Kriminalisasi
Hakim, Dapatkah?
OC Kaligis ; Advokat
Senior,
Guru Besar Ilmu Hukum di Sejumlah Universitas Jakarta
SUARA KARYA, 09
Agustus 2012
Mungkinkah menghukum hakim atas putusan yang telah dibuatnya?
Menurut Undang-Undang Peradilan Anak dan Rancangan Undang-Undang (RUU) Mahkamah
Agung (MA), apabila putusan hakim menimbulkan keresahan dan huru-hara, maka
hakim dapat dipidana. RUU tersebut mengatur apabila hakim membuat putusan
melanggar ketentuan Pasal 95, 96 dan 97, hakim dapat dipidana. Pasal 98
mengatur apabila hakim melanggar Pasal 56 ayat 2 jo Pasal 95 jo Pasal 96 jo
Pasal 97, hakim tersebut dapat dipidana penjara paling lama 10 tahun atau denda
paling banyak Rp 10.000.000.000.
Apabila dicermati isi dari pasal-pasal
tersebut, terdapat banyak ketidakjelasan. Pasal 95 huruf (a), melarang hakim
menggunakan kekuasaannya untuk kepentingan pribadinya dan atau pihak lain atau
keluarga, mempunyai hubungan pekerjaan, partai/finansial atau mempunyai nilai
ekonomis secara langsung/tidak langsung. Pasal 95 huruf (b) dan (c) melarang
hakim untuk merekayasa fakta hukum dalam penanganan perkara dan huruf (c)
melarang hakim untuk menggunakan kapasitasnya melakukan penekanan secara
fisik/psikis. Namun pada tatanan praktisnya, tidak ada kejelasan mengenai
batas-batas perbuatan-perbuatan yang dapat dikategorikan demikian. Dalam huruf
(e) diatur bahwa hakim dilarang bertindak diskriminatif, juga tanpa penjelasan
apa yang dimaksud dengan istilah diskriminasi.
Selanjutnya pada Pasal 96, MA dilarang menilai
fakta-fakta dan pembuktian dalam persidangan sepanjang tidak bertentangan
dengan UU. Hal ini tentu harus diperjelas terkait dengan wewenang hakim
Peninjauan Kembali (PK), yang salah satu tugasnya adalah juga memeriksa fakta
hukum baru (novum). Pada Pasal 97
huruf (b), melarang hakim membuat keputusan yang menimbulkan keonaran dan
kerusakan yang mengakibatkan kerusuhan atau huru-hara.
Era reformasi adalah era kebablasan, huru-hara
digerakkan provokator karena dibayar. Tindakan anarki dijadikan sebagai sarana
untuk kepentingan pihak-pihak tertentu. Pihak yang melakukan huru-hara
seringkali adalah orang-orang yang tidak mengetahui fakta dan apa saja yang
diperjuangkannya.
Ketentuan Pasal 97 huruf (c) berbunyi, hakim
dilarang membuat keputusan yang tidak mungkin dilaksanakan karena bertentangan
dengan realitas di tengah-tengah masyarakat, adat istiadat dan kebiasaaan yang
turun-temurun sehingga akan mengakibatkan pertikaian dan keributan. Ketentuan
ini dapat menimbulkan multitafsir, mengingat hakim harus memutus perkara
berdasarkan hukum positif yang berlaku. Peraturan di atas berbahaya bagi
kemandirian hakim yang menjalankan tugasnya berdasarkan hukum acara yang
berlaku, bukan atas dasar peradilan jalanan.
Di era ini kerusuhan terjadi di mana-mana.
Juga, kerusuhan atas putusan hakim. Padahal, belum tentu, para perusuh
mengetahui duduk perkara. Akibatnya, kalau memperhatikan RUU MA tersebut, hakim
dipenjara. Adilkah? Sedangkan Pasal 1 ayat 3 UUD 1945, mengatur Indonesia
adalah negara hukum. Putusan hakim pun harus mendapatkan perlindungan dan
kepastian hukum. Putusan itu tidak dapat meng-kriminalisasi hakim. Sebab, dalam
menjalankan tugas, rambu-rambu bagi hakim adalah hukum acara. Bukan peradilan
jalanan.
Nelson Mandela, penerima Nobel dikerangkeng
selama 27 tahun lamanya. Sekalipun demikian, putusan pengadilan yang menghukum
Mandela tidak menyebabkan hakimnya dikerangkeng. Kasus yang menghebohkan di
Amerika Serikat (AS) adalah menyangkut seorang ibu bernama Casey Marie Anthony.
Masyarakat AS menghukum Casey sebagai penyebab kematian anaknya, A Caley.
Kemudian, terjadi huru-hara, namun putusan hakim yang membebaskan Casey tetap
dihormati. Di Australia dikenal kasus Lindy Chamberlain. Hakim menghukum Lindy seumur
hidup. Ternyata putusan tersebut keliru. Beruntung, akhirnya putusan pemerintah
dan Royal Commission pada 1988 membebaskan Lindy. Putusan yang keliru itu tetap
dihormati.
Sama halnya dengan kasus Robert Baltovich di
Canada, kasus Scottboro Boys, Sam Sheppard, Orenthal James Simpson di AS. Semua
kasus itu menyangkut putusan hakim yang keliru. Tapi, tidak seorang pun hakim
yang memutus perkara-perkara tersebut dipenjara.
Di Indonesia, tercatat sejumlah putusan hakim
yang keliru. Sebut saja, putusan kasus Sengkon dan Karta, kasus Kemat di
Jombang, Tibo di Sulawesi Tengah. Kalau mengikuti RUU Mahkamah Agung dan UU
Perlindungan Anak, bisa saja terhadap kasus-kasus itu masyarakat diprovokasi,
digerakkan, dibayar untuk menimbulkan huru-hara, apalagi banyak para demonstran
yang tidak mengetahui fakta hukum. Pertanyaannya, adilkah gara-gara itu terjadi
kriminilasi hakim?
Perlu diketahui bahwa putusan judex juris (MA)
melewati proses yang panjang, melalui perjuangan dengan memperhatikan tiga
unsur penting, yaitu unsur intelektual, etika dan nurani. Tiga hal inilah yang
merupakan dasar independensi hakim, sehingga, cendekiawan James J Spillane
mengatakan bahwa dalam keputusan itu, unsur etika dan moral harus juga menjadi
bahan pertimbangan utama, karena hal itu menyangkut tingkah laku manusia yang
terlibat dalam suatu perkara. Etika mengarahkan sang hakim kepada akal budi
individual yang objektif dalam menentukan kebenaran atau kesalahan seseorang.
Ketua Muda Bidang Pengawasan MA, Komisi
Yudisial serta Ombudsman bertugas untuk mengawasi, baik keputusan yang keliru
maupun tingkah laku hakim dalam mengambil keputusan. Perlu diingat bahwa sistem
hukum Indonesia menganut res judicata pro veritate habetur, yang berarti semua
putusan pengadilan adalah sah, kecuali dibatalkan oleh pengadilan yang lebih
tinggi. Kemudian, masih ada PK.
Manakala RUU Mahkamah Agung dan UU Peradilan Anak yang
mengkriminalisasi hakim diberlakukan, maka dengan hilangnya independensi hakim
akan terjadi peradilan jalanan. Hendaknya
peraturan yang bertentangan dengan UUD 1945 itu dibatalkan oleh Mahkamah
Konstitusi. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar