Puasa: Menata
Jiwa, Menata Negara?
M Sobary ; Esais, Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia, Penggemar
Sirih dan Cengkih buat Kesehatan
SINDO,
13 Agustus 2012
Puasa itu kewajiban lintas zaman, lintas generasi. Sejak lama
sekali kewajiban itu melekat pada umat manusia. Kita tak bisa mengetahui
bagaimana kewajiban zaman lampau tentang puasa.
Apakah yang dulu juga demi membangun sikap takwa seperti umat
Rasulullah Muhammad SAW yang mulia dan dijadikan teladan agung bagi kita? Puasa
memang merupakan suatu jenis laku batiniah yang bersifat universal.Dengan atau
tanpa mengingat ajaran di dalam kitab suci,banyak orang yang berpuasa. Ada yang
demi kesehatan jasmani. Ada yang demi alasan kejiwaan, demi ketenangan dan rasa
tenteram. Orang-orang yang menuntut suatu jenis ilmu—baik ilmu kanuragan maupun
ilmu kearifan dan kewibawaan—oleh sang guru diwajibkan pula berpuasa.
Di sini ajaran agama “dipetik”, diteladani, dan menjadi landasan bukan untuk kebutuhan agar menjadi orang yang bertakwa, melainkan untuk kepentingan meraih ilmu tersebut. Mereka tahu gunanya takwa,tapi takwa tak dijadikan tujuan pokok. Fenomena ini bersifat sangat umum dan etnik apa pun, pemeluk agama apa pun menempuhnya bukan sebagai tindakan keagamaan, tapi jelas sebagai tindakan rohaniah yang mereka perlukan. Ini cerminan sosiologi agama.
Bahasan kita di sini lebih bersifat keilmuan, bukan berpusat pada keimanan. Kaitan keagamaannya tampak jelas sebagai wujud pengaruh agama ke dalam tata kehidupan rohani yang juga bersifat umum tadi. Puasa di sini berhubungan dengan usaha pembersihan diri agar ketika ilmu yang dituntut itu “masuk”,ia “masuk” ke dalam suatu “wadah suci” dan sesuai dengan “kesucian” ilmu tersebut. Pertemuan antara unsur “agama” dan yang bukan “agama” terjadi juga.Keduanya menekankan puasa sebagai pelatihan batin membentuk budi pekerja luhur.
Penampilan harian dari ajaran agama itu tampak pada budi pekerti luhur itu. Dan keluhuran diolah lagi, dibentuk menjadi jiwa yang takwa. Dapat dipastikan, ini urusan serius dan mendalam. Jiwa kita kedepankan dan mungkin dengan tertatihtatih menahan godaan yang tak terduga. Di sini terasa ajaran agama itu berat. Kita diminta mengisi jiwa hanya dengan sifat dan sosok Tuhan, yang kemurahannya tak terbatas. Sambil menata, dengan perasaan tidak mudah, kita belajar juga bersikap ikhlas. Kita menerima takdir yang tak sesuai dengan harapan kita.
Dengan begitu kita pun belajar menerima—apa saja yang tak kita kehendaki—, tapi etika ajaran meminta kita tetap ikhlas tanpa keluhan tanpa tangis dan kesedihan. Kita serahkan diri kita utuh tanpa dikurangi sedikit pun,semua demi pengabdian kepada Allah tanpa meragukan apa yang diputuskan-Nya. Allah takkan memberi kita apa yang buruk.Apa yang datang dari Allah diyakini secara mutlak pasti baik dan sesuai dengan kondisi kita. Penyerahan diri, dengan penuh takwa, tanpa keraguan tanpa bertanya menjadi wujud tatanan jiwa yang mapan.
Sikap batin kita, yang terdalam, perlahan-lahan mulai tertata. Kita meyakini kekuasaan Allah. Kita meyakini pula, tindakan buruk akan membuahkan keburukan dan tindakan mulia membuahkan kemuliaan. Ini juga wujud tatanan jiwa yang takwa tadi. Tatanan ini menjadi sistem secara pakem. Dia sudah menjadi sistem yang bergerak tanpa berubah. Kecuali, terutama, menjadi lebih matang, lebih mendalam. Sistem itu memancarkan pula kebenaran yang tak terbantah lagi.
Manusia yang memiliki jiwa seperti itu kecenderungan perilakunya tertuju semata kepada apa yang agung dan mulia. Bila yang bersangkutan diberi amanah, dia akan menjaganya seperti dia menjaga keutuhan integritas pribadi sendiri. Pendeknya, mustahil dia selingkuh atau menyimpang dari bisikan hati sendiri. Dalam posisi berkuasa, orang macam ini akan menyelaraskan tata jiwanya dengan tatanan dunia di sekitarnya.
Dia, pendeknya, berpuasa demi menata jiwa, tetapi juga demi menata kehidupan negaranya. Dari pengalaman hidup sehari-hari,kita tak mudah menandai mana orang yang sudah matang, yang meyakini kebenaran ajaran dengan keutuhan sifat yakin yang tak tergoyahkan. Kita diajari oleh tatanan sekitar, orang macam itu biasanya ada pada sosok rohaniwan. Di negeri ini,rohaniwan tampil dengan jubah, dengan sorban, dengan meremasremas tasbih dan tiap saat komat-kamit menyebut asma-asma Allah yang serbamulia dan agung.
Yang lain,yang bukan rohaniwan, tapi termasuk golongan orang yang layak dipercaya, tampil dengan memakai peci dan mungkin berkalung tasbih yang agak sengaja ditampakkan sedikit. Tutur katanya lembut seperti selalu memancarkan hikmah. Maka orangorang jenis itu di pasaran politik “laku keras”. Mereka memperoleh trust sangat tinggi. Publik mendambakan kepemimpinan mereka. Tak ada yang menaruh keraguan sedikit pun atas kemampuan teknis dan kejujuran mereka.
Tapi dunia politik itu gelap dan licin. Di sana banyak tipu daya. Orang patut waspada sejak langkah pertama belum diayunkan jika hendak menengok ke dunia itu. Di sana tak semua yang memakai sorban itu rohaniwan. Juga tak semua yang memakai peci dan berbicara lembut otomatis layak dipercaya. Itu semua juga bagian dari strategi menipu publik agar mereka pun memperoleh trust tinggi tanpa keraguan sedikit pun. Jika kita sudah terkecoh di titik itu,jangan hendaknya kita kecewa bila tokoh berpeci dan bersuara lembut, meniru nabi-nabi dan para wali, ternyata tak punya tatanan jiwa dan tak mungkin bisa dipercaya untuk menata negara.
Mereka itu tampil lembut dan mengesankan karena menerapkan strategi komunikasi yang jitu. Strategi, kita tahu, bukan cara hidup sejati. Strategi hanya sebuah tipuan yang tak tahu malu dan ketika kita dikejutkan oleh ulah aslinya (serakah, korup, menipu, berkelit, dan segenap tipu daya lain), kita baru tahu rohani bisa dipalsukan seperti halnya merek baju atau tas, jam tangan atau ikat pinggang di pasaran yang para pedagangnya tak bertanggung jawab.
Hidup di zaman yang sudah tua ini banyak buaya yang nyaru seolah-olah seperti batu berlumut. Banyak ular berbisa tampil seperti sebatang ranting bulukan. Alam memang keras. Kita terpaksa harus hatihati melihat dengan jubah dan pecinya. Kita harus mengamati, adakah simbol-simbol keagamaan itu asli, cerminan hidup sejati, ataukah sekadar strategi? Negeri kita lelah menanti orang yang bisa menata jiwa sekaligus mampu menata negara.
Untuk menuruti ajaran suci dan mulia itu, sambil mempertaruhkan puasa yang berhenti di tataran duniawi, yang tak dihubungkan dengan peribadatan dan tak ada hubungan dengan perintah agama, hal demikian juga memberi manfaat kejiwaan yang tak terbantah. Maka, demi kewajiban agama atau bukan, orang juga berpuasa menurut corak tradisi mapan yang bersifat lokal tanpa menyertakan Tuhan di dalamnya. ●
Di sini ajaran agama “dipetik”, diteladani, dan menjadi landasan bukan untuk kebutuhan agar menjadi orang yang bertakwa, melainkan untuk kepentingan meraih ilmu tersebut. Mereka tahu gunanya takwa,tapi takwa tak dijadikan tujuan pokok. Fenomena ini bersifat sangat umum dan etnik apa pun, pemeluk agama apa pun menempuhnya bukan sebagai tindakan keagamaan, tapi jelas sebagai tindakan rohaniah yang mereka perlukan. Ini cerminan sosiologi agama.
Bahasan kita di sini lebih bersifat keilmuan, bukan berpusat pada keimanan. Kaitan keagamaannya tampak jelas sebagai wujud pengaruh agama ke dalam tata kehidupan rohani yang juga bersifat umum tadi. Puasa di sini berhubungan dengan usaha pembersihan diri agar ketika ilmu yang dituntut itu “masuk”,ia “masuk” ke dalam suatu “wadah suci” dan sesuai dengan “kesucian” ilmu tersebut. Pertemuan antara unsur “agama” dan yang bukan “agama” terjadi juga.Keduanya menekankan puasa sebagai pelatihan batin membentuk budi pekerja luhur.
Penampilan harian dari ajaran agama itu tampak pada budi pekerti luhur itu. Dan keluhuran diolah lagi, dibentuk menjadi jiwa yang takwa. Dapat dipastikan, ini urusan serius dan mendalam. Jiwa kita kedepankan dan mungkin dengan tertatihtatih menahan godaan yang tak terduga. Di sini terasa ajaran agama itu berat. Kita diminta mengisi jiwa hanya dengan sifat dan sosok Tuhan, yang kemurahannya tak terbatas. Sambil menata, dengan perasaan tidak mudah, kita belajar juga bersikap ikhlas. Kita menerima takdir yang tak sesuai dengan harapan kita.
Dengan begitu kita pun belajar menerima—apa saja yang tak kita kehendaki—, tapi etika ajaran meminta kita tetap ikhlas tanpa keluhan tanpa tangis dan kesedihan. Kita serahkan diri kita utuh tanpa dikurangi sedikit pun,semua demi pengabdian kepada Allah tanpa meragukan apa yang diputuskan-Nya. Allah takkan memberi kita apa yang buruk.Apa yang datang dari Allah diyakini secara mutlak pasti baik dan sesuai dengan kondisi kita. Penyerahan diri, dengan penuh takwa, tanpa keraguan tanpa bertanya menjadi wujud tatanan jiwa yang mapan.
Sikap batin kita, yang terdalam, perlahan-lahan mulai tertata. Kita meyakini kekuasaan Allah. Kita meyakini pula, tindakan buruk akan membuahkan keburukan dan tindakan mulia membuahkan kemuliaan. Ini juga wujud tatanan jiwa yang takwa tadi. Tatanan ini menjadi sistem secara pakem. Dia sudah menjadi sistem yang bergerak tanpa berubah. Kecuali, terutama, menjadi lebih matang, lebih mendalam. Sistem itu memancarkan pula kebenaran yang tak terbantah lagi.
Manusia yang memiliki jiwa seperti itu kecenderungan perilakunya tertuju semata kepada apa yang agung dan mulia. Bila yang bersangkutan diberi amanah, dia akan menjaganya seperti dia menjaga keutuhan integritas pribadi sendiri. Pendeknya, mustahil dia selingkuh atau menyimpang dari bisikan hati sendiri. Dalam posisi berkuasa, orang macam ini akan menyelaraskan tata jiwanya dengan tatanan dunia di sekitarnya.
Dia, pendeknya, berpuasa demi menata jiwa, tetapi juga demi menata kehidupan negaranya. Dari pengalaman hidup sehari-hari,kita tak mudah menandai mana orang yang sudah matang, yang meyakini kebenaran ajaran dengan keutuhan sifat yakin yang tak tergoyahkan. Kita diajari oleh tatanan sekitar, orang macam itu biasanya ada pada sosok rohaniwan. Di negeri ini,rohaniwan tampil dengan jubah, dengan sorban, dengan meremasremas tasbih dan tiap saat komat-kamit menyebut asma-asma Allah yang serbamulia dan agung.
Yang lain,yang bukan rohaniwan, tapi termasuk golongan orang yang layak dipercaya, tampil dengan memakai peci dan mungkin berkalung tasbih yang agak sengaja ditampakkan sedikit. Tutur katanya lembut seperti selalu memancarkan hikmah. Maka orangorang jenis itu di pasaran politik “laku keras”. Mereka memperoleh trust sangat tinggi. Publik mendambakan kepemimpinan mereka. Tak ada yang menaruh keraguan sedikit pun atas kemampuan teknis dan kejujuran mereka.
Tapi dunia politik itu gelap dan licin. Di sana banyak tipu daya. Orang patut waspada sejak langkah pertama belum diayunkan jika hendak menengok ke dunia itu. Di sana tak semua yang memakai sorban itu rohaniwan. Juga tak semua yang memakai peci dan berbicara lembut otomatis layak dipercaya. Itu semua juga bagian dari strategi menipu publik agar mereka pun memperoleh trust tinggi tanpa keraguan sedikit pun. Jika kita sudah terkecoh di titik itu,jangan hendaknya kita kecewa bila tokoh berpeci dan bersuara lembut, meniru nabi-nabi dan para wali, ternyata tak punya tatanan jiwa dan tak mungkin bisa dipercaya untuk menata negara.
Mereka itu tampil lembut dan mengesankan karena menerapkan strategi komunikasi yang jitu. Strategi, kita tahu, bukan cara hidup sejati. Strategi hanya sebuah tipuan yang tak tahu malu dan ketika kita dikejutkan oleh ulah aslinya (serakah, korup, menipu, berkelit, dan segenap tipu daya lain), kita baru tahu rohani bisa dipalsukan seperti halnya merek baju atau tas, jam tangan atau ikat pinggang di pasaran yang para pedagangnya tak bertanggung jawab.
Hidup di zaman yang sudah tua ini banyak buaya yang nyaru seolah-olah seperti batu berlumut. Banyak ular berbisa tampil seperti sebatang ranting bulukan. Alam memang keras. Kita terpaksa harus hatihati melihat dengan jubah dan pecinya. Kita harus mengamati, adakah simbol-simbol keagamaan itu asli, cerminan hidup sejati, ataukah sekadar strategi? Negeri kita lelah menanti orang yang bisa menata jiwa sekaligus mampu menata negara.
Untuk menuruti ajaran suci dan mulia itu, sambil mempertaruhkan puasa yang berhenti di tataran duniawi, yang tak dihubungkan dengan peribadatan dan tak ada hubungan dengan perintah agama, hal demikian juga memberi manfaat kejiwaan yang tak terbantah. Maka, demi kewajiban agama atau bukan, orang juga berpuasa menurut corak tradisi mapan yang bersifat lokal tanpa menyertakan Tuhan di dalamnya. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar