Bahaya Krisis
Pangan
Dwi Andreas Santosa ; Ketua Program S-2 Bioteknologi Tanah dan
Lingkungan IPB; Salah Satu Penggagas Asosiasi Bank Benih Tani Indonesia
KOMPAS,
13 Agustus 2012
November tahun lalu di Kompas, saya menulis
kekhawatiran akan terjadi krisis pangan tahun 2012. Hal ini muncul karena
Indonesia diprediksikan akan mengalami fenomena El Nino, suatu iklim kering
berkepanjangan, 2012. Ternyata fenomena kekeringan tak terjadi.
Indonesia sekali lagi diselamatkan kemurahan
alam, sebagaimana terjadi pada 2008-2009. Justru krisis pangan dimulai di
tempat yang sama sekali tidak terduga, berjarak sekitar 14.000 kilometer dari
Indonesia. Amerika Serikat dilanda kekeringan terhebat sepanjang 78 tahun
terakhir yang menurunkan produksi, terutama kedelai dan jagung.
Kekeringan melanda 87 persen pertanaman
kedelai dan 88 persen jagung. Harga kedelai mencapai rekor tertinggi sepanjang
sejarah: 646 dollar AS per ton atau Rp 6.137 per kilogram (Chicago Board of Trade, 20/7/2012).
Harga ini lebih tinggi dibanding puncak krisis pangan 2008 dan meningkat 44
persen dibanding awal 2012. Harga jagung juga mencapai rekor tertinggi, 324
dollar AS per ton, meningkat 41 persen dibanding harga awal tahun.
Krisis produksi untuk kedelai dan jagung bisa
dimanfaatkan investor dan spekulan pangan guna menarik gerbong pangan lain ke
atas (New England Complex Systems
Institute/NECSI, 24/7/2012). Hal ini terbukti pada gandum yang tak terlalu
terganggu produksinya, harganya justru meningkat lebih tinggi, 55 persen
dibanding awal tahun. Mirip krisis pangan 2008, padi dan gandum telah
meningkatkan harga pangan jagung dan kedelai. Kenaikan harga pangan yang tinggi
di AS secara umum tidak begitu berpengaruh pada kehidupan masyarakat setempat
karena persentase pengeluaran keluarga untuk pangan rendah, 14 persen.
Ketika riak gelombang kenaikan harga pangan
sampai ke negara berkembang—yang lebih dari setengah pendapatan dibelanjakan
untuk pangan—timbul dampak yang sama sekali berbeda. Bisa sekadar demonstrasi
kecil pengusaha tahu dan tempe sebagaimana terjadi belakangan ini atau membesar
menjadi kerusuhan sosial di berbagai tempat sebagaimana dialami Indonesia tahun
1997-1998.
Terkait Pangan
Arab Spring 2011 yang ditandai tumbangnya
beberapa rezim di Timur Tengah secara langsung dan tak langsung terkait krisis
pangan. NECSI yang melakukan riset mendalam menyimpulkan bahwa karakter
geografis kekerasan berubah dengan cepat ketika harga pangan meningkat tajam.
Letupan-letupan kecil yang semula ada di tingkat lokal segera berkembang
menjadi kerusuhan besar di level nasional, bahkan regional.
Krisis pangan 2012 tampaknya menjadi suatu
keniscayaan. Stok biji-bijian dunia saat ini mencapai titik terendah, di mana
produsen pangan dunia, terutama AS dan Rusia, mengalami penurunan cadangan
pangan cukup besar. Hal ini berarti tidak ada ruang manuver bagi negara-negara
yang bergantung pada impor biji-bijian dari AS, seperti Indonesia.
Kebijakan klasik yang hampir selalu diambil
pemerintah terkait dengan krisis pangan adalah penurunan tarif impor hingga 0
persen. Kebijakan ini dipastikan tak akan efektif meredam kenaikan harga pangan
karena tarif impor saat ini sudah cukup rendah, padahal harga komoditas
biji-bijian di luar beras masih akan terus meningkat. Solusi lain yang sering
ditawarkan adalah meningkatkan luas areal pangan. Usulan ini selalu muncul
setiap muncul masalah pangan di Indonesia.
Pencanangan revitalisasi pertanian dan
reforma agraria yang akan mengalokasikan lebih dari 7 juta hektar untuk lahan
pangan, pengembangan Merauke Integrated
Food and Energy Estate, rencana pengembangan lahan kedelai 150.000 hektar
di bekas lahan gambut Kalimantan Tengah, pengembangan lahan gambut, dan
keluarnya Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan
Pertanian Pangan Berkelanjutan merupakan beberapa contoh sikap pemerintah pada
ancaman krisis pangan masa depan. Sayang tidak ada konsistensi menjalankannya.
Pelaksanaan Parah
Suatu contoh kecil ketika pemerintah pada
2004 mencanangkan akan menambah 7,2 juta hektar lahan pertanian sehingga total
menjadi 15 juta hektar lahan untuk pangan, yang terjadi justru menurunnya
luasan lahan untuk pangan (sawah) dari semula 7,9 juta hektar menjadi 7,3 juta
hektar saat ini. Jika dilacak ke belakang, sering juga karena kesalahan
perencanaan. Pengembangan lahan gambut 1 juta hektar untuk pangan masa lalu,
misalnya, mengingkari logika ilmiah para ahli tanah yang menyatakan lahan
gambut tidak bisa dikelola dalam satu hamparan yang sangat luas. Seharusnya
pengelolaan dalam blok-blok kecil yang mandiri. Namun, pendapat ini tak
didengarkan.
Kebijakan lain adalah intensifikasi
pertanian. Intensifikasi pertanian memainkan peran sangat penting pada periode
awal ketika teknologi dan rakitan teknologi mulai dikenalkan. Meski demikian,
berdasarkan kajian terhadap data 20 tahun terakhir, intensifikasi pertanian
melalui asupan teknologi hanya menyumbang 38,7 persen terhadap peningkatan
produksi. Sebagian besar (61,8 persen) karena ekstensifikasi.
Ubah Paradigma
Hal yang cukup jarang diungkap adalah
mengubah paradigma pembangunan pertanian dari orientasi produksi ke orientasi
petani. Sejak Orde Baru hingga kini, petani hanya menjadi obyek kebijakan
pertanian yang perumusnya kadang adalah orang- orang yang bahkan tidak mengerti
tentang pertanian.
Kriminalisasi kreativitas petani melalui
undang-undang, tergerusnya hak dan kedaulatan petani atas sumber daya
produktif, serta pembiaran petani untuk bersaing di pasar bebas merupakan
beberapa contoh terkait.
Upaya meretas krisis pangan di masa depan
sangat terkait upaya meningkatkan hak dan kedaulatan petani. Prestasi petani
Indonesia sebenarnya sudah cukup tinggi. Di wilayah ASEAN yang punya kemiripan
tanah dan iklim, produktivitas padi dan jagung Indonesia tertinggi. Produktivitas
kedelai juga sangat mungkin ditingkatkan. Melalui jaminan harga yang memadai,
subsidi langsung kepada petani, perlindungan terhadap gagal panen, perlindungan
terhadap kreativitas petani, dan pelibatan petani dalam perumusan kebijakan
pertanian akan berdampak signifikan pada kegairahan petani dan bertani.
Tak ada solusi instan meretas krisis pangan. Krisis pangan akan
terus berulang pada periode yang semakin pendek. Perencanaan pembangunan
pertanian yang serius dan masuk akal, konsistensi dan kerja keras, dekonstruksi
sistem perdagangan pangan internasional, serta kemauan untuk mendengar dan
menempatkan petani sebagai aktor utama pembangunan pertanian akan menyelamatkan
kita dari krisis pangan masa depan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar