Kamis, 09 Agustus 2012

Kriminalisasi Hakim, Dapatkah?


Kriminalisasi Hakim, Dapatkah?
OC Kaligis ; Advokat Senior,
Guru Besar Ilmu Hukum di Sejumlah Universitas Jakarta
SUARA KARYA, 09 Agustus 2012


Mungkinkah menghukum hakim atas putusan yang telah dibuatnya? Menurut Undang-Undang Peradilan Anak dan Rancangan Undang-Undang (RUU) Mahkamah Agung (MA), apabila putusan hakim menimbulkan keresahan dan huru-hara, maka hakim dapat dipidana. RUU tersebut mengatur apabila hakim membuat putusan melanggar ketentuan Pasal 95, 96 dan 97, hakim dapat dipidana. Pasal 98 mengatur apabila hakim melanggar Pasal 56 ayat 2 jo Pasal 95 jo Pasal 96 jo Pasal 97, hakim tersebut dapat dipidana penjara paling lama 10 tahun atau denda paling banyak Rp 10.000.000.000.

Apabila dicermati isi dari pasal-pasal tersebut, terdapat banyak ketidakjelasan. Pasal 95 huruf (a), melarang hakim menggunakan kekuasaannya untuk kepentingan pribadinya dan atau pihak lain atau keluarga, mempunyai hubungan pekerjaan, partai/finansial atau mempunyai nilai ekonomis secara langsung/tidak langsung. Pasal 95 huruf (b) dan (c) melarang hakim untuk merekayasa fakta hukum dalam penanganan perkara dan huruf (c) melarang hakim untuk menggunakan kapasitasnya melakukan penekanan secara fisik/psikis. Namun pada tatanan praktisnya, tidak ada kejelasan mengenai batas-batas perbuatan-perbuatan yang dapat dikategorikan demikian. Dalam huruf (e) diatur bahwa hakim dilarang bertindak diskriminatif, juga tanpa penjelasan apa yang dimaksud dengan istilah diskriminasi.

Selanjutnya pada Pasal 96, MA dilarang menilai fakta-fakta dan pembuktian dalam persidangan sepanjang tidak bertentangan dengan UU. Hal ini tentu harus diperjelas terkait dengan wewenang hakim Peninjauan Kembali (PK), yang salah satu tugasnya adalah juga memeriksa fakta hukum baru (novum). Pada Pasal 97 huruf (b), melarang hakim membuat keputusan yang menimbulkan keonaran dan kerusakan yang mengakibatkan kerusuhan atau huru-hara.

Era reformasi adalah era kebablasan, huru-hara digerakkan provokator karena dibayar. Tindakan anarki dijadikan sebagai sarana untuk kepentingan pihak-pihak tertentu. Pihak yang melakukan huru-hara seringkali adalah orang-orang yang tidak mengetahui fakta dan apa saja yang diperjuangkannya.

Ketentuan Pasal 97 huruf (c) berbunyi, hakim dilarang membuat keputusan yang tidak mungkin dilaksanakan karena bertentangan dengan realitas di tengah-tengah masyarakat, adat istiadat dan kebiasaaan yang turun-temurun sehingga akan mengakibatkan pertikaian dan keributan. Ketentuan ini dapat menimbulkan multitafsir, mengingat hakim harus memutus perkara berdasarkan hukum positif yang berlaku. Peraturan di atas berbahaya bagi kemandirian hakim yang menjalankan tugasnya berdasarkan hukum acara yang berlaku, bukan atas dasar peradilan jalanan.

Di era ini kerusuhan terjadi di mana-mana. Juga, kerusuhan atas putusan hakim. Padahal, belum tentu, para perusuh mengetahui duduk perkara. Akibatnya, kalau memperhatikan RUU MA tersebut, hakim dipenjara. Adilkah? Sedangkan Pasal 1 ayat 3 UUD 1945, mengatur Indonesia adalah negara hukum. Putusan hakim pun harus mendapatkan perlindungan dan kepastian hukum. Putusan itu tidak dapat meng-kriminalisasi hakim. Sebab, dalam menjalankan tugas, rambu-rambu bagi hakim adalah hukum acara. Bukan peradilan jalanan.

Nelson Mandela, penerima Nobel dikerangkeng selama 27 tahun lamanya. Sekalipun demikian, putusan pengadilan yang menghukum Mandela tidak menyebabkan hakimnya dikerangkeng. Kasus yang menghebohkan di Amerika Serikat (AS) adalah menyangkut seorang ibu bernama Casey Marie Anthony. Masyarakat AS menghukum Casey sebagai penyebab kematian anaknya, A Caley. Kemudian, terjadi huru-hara, namun putusan hakim yang membebaskan Casey tetap dihormati. Di Australia dikenal kasus Lindy Chamberlain. Hakim menghukum Lindy seumur hidup. Ternyata putusan tersebut keliru. Beruntung, akhirnya putusan pemerintah dan Royal Commission pada 1988 membebaskan Lindy. Putusan yang keliru itu tetap dihormati.

Sama halnya dengan kasus Robert Baltovich di Canada, kasus Scottboro Boys, Sam Sheppard, Orenthal James Simpson di AS. Semua kasus itu menyangkut putusan hakim yang keliru. Tapi, tidak seorang pun hakim yang memutus perkara-perkara tersebut dipenjara.

Di Indonesia, tercatat sejumlah putusan hakim yang keliru. Sebut saja, putusan kasus Sengkon dan Karta, kasus Kemat di Jombang, Tibo di Sulawesi Tengah. Kalau mengikuti RUU Mahkamah Agung dan UU Perlindungan Anak, bisa saja terhadap kasus-kasus itu masyarakat diprovokasi, digerakkan, dibayar untuk menimbulkan huru-hara, apalagi banyak para demonstran yang tidak mengetahui fakta hukum. Pertanyaannya, adilkah gara-gara itu terjadi kriminilasi hakim?

Perlu diketahui bahwa putusan judex juris (MA) melewati proses yang panjang, melalui perjuangan dengan memperhatikan tiga unsur penting, yaitu unsur intelektual, etika dan nurani. Tiga hal inilah yang merupakan dasar independensi hakim, sehingga, cendekiawan James J Spillane mengatakan bahwa dalam keputusan itu, unsur etika dan moral harus juga menjadi bahan pertimbangan utama, karena hal itu menyangkut tingkah laku manusia yang terlibat dalam suatu perkara. Etika mengarahkan sang hakim kepada akal budi individual yang objektif dalam menentukan kebenaran atau kesalahan seseorang.

Ketua Muda Bidang Pengawasan MA, Komisi Yudisial serta Ombudsman bertugas untuk mengawasi, baik keputusan yang keliru maupun tingkah laku hakim dalam mengambil keputusan. Perlu diingat bahwa sistem hukum Indonesia menganut res judicata pro veritate habetur, yang berarti semua putusan pengadilan adalah sah, kecuali dibatalkan oleh pengadilan yang lebih tinggi. Kemudian, masih ada PK.

Manakala RUU Mahkamah Agung dan UU Peradilan Anak yang mengkriminalisasi hakim diberlakukan, maka dengan hilangnya independensi hakim akan terjadi peradilan jalanan. Hendaknya peraturan yang bertentangan dengan UUD 1945 itu dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar