Daya Tahan
Sektor Keuangan
PR Srinivas ; Ekonom Utama Bidang Keuangan Bank Dunia di
Jakarta
KOMPAS,
14 Agustus 2012
Pasar keuangan internasional sangat
bergejolak hampir setahun ini sebagai akibat dari krisis utang zona euro yang
berkepanjangan.
Lemahnya perekonomian Amerika juga berdampak
sangat buruk terhadap kepercayaan investor dan proyeksi pertumbuhan di seluruh
dunia. Sama seperti saat awal krisis keuangan global (GFC) tahun 2008, sekali
lagi Indonesia tidak akan kebal terhadap kemerosotan yang lebih parah, terutama
ketika pertumbuhan ekonomi China dan India juga mulai melambat.
Meskipun Indonesia mempunyai kinerja
perekonomian yang relatif kuat dan kemampuan meredam guncangan jangka pendek
melalui kebijakan fiskal konservatif dan cadangan devisa dua kali lipat
dibandingkan tahun 2008, pertanyaan yang muncul saat ini adalah, apakah
Indonesia mampu melewati kelambanan perekonomian dunia dan gejolak pasar
keuangan seperti tahun 2008-2009 atau ikut terpuruk seperti ketika terjadi
krisis keuangan Asia tahun 1997-1998?
Indonesia telah memperbaiki stabilitas sektor
keuangan sejak krisis 1997-1998. Maka masuk akal untuk mengatakan banyak hal
telah berhasil dilakukan. Sektor perbankan menjadi jauh lebih kuat dan lebih
tahan terhadap krisis. Alasan utama keberhasilan sektor keuangan Indonesia
melalui ujian ini adalah kebijakan ekonomi makro yang tepat, pengawasan dan
pengaturan perbankan yang jauh lebih baik, serta tanggapan cepat pihak
berwenang saat ada tekanan.
Apakah semua ini sudah cukup untuk menjamin
kesehatan sektor keuangan Indonesia? Hal itu sampai taraf tertentu bergantung
pada kondisi lingkungan eksternal: Apakah ada kemungkinan Yunani keluar dari
zona euro atau krisis perbankan zona euro yang besar, atau kombinasi keduanya
dengan pemulihan tersendat di Amerika?
Maka, para pembuat kebijakan di Indonesia
perlu mengasumsikan skenario terburuk. Sejumlah kebijakan telah diberlakukan
untuk menangani arus modal keluar (capital
outflow), termasuk dana stabilisasi obligasi untuk membeli obligasi
pemerintah domestik, memperpanjang waktu jatuh tempo, dan memperpanjang batas
minimum waktu kepemilikan Sertifikat Bank Indonesia (SBI). BI juga mengharuskan
eksportir merepatriasi pendapatan ekspor mereka ke bank-bank di Indonesia.
Namun, dibutuhkan lebih banyak tindakan untuk memperkuat pertahanan pada masa
yang tidak pasti ini.
Pertama, Indonesia perlu meletakkan dasar
hukum lebih kuat dalam protokol penanggulangan krisis. Undang-Undang Jaring
Pengaman Sistem Keuangan (JPSK) perlu segera disahkan. Sejauh ini, nota
kesepakatan telah ditandatangani antara BI, Lembaga Penjamin Simpanan (LPS),
dan Kementerian Keuangan. Nota ini memungkinkan pertukaran informasi dan
koordinasi melalui Forum Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan, sebagaimana
ditetapkan UU Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Tantangan yang dihadapi adalah memastikan
koordinasi lintas lembaga yang efektif ketika terjadi tekanan terhadap sektor
keuangan. UU JPSK dapat menjadi kerangka hukum lebih kuat bagi koordinasi dan
proses pengambilan keputusan yang cepat dalam situasi krisis. Mandat
undang-undang seperti ini menjadi sangat penting mengingat adanya
ketidakpastian, seperti pengucuran dana talangan (bailout) pemerintah kepada Bank Century ketika terjadi krisis tahun
2008 dan keraguan yang mungkin timbul di kalangan pembuat keputusan seandainya
situasi serupa terjadi saat ini.
Pengesahan UU JPSK dapat lebih memastikan
bahwa bila ada krisis lagi dapat diatasi dengan cepat tanpa menimbulkan biaya
tinggi bagi perekonomian. Dalam praktik, UU JPSK membutuhkan koordinasi yang
efektif oleh suatu komite, yaitu Forum Stabilitas Sistem Keuangan, yang
beranggotakan Menteri Keuangan, Gubernur BI, serta ketua LPS dan OJK. UU JPSK
juga akan memperjelas bagaimana dan kapan bantuan likuiditas darurat diberikan.
Hal ini dapat membantu mengurangi risiko menyalahgunakan kredit darurat seperti
yang pernah terjadi saat krisis 1998.
Kedua, Indonesia perlu terus melaksanakan Basel II Accord pada sektor perbankan.
Basel II bertujuan menciptakan standar internasional untuk regulator perbankan
ketika menyusun regulasi tentang seberapa besar modal yang harus disisihkan
bank untuk mencegah berbagai bentuk risiko. Melalui standardisasi regulasi di
tingkat internasional ini, konsistensi yang memadai akan dipertahankan sehingga
hal ini tidak menjadi sumber persaingan yang tidak sehat di antara bank-bank
yang aktif secara internasional.
Meskipun sejauh ini kemajuannya bagus,
Indonesia masih harus meningkatkan upayanya di bidang ini untuk memastikan agar
sektor perbankan di Indonesia memenuhi standar Basel II. Pada saat yang sama, Basel
III telah diterbitkan oleh Komite Basel. Negara-negara G-20, termasuk
Indonesia, telah mempunyai komitmen untuk melaksanakan tahap selanjutnya, mulai
1 Januari 2013 dan mencakup pengaturan peralihan sampai 1
Januari 2019.
Ketiga, di pasar modal Indonesia, dibutuhkan regulator
yang mempunyai wewenang penegakan hukum memadai dengan sanksi cukup berat bagi
mereka yang menyimpang sehingga pelaku pasar yang kuat tidak dapat seenaknya
memengaruhi pasar. Ini merupakan kelanjutan dari upaya memperkuat perlindungan
investor melalui regulasi dan penegakan hukum. Hal ini membantu meningkatkan
kepercayaan investor dan memastikan bahwa pasar modal Indonesia tetap menarik
bahkan pada saat-saat yang paling tidak pasti.
Keempat, karena ketidakpastian berlanjut di
pasar keuangan global, makin lebih penting bagi pihak pengendali sektor
keuangan Indonesia untuk menghindari ketidakpastian kebijakan dengan berbagai
cara. Jika pembuat keputusan memperlihatkan kesan sangsi, ragu, atau reaksi
yang berlebihan, hal ini dapat menggoyahkan kepercayaan investor yang memang
rapuh. Dengan semakin dilembagakannya mekanisme yang berlaku, semakin kecil
kemungkinan ketidakpastian kebijakan bisa terjadi.
Yang terakhir, keputusan membentuk OJK.
Tujuannya adalah mengambil alih fungsi pengaturan dan pengawasan terhadap pasar
modal dan lembaga-lembaga keuangan non-bank dari Bapepam-LK pada akhir tahun
2012 diikuti penyerahan tanggung jawab pengawasan dan pengaturan BI terhadap
bank- bank pada akhir tahun 2013, dapat berisiko pada waktu yang tidak pasti
seperti ini.
Sejauh ini, Indonesia patut dipuji atas
keberhasilannya dalam memilih tim yang kredibel dalam Dewan Komisioner OJK.
Namun, risiko terbesar dan tantangan nyata yang dihadapi terletak pada
pelaksanaan peralihan. Misalnya, kompetensi pengawasan yang sangat penting
dapat hilang pada saat peralihan. Oleh karena itu, sangat penting
untuk memastikan bahwa peranan dan tanggung jawab hukum dan operasional jelas,
termasuk koordinasi antara OJK, BI, LPS, dan Bapepam-LK. Penting untuk
memastikan bahwa modal manusia dan pengetahuan kelembagaan yang dibina oleh BI
dan Bapepam-LK tidak hilang, tetapi ditransfer ke OJK.
Seperti pengalaman tahun 2008, Indonesia
telah membuat kemajuan besar dalam memperkuat sektor keuangan sehingga
terlindung dari kekacauan keuangan global. Namun, masih banyak yang harus
dilakukan untuk menyehatkan sektor keuangan jika Indonesia ingin lebih baik
lagi. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar