,86%) 10. Malaysia: 14.407 (29,81%) 11.
Filipina: 1.056 (61,65%) 12. Vietnam: 1.890 (71,32%), dan 13. Iran: 27.510
(17,85%).
Berdasarkan data ke-13 negara tersebut, jelas terlihat bahwa hanya
terdapat tiga negara yang memiliki persentase dokumen ilmiah hasil kolaborasi
dengan negara lain lebih dari 50%, yaitu Vietnam, Indonesia, dan Filipina.
Kemandirian Riset Rendah
Data mengenai Indonesia menunjukkan mulai 1996 hingga 2010
terdapat kecenderungan jumlah kolaborasi yang relatif stabil, dengan angka tertinggi
tercatat pada 2004 sebesar 81,60% dan terendah 2010 sebesar 67,67% dengan rata-rata
74,86%. Jumlah dokumen ilmiah yang tercatat terus meningkat, dari 15 di 1996
menjadi 2.032 di 2010.
Kecenderungan peningkatan jumlah dokumen dan stabilnya kolaborasi
dengan persentase yang relatif tinggi juga diperlihatkan Vietnam dan Filipina. Sementara
ke-9 negara lainnya memiliki persentase kolaborasi yang relatif rendah. Kecuali
Iran yang memperlihatkan
kecenderungan menurun dari 36,42% di 1996 menjadi 17,85% di 2010, dengan
rata-rata sebesar 24,53%. Jumlah dokumen ilmiah mereka tumbuh secara
eksponensial, mulai 810 menjadi 27.510 dalam kurun 15 tahun tersebut.
Dokumen ilmiah dari Indonesia sebagai hasil kolaborasi dengan
institusi dari negara lain setidaknya berasal dari empat sumber. Pertama,
penelitian kolaboratif berdasarkan kesamaan minat dan tingkat kepakaran. Kedua,
penelitian yang minim fasilitas pendukung sehingga harus menggandeng mitra luar
negeri. Ketiga, peneliti asing yang berminat meneliti keunikan Indonesia dan
menggandeng peneliti lokal. Keempat, penelitian mahasiswa pascasarjana yang
tengah studi di luar negeri dan atas izin promotornya dibolehkan mencantumkan
institusi tempatnya bertugas di Indone sia pada publikasi ilmiah mereka.
Tentu, keempat sumber dokumen ilmiah tersebut sangat positif bagi
Indonesia. Namun, kenyataan bahwa dalam rentang 1996-2010 secara rata-rata
hanya 25,14% porsi dokumen ilmiah yang murni dihasilkan tanpa berkolaborasi
dengan pihak asing merupakan kondisi yang sangat memprihatinkan!
Data tersebut sangat mungkin menunjukkan rendahnya kemandirian
kita dalam melakukan riset, terutama yang berkualitas baik. Jumlah dokumen
ilmiah yang relatif sedikit juga turut memperkuatnya.
Penyebab kondisi itu tampaknya masih berupa problem klasik dari
tahun ke tahun yang terkait satu sama lain, yakni antara lain minimnya
pendanaan riset, relatif rendahnya pengalaman riset rata-rata peneliti serta
kurangnya penghargaan terhadap eksistensi mereka, belum optimalnya peran
program pascasarjana di perguruan tinggi dan lembaga penelitian sebagai mesin
utama penghasil pengetahuan baru, serta belum berjalannya sinergi yang efektif
di antara perguruan tinggi, lembaga penelitian, dan industri. Minimnya
pendanaan riset berkontribusi pula pada kurangnya ketersediaan fasilitas riset
dalam jumlah memadai berupa laboratorium-laboratorium berperalatan lengkap yang
penanganan dan perawatannya dilakukan tenaga profesional.
Pilar Utama
Guna mencapai kemandirian riset tersebut sangat dibutuhkan
kebijakan yang nyata dan kuat dari pemerintah dan DPR dengan menjadikannya
sebagai pilar utama penyokong pembangunan nasional. Dengan menimbang bangsa
kita terbukti tidak kekurangan sumber daya manusia yang memiliki potensi besar
untuk melakukan riset berkualitas, keberanian politik untuk menetapkan anggaran
riset lebih dari 1% produk domestik bruto (PDB), sebagaimana yang telah
disarankan Komite Inovasi Nasional (KIN) baru-baru ini (http://www.metrotvnews.com, 9 Juni 2012), memang harus diyakini
merupakan satu langkah tepat yang mampu memecahkan problem-problem di atas dan
membawa budaya serta atmosfer riset negeri ini ke arah yang jauh lebih baik
lagi.
Tidak berlebihan untuk
mengatakan langkah penting yang perlu dilakukan terlebih dulu untuk merealisasikannya
haruslah berbentuk upaya peningkatan kemandirian riset nasional secara masif.
Tanpa itu, sepertinya sulit untuk memperoleh inovasi nasional yang benar-benar
berkualitas dan berkuantitas. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar