Selasa, 14 Agustus 2012

Daya Tahan Sektor Keuangan


Daya Tahan Sektor Keuangan
PR Srinivas ; Ekonom Utama Bidang Keuangan Bank Dunia di Jakarta
KOMPAS,  14 Agustus 2012


Pasar keuangan internasional sangat bergejolak hampir setahun ini sebagai akibat dari krisis utang zona euro yang berkepanjangan.

Lemahnya perekonomian Amerika juga berdampak sangat buruk terhadap kepercayaan investor dan proyeksi pertumbuhan di seluruh dunia. Sama seperti saat awal krisis keuangan global (GFC) tahun 2008, sekali lagi Indonesia tidak akan kebal terhadap kemerosotan yang lebih parah, terutama ketika pertumbuhan ekonomi China dan India juga mulai melambat.

Meskipun Indonesia mempunyai kinerja perekonomian yang relatif kuat dan kemampuan meredam guncangan jangka pendek melalui kebijakan fiskal konservatif dan cadangan devisa dua kali lipat dibandingkan tahun 2008, pertanyaan yang muncul saat ini adalah, apakah Indonesia mampu melewati kelambanan perekonomian dunia dan gejolak pasar keuangan seperti tahun 2008-2009 atau ikut terpuruk seperti ketika terjadi krisis keuangan Asia tahun 1997-1998?

Indonesia telah memperbaiki stabilitas sektor keuangan sejak krisis 1997-1998. Maka masuk akal untuk mengatakan banyak hal telah berhasil dilakukan. Sektor perbankan menjadi jauh lebih kuat dan lebih tahan terhadap krisis. Alasan utama keberhasilan sektor keuangan Indonesia melalui ujian ini adalah kebijakan ekonomi makro yang tepat, pengawasan dan pengaturan perbankan yang jauh lebih baik, serta tanggapan cepat pihak berwenang saat ada tekanan.

Apakah semua ini sudah cukup untuk menjamin kesehatan sektor keuangan Indonesia? Hal itu sampai taraf tertentu bergantung pada kondisi lingkungan eksternal: Apakah ada kemungkinan Yunani keluar dari zona euro atau krisis perbankan zona euro yang besar, atau kombinasi keduanya dengan pemulihan tersendat di Amerika?

Maka, para pembuat kebijakan di Indonesia perlu mengasumsikan skenario terburuk. Sejumlah kebijakan telah diberlakukan untuk menangani arus modal keluar (capital outflow), termasuk dana stabilisasi obligasi untuk membeli obligasi pemerintah domestik, memperpanjang waktu jatuh tempo, dan memperpanjang batas minimum waktu kepemilikan Sertifikat Bank Indonesia (SBI). BI juga mengharuskan eksportir merepatriasi pendapatan ekspor mereka ke bank-bank di Indonesia. Namun, dibutuhkan lebih banyak tindakan untuk memperkuat pertahanan pada masa yang tidak pasti ini.

Kebijakan Penguat

Pertama, Indonesia perlu meletakkan dasar hukum lebih kuat dalam protokol penanggulangan krisis. Undang-Undang Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK) perlu segera disahkan. Sejauh ini, nota kesepakatan telah ditandatangani antara BI, Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), dan Kementerian Keuangan. Nota ini memungkinkan pertukaran informasi dan koordinasi melalui Forum Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan, sebagaimana ditetapkan UU Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

Tantangan yang dihadapi adalah memastikan koordinasi lintas lembaga yang efektif ketika terjadi tekanan terhadap sektor keuangan. UU JPSK dapat menjadi kerangka hukum lebih kuat bagi koordinasi dan proses pengambilan keputusan yang cepat dalam situasi krisis. Mandat undang-undang seperti ini menjadi sangat penting mengingat adanya ketidakpastian, seperti pengucuran dana talangan (bailout) pemerintah kepada Bank Century ketika terjadi krisis tahun 2008 dan keraguan yang mungkin timbul di kalangan pembuat keputusan seandainya situasi serupa terjadi saat ini.

Pengesahan UU JPSK dapat lebih memastikan bahwa bila ada krisis lagi dapat diatasi dengan cepat tanpa menimbulkan biaya tinggi bagi perekonomian. Dalam praktik, UU JPSK membutuhkan koordinasi yang efektif oleh suatu komite, yaitu Forum Stabilitas Sistem Keuangan, yang beranggotakan Menteri Keuangan, Gubernur BI, serta ketua LPS dan OJK. UU JPSK juga akan memperjelas bagaimana dan kapan bantuan likuiditas darurat diberikan. Hal ini dapat membantu mengurangi risiko menyalahgunakan kredit darurat seperti yang pernah terjadi saat krisis 1998.

Kedua, Indonesia perlu terus melaksanakan Basel II Accord pada sektor perbankan. Basel II bertujuan menciptakan standar internasional untuk regulator perbankan ketika menyusun regulasi tentang seberapa besar modal yang harus disisihkan bank untuk mencegah berbagai bentuk risiko. Melalui standardisasi regulasi di tingkat internasional ini, konsistensi yang memadai akan dipertahankan sehingga hal ini tidak menjadi sumber persaingan yang tidak sehat di antara bank-bank yang aktif secara internasional.

Meskipun sejauh ini kemajuannya bagus, Indonesia masih harus meningkatkan upayanya di bidang ini untuk memastikan agar sektor perbankan di Indonesia memenuhi standar Basel II. Pada saat yang sama, Basel III telah diterbitkan oleh Komite Basel. Negara-negara G-20, termasuk Indonesia, telah mempunyai komitmen untuk melaksanakan tahap selanjutnya, mulai 1 Januari 2013 dan mencakup pengaturan peralihan sampai 1 Januari 2019.

Ketiga, di pasar modal Indonesia, dibutuhkan regulator yang mempunyai wewenang penegakan hukum memadai dengan sanksi cukup berat bagi mereka yang menyimpang sehingga pelaku pasar yang kuat tidak dapat seenaknya memengaruhi pasar. Ini merupakan kelanjutan dari upaya memperkuat perlindungan investor melalui regulasi dan penegakan hukum. Hal ini membantu meningkatkan kepercayaan investor dan memastikan bahwa pasar modal Indonesia tetap menarik bahkan pada saat-saat yang paling tidak pasti.

Keempat, karena ketidakpastian berlanjut di pasar keuangan global, makin lebih penting bagi pihak pengendali sektor keuangan Indonesia untuk menghindari ketidakpastian kebijakan dengan berbagai cara. Jika pembuat keputusan memperlihatkan kesan sangsi, ragu, atau reaksi yang berlebihan, hal ini dapat menggoyahkan kepercayaan investor yang memang rapuh. Dengan semakin dilembagakannya mekanisme yang berlaku, semakin kecil kemungkinan ketidakpastian kebijakan bisa terjadi.

Yang terakhir, keputusan membentuk OJK. Tujuannya adalah mengambil alih fungsi pengaturan dan pengawasan terhadap pasar modal dan lembaga-lembaga keuangan non-bank dari Bapepam-LK pada akhir tahun 2012 diikuti penyerahan tanggung jawab pengawasan dan pengaturan BI terhadap bank- bank pada akhir tahun 2013, dapat berisiko pada waktu yang tidak pasti seperti ini.

Sejauh ini, Indonesia patut dipuji atas keberhasilannya dalam memilih tim yang kredibel dalam Dewan Komisioner OJK. Namun, risiko terbesar dan tantangan nyata yang dihadapi terletak pada pelaksanaan peralihan. Misalnya, kompetensi pengawasan yang sangat penting dapat hilang pada saat peralihan. Oleh karena itu, sangat penting untuk memastikan bahwa peranan dan tanggung jawab hukum dan operasional jelas, termasuk koordinasi antara OJK, BI, LPS, dan Bapepam-LK. Penting untuk memastikan bahwa modal manusia dan pengetahuan kelembagaan yang dibina oleh BI dan Bapepam-LK tidak hilang, tetapi ditransfer ke OJK.

Seperti pengalaman tahun 2008, Indonesia telah membuat kemajuan besar dalam memperkuat sektor keuangan sehingga terlindung dari kekacauan keuangan global. Namun, masih banyak yang harus dilakukan untuk menyehatkan sektor keuangan jika Indonesia ingin lebih baik lagi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar