Senin, 13 Agustus 2012

Pertumbuhan dalam Ketidakseimbangan


Pertumbuhan dalam Ketidakseimbangan
A Prasetyantoko ; Ekonom serta Ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat Universitas Katolik Atma Jaya, Jakarta
KOMPAS,  13 Agustus 2012


Ekonomi adalah soal keseimbangan. Setiap ketidakseimbangan selalu membutuhkan proses penyesuaian menuju titik ekuilibrium baru. Jika lancar, proses penyesuaian bagaikan pendaratan pesawat yang berjalan mulus (soft landing). Namun, tak jarang penyesuaian diwarnai gejolak (hard landing), bahkan benturan keras (crash landing). Krisis adalah proses pencarian titik keseimbangan baru yang diwarnai gejolak dan benturan keras.

Krisis negara-negara maju terjadi karena ketidakseimbangan akut. Perekonomian Amerika Serikat (AS), misalnya, selama bertahun-tahun harus menanggung defisit ganda (twin defisit): anggaran dan neraca pembayaran. Masuknya produk impor secara tajam, terutama dari China, membuat produk dalam negeri AS tidak bisa bersaing, selain devisa mengalir keluar.

Di sisi lain, kelebihan likuiditas di China mendorong pembelian besar-besaran instrumen investasi ke pasar keuangan AS. Likuiditas mengalir kembali ke AS dalam bentuk pembelian surat utang. Ben Bernanke, Gubernur The Fed, memopulerkan istilah saving glut theory. Intinya, kelimpahan simpanan di China telah mendorong terjadinya ketidakseimbangan global, yang diyakini menjadi salah satu penyebab krisis keuangan 2008. Bagaimana konstelasi global tersebut turut mewarnai dinamika ekonomi makro kita akhir-akhir ini?

Pada triwulan II-2012, di luar dugaan banyak prediksi, pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai 6,37 persen dibandingkan tahun lalu atau tumbuh 2,8 persen dibanding triwulan sebelumnya. Penurunan ekspor ternyata bisa dikompensasi dengan kuatnya permintaan domestik serta investasi yang tumbuh meyakinkan. Namun, pertumbuhan ekonomi juga diwarnai ketidakseimbangan, baik dari sisi eksternal maupun internal. Jika tidak ditangani dengan baik, akan menimbulkan kerawanan pada masa depan.

Pertama, pertumbuhan ekonomi disertai dengan melebarnya defisit neraca pembayaran Indonesia (NPI) sebesar 2,8 miliar dollar AS pada triwulan II-2012. Defisit NPI disebabkan meningkatnya defisit neraca transaksi berjalan (current account) sebesar 6,9 miliar dollar AS atau 3,1 persen terhadap produk domestik bruto. Selain karena lonjakan barang impor, defisit juga didorong peningkatan pembayaran jasa dan repatriasi modal ke luar negeri. Sementara nilai ekspor terpuruk akibat penurunan harga komoditas serta melemahnya permintaan global.

Perekonomian domestik yang bertumpu pada konsumsi mendorong peningkatan penanaman modal asing (PMA) untuk melayani kebutuhan domestik. Sementara peningkatan investasi diikuti lonjakan arus impor bahan baku, bahan penolong, dan barang modal. PMA tumbuh 30 persen dibandingkan tahun lalu, sementara penanaman modal dalam negeri hanya tumbuh 10 persen.

Di sisi lain, negara-negara maju yang tengah sekarat karena beban utang publik serta defisit fiskal melihat satu-satunya cara menyelamatkan perekonomian mereka adalah mendorong ekspor untuk menarik devisa lebih banyak. Tingginya kebutuhan konsumsi di Indonesia mendorong intensifikasi ekspor negara maju, baik dalam bentuk bahan baku maupun barang jadi. Kedua, pertumbuhan diwarnai dengan kesenjangan antarsektor produksi. Kecenderungannya, sektor tersier atau sektor jasa lebih dominan. Pada triwulan II-2012 ini, sektor pengangkutan dan telekomunikasi masih memimpin pertumbuhan tertinggi sebesar 10 persen. Disusul sektor perdagangan, hotel, dan restoran yang tumbuh 8,9 persen, kemudian sektor konstruksi dengan pertumbuhan 7,3 persen.

Ketiga, pertumbuhan ekonomi disertai dengan peningkatan kesenjangan ekonomi. Hal tersebut tidak terhindarkan mengingat sumber-sumber pertumbuhan yang berasal dari sektor tersier (non-tradable) biasanya tidak menyerap tenaga kerja cukup banyak. Pertumbuhan tinggi disertai peningkatan kesenjangan ditandai dengan meningkatnya rasio Gini menjadi 0,41 persen pada 2011 dari 0,38 pada 2010. Peningkatan rasio Gini menandakan makin seriusnya masalah kesenjangan.

Ada dua masalah pokok terkait dengan pertumbuhan dan ketidakseimbangan, baik eksternal maupun internal. Pertama, proses penyesuaian harus dilakukan secara konsisten dan berkelanjutan agar tidak mengganggu stabilitas ekonomi makro. Kedua, diperlukan intervensi sistematis dan progresif untuk memperbaiki kualitas pertumbuhan agar kesenjangan bisa teratasi.

Kita memerlukan kualitas pertumbuhan yang meyakinkan setiap pertumbuhan ekonomi memberikan efek signifikan bagi penciptaan lapangan kerja sehingga mengurangi jumlah kemiskinan. Bukan pertumbuhan yang hanya didorong peningkatan daya beli kelas menengah yang memburu barang-barang kebutuhan tersier dengan komponen impor tinggi. Itulah ciri ekonomi berbasis kesempatan (opportunity driven) yang cenderung autopilot.

Pemerintah dan otoritas moneter memang tidak tinggal diam. Bank Indonesia (BI), misalnya, sudah mengumumkan berbagai kebijakan yang akan diambil dalam rangka menekan arus impor. Pertama, kebijakan nilai tukar disesuaikan dengan faktor fundamental. Salah satu implikasinya, nilai tukar akan dibiarkan sedikit melemah untuk menahan arus impor. Kedua, menjaga stabilitas rupiah serta manajemen likuiditas melalui kebijakan suku bunga moderat. Suku bunga acuan (BI Rate) dipertahankan pada 5,75 persen agar tidak mendorong arus modal keluar (capital outflow). Ketiga, memperdalam pasar valuta asing dengan menawarkan instrumen keuangan yang lebih menarik. Keempat, kebijakan makro-prudensial.

Situasi kompleks telah membuat BI menghadapi trilema yang mustahil diatasi bersamaan, dikenal dengan istilah impossible trinity. Intinya, menjaga stabilitas nilai tukar, mempertahankan devisa bebas, serta mendorong kebijakan moneter untuk kepentingan ekonomi domestik (suku bunga rendah) mustahil dilakukan secara bersamaan.

Di sisi lain, pemerintah juga terus berupaya meningkatkan ekspor serta menurunkan impor dengan berbagai cara. Salah satunya, pengetatan impor yang tidak sesuai dengan standar kesehatan dan keselamatan konsumen. Sementara jurus klasik peningkatan daya saing, iklim investasi, serta penerapan instrumen fiskal juga terus dijanjikan.

Cara menangani ketidakseimbangan tidak bisa mengandalkan teknik autopilot, tetapi dengan intervensi yang terukur, terkoordinasi, dan solid. Hal itu supaya pendaratan terjadi dengan baik tanpa gejolak dan benturan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar