Persoalan
Kawasan Industri
Tawaf T Irawan ; Koordinator
Tim Ahli
Lembaga Kajian Strategis Nusantara Unggul
(LKSNU)
SUARA KARYA, 09
Agustus 2012
Sebagian daerah di
Indonesia sedang menghadapi masalah pelik kawasan industri, di antaranya adalah
lahan, infrastruktur, keamanan dan perizinan. Padahal, pada saat bersamaan
tingkat permintaan terhadap kawasan industri meningkat. Kalangan investor
terutama dari Jepang, Korea, dan China telah menunjukkan minat yang besar untuk
berinvestasi di Indonesia. Fakta ini membutuhkan respon cepat dari semua pihak
jika kita tidak ingin kehilangan investor potensial. Karena perlu dipahami,
semua negara di wilayah Asia Tenggara telah berlomba-lomba dan bekerja keras
untuk menarik investor masuk ke negaranya.
Belum lama ini, pihak
pengembang kawasan industri berteriak karena kesulitan mengembangkan kawasan.
Kendala utamanya, selain karena ketersediaan lahan, peraturan Badan Pertanahan
Nasional (BPN) yang menetapkan maksimal lahan kawasan industri hanya 400 ha,
turut menyumbang permasalahan ini. Pengelolaan kawasan industri baru dianggap
mencapai angka keekonomiannya jika mengelola luas lahan 1.000 ha. Akibat aturan
BPN ini, pengembang kawasan industri harus mengeluarkan biaya perizinan dan
birokrasi yang lebih besar, karena harus memecah peruntukan kawasan lainnya.
Status lahan pun turut
menyumbang kendala penyediaan kawasan industri. Kasus Kawasan Ekonomi Khusus
(KEK) Sei Mangkei, Sumatera Utara, misalnya, telah menunda oportunitas bagi
pengembangan investasi secara regional maupun nasional. Padahal, menurut PP No
29/2012, kawasan ekonomi seluas 202,77 hektar are harus sudah beroperasi tahun
2015. Jarak lokasi kawasan dengan prasarana pelabuhan, bandara dan kegiatan
ekonomi lainnya menjadi pertimbangan utama. Belum lagi, masalah kawasan ini
masih menghadapi persoalan pemekaran wilayah, sehingga bisa menjebak masuk
ranah politik.
Tingginya permintaan
kawasan industri mendongkrak harga lahan yang cukup signifikan. Kenaikan harga
lahan ini bisa mencapai dua kali lipat. Di Karawang, misalnya, kenaikan harga
lahan mencapai angka 84 persen, dari rata-rata 68,9 dolar AS per meter persegi,
pada semester II tahun 2011 telah mencapai angka 127,5 dolar AS per meter persegi.
Karena terdorong untuk
peningkatan investasi, pemerintah telah meminta pengembang kawasan melebarkan
sayapnya membangun kawasan industri di luar Pulau Jawa. Tentu saja permintaan
ini sulit dipenuhi para pengembang. Ketersediaan dan kesiapan infrastruktur
akan menjadi catatan penting di sini. Selama ini investor lebih berminat untuk
mengembangkan usahanya di kawasan industri di Bekasi dan Kerawang.
Kecenderungan minat ini karena kesiapan infrastruktur yang lebih baik seperti
listrik, pelabuhan, bandara dan jalan tol.
Kerusakan infrastruktur
juga telah menjadi kendala bagi pengembangan kawasan industri. Misalnya,
kawasan industri di Terboyo dan LIK Bugangan, kondisi infrastrukturnya kurang
mendukung karena banjir dan rob, sehingga menggangu lalu lintas kegiatan
ekonomi di kawasan tersebut.
Masalah izin juga masih
menghadang penyediaan kawasan industri. Seperti dikeluhkan Himpunan Kawasan
Industri (HKI), di sejumlah daerah perizinan masih rumit dan mahal. Meski di
sini sudah ada pelayanan terpadu satu pintu yang dilakukan Badan Pelayanan
Perizinan Terpadu (BPPT).
Biaya Izin Mendirikan
Bangunan (IMB), misalnya, di Deli Serdang, mencapai kenaikan hingga 700 persen,
atau sekitar Rp 72.266,88 per meter persegi. Padahal di Medan untuk biaya ini
hanya berkisar Rp 10.540 per meter persegi.
Sementara itu, pengurusan IMB di wilayah Bekasi yang semula
hanya 60 hari, saat ini memakan waktu hingga 132 hari. Pengusaha di kawasan pun
masih dipungut biaya izin gangguan (hinder ordinantie). Padahal di sini sudah
ada HO kawasan.
Seperti di wilayah Semarang, ada ketentuan bahwa ruang
terbuka hijau (RTH) sebesar 60 persen dan bangunan 40 persen. Namun dalam
praktiknya, ketentuan ini bisa dilanggar, dengan komposisi bangunan bisa diubah
yang membutuhkan biaya yang sangat besar.
Saat ini kawasan
industri rentan dengan aksi massa. Setiap konflik antara pengusaha dan
masyarakat, sering berujung pada tindak kekerasan dan perusakan, bahkan
pembakaran fisilitas kawasan industri yang sangat merugikan. Padahal, PP No 24/
2009 tentang Kawasan Industri telah menegaskan bahwa kawasan ini dikatagorikan
sebagai objek vital. Kompleksnya permasalahan kawasan industri menuntut
hadirnya peran lebih pemerintah. Terkesan di sini pemerintah absen dalam menata
aturan main di kawasan industri.
Permasalahan lahan, infrastruktur, perizinan
dan keamanan harus dilihat secara utuh. Pemerintah harus mewaspadai langkah
strategis negara-negara tetangga dalam mengembangkan kawasan industri.
Kegagalan dalam memberikan yang terbaik bagi investor merupakan bencana bagi
perkembangan investasi di Indonesia. Saat ini Singapura dan Malaysia sedang
mengembangkan kawasan industri Johor, dan hal ini adalah peringatan bagi
perkembangan investasi domestik.
Dalam hal ini,
pemerintah mesti berani mengambil langkah-langkah extraordinary. Peninjauan ulang terhadap Rencana Tata Ruang Wilayah
(RTWR) perlu dilakukan. Karena, tidak sedikit pelanggaran tata ruang terjadi di
sebagian besar wilayah di Indonesia. Tumpang tindih penggunaan lahan sering
terjadi dan menimbulkan konflik serta tidak kondusif bagi perkembangan
investasi dan dunia usaha.
Pemerintah
harus membuat ketentuan perizinan, khususnya kawasan industri yang terstandar
dan bertaraf internasional. Banyak negara berhasil melakukan penerapan
perizinan dengan baik seperti Malaysia, Thailand, Singapura dan Vietnam, dan
hasilnya memuaskan.
Sikap tanggap pemerintah
terhadap konflik di kawasan industri sangat diperlukan. Sebagai objek vital,
kawasan industri harus mendapatkan perhatian khusus. Perlu ketentuan khusus
dalam menyikapi pre-aksi konflik di kawasan industri. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar