Menuju
Pancasila Lahir-Batin
Sumasno Hadi ; Alumnus Master Filsafat UGM,
Dosen
Pendidikan Sendratasik FKIP Unlam Banjarmasin
SUARA
KARYA, 01 Agustus 2012
Adalah Pancasila, lima pasal substantif yang
mengandung nilai keutamaan bagi kehidupan bangsa Indonesia. Keutamaan tersebut
akan diuji terus-menerus oleh zaman. Pancasila di masa kini memang masih ada,
tapi jika kita renungkan lebih dalam akan timbul pertanyaan mendasar. Apakah
Pancasila benar-benar dan sungguh-sungguh ada dalam kehidupan bernegara kita?
Tengok saja, predikat negatif hari ini yang
sering dikenakan pada negara Pancasila ini. Dari mulai Indonesia sebagai
surganya: para koruptor, pencuri hasil tambang, pembalak hutan, dan narkoba.
Tapi, yang mengerikan adalah predikat Indonesia sebagai negara (menuju) gagal.
Meskipun deretan predikat itu mungkin saja sekedar asumsi emotif-pesimistis,
namun realitas di masyarakat tampak jelas mengarah ke sana. Ke dalam suatu
bentuk kegagalan bernegara.
Jika kembali lagi pada konsep awal bangsa ini
didirikan - dimerdekakan dari penjajahan - tak bisa tidak untuk bertumpu pada
konsep Pancasila sebagai dasar negara. Pancasila sebagaimana mufakat para
pendahulu dimaksudkan menjadi dasar falsafah (philosofische grondslag) bangsa. Kaitannya dengan morat-marit-nya
kebangsaan kita hari ini, maka Pancasila boleh dipertanyakan keampuhannya. Bisa
saja rumah yang kita bangun akan gagal lantaran fondasinya tak kokoh. Analogi
ini menjadi suatu pertanyaan provokatif, apakah Pancasila bukan dasar negara
yang tepat (kokoh) hingga mengakibatkan rumah Indonesia kita hampir roboh?
Untuk itu, mendesak untuk memeriksa kembali
Pancasila itu secara secara holistik. Misal, dimulai dengan membaca kembali
Pancasila secara integral dan objektif. Urgensitas 'membaca' sebagai piranti
dalam usaha memperhatikan dan memahami Pancasila itu diharapkan menjadi suatu
keyakinan kuat sehingga dapat dilanjutkan pada tahap 'menulis' Pancasila.
Kenapa Pancasila perlu dituliskan? Hal ini
untuk menemukan tantangannya pada urgensitas Pancasila yang perlu dipahami
(dibatinkan) dan kemudian dilahirkan (implementasi, realisasi, dan
aktualisasi).
Jadi, tantangan bangsa Indonesia untuk
'menulis' Pancasila merupakan tantangan maha besar untuk mewujudkan Pancasila
ke dalam kehidupan bermasyarakat. Pertanyaannya, seberapa jauh kehidupan bangsa
Indonesia mampu mewujudkan nilai-nilai Pancasila? Apakah dalam kehidupan
politik, ekonomi, kebudayaan kita juga telah ber-Pancasila?
Dan, sesungguhnya Pancasila masih berada dalam
tataran wacana yang terombang-ambing nasibnya oleh hiruk-pikuk problematika
bangsa. Pancasila harus menahan diri untuk merelakan nilai-nilainya dijadikan
jargon-jargon politis semata. Pancasila masih berada di dalam goa gelap
berkebangsaan. Harus diakui pula, setelah rumusan Pancasila ala Bung Karno
dikukuhkan sebagai dasar bernegara oleh BPUPKI pada 1945, hari ini, generasi
penerus bangsa sebagai pewaris tunggalnya belum mampu 'menulis' Pancasila dalam
bentuk 'huruf-huruf' kehidupan.
Lalu, bagaimana mungkin Pancasila dapat
'dibaca' jika 'huruf-huruf'-nya pun belum menjadi 'tulisan'? Inilah ironi
sebuah bangsa. Negara yang bersepakat untuk menggunakan Pancasila sebagai
falsafah bangsanya. Memang, Pancasila masih menjadi kesepakatan historis
belaka. Hal tersebut menjadi jelas dengan melihat fenomena krisis kebangsaan
seperti korupsi para elite penguasa, pertikaian antar-golongan, terorisme,
kemiskinan. Kenyataan itu dirasa menjauhkan diri dari nilai-nilai Pancasila
(ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, musyawarah, keadilan) sebagai panduan
bangsa.
Mengganti Pancasila?
Setelah menginsyafi bahwa nasib Pancasila masih
berada dalam ranah kesepakatan belaka, dan nilai-nilainya belum dilahirkan ke
dalam kehidupan; maka wajar jika timbul pertanyaan apakah Pancasila tidak
kontekstual sehingga tidak mampu mengikuti perkembangan zaman yang semakin
kompleks? Apakah Pancasila mesti diganti dengan ideologi yang lebih sempurna?
Mengganti ideologi Pancasila tentu adalah
gagasan naif. Pengertian mengganti tentu didasari oleh fakta bahwa yang diganti
itu sudah tidak layak lagi dipertahankan. Karena, selama digunakan tidak mampu
menjalankan fungsinya, maka sesuatu itu gagal pada aspek fungsinya. Kenaifan
untuk mengganti Pancasila dapat diperjelas dengan perjalanan Pancasila sebagai
ideologi negara yang masih berada dalam tataran kesepakatan.
Secara fungsional-implementatif, Pancasila
belum pernah terjadi di kehidupan bangsa Indonesia. Pada masa Orde Lama,
pemerintahannya cenderung berfokus pada usaha menumbuhkan keyakinan dan
kepercayaan diri bangsa. Pancasila sebagai konsep, oleh Bung Karno masih
dijadikan puisi indah. Kemudian, pada masa kekuasaan Orde Baru malah mengebiri
Pancasila sehingga menjadi sempit pamahamannya. Pancasila hanya menjadi alat
legitimasi kekuasaan. Pengalaman panjang kehidupan Pancasila itu, - kini di
masa Reformasi yang gegap gempita oleh demokrasi -, malah semakin tragis
nasibnya.
Anak-anak sekolah sudah mulai tidak tahu sila-sila Pancasila. Banyak
kalangan yang salah mengerti atas substansi Pancasila, sehingga beberapa
kelompok mewacanakan menuju ideologi agama.
Nasib Pancasila pastinya
berada kepada generasi muda sebagai pewarisnya. Oleh karena itu, tidak ada
jalan lain kecuali melalui pendidikan untuk memahamkan Pancasila. Pendidikan
tentu saja tidak bermakna sempit pada pendidikan formal belaka, namun harus
berarti seluas-luasnya. Pendidikan moral, akhlak, dan kepribadian jelas memiliki
peran utama. Moralitas para pemimpin bangsa sebagai panutan warga adalah
wujudnya. Akhirnya, menuju cita-cita Pancasila secara lahir dan batin
dimungkinkan adanya. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar