Pancasila
dan Neokleptokratisme
Siti Marwiyah ; Dekan FH Universitas Dr Soetomo Surabaya
SUARA
KARYA, 01 Agustus 2012
Sejarawan Anhar Gonggong menilai bahwa tanggal
1 Juni sudah tepat dijadikan hari lahir Pancasila. Namun, pada tanggal itu
Pancasila belum dinobatkan sebagai dasar negara, sebab Indonesia belum
dinyatakan merdeka. Meski belum dinobatkan sebagai dasar negara, tetapi
kelahiran Pancasila di momen sengkarutnya kehidupan berbangsa, layak dijadikan
pijakan moral setiap elemen bangsa ini.
Kelahiran itu pun layak diapresiasi sebagai
bukti kegigihan atau etos juang penggagas yang menunjukkan sikap kecerdasan dan
militansi ke-Indonesian-nya di tengah hegemoni penjajahan. Para penggagas
berusaha mengingatkan setiap elemen bangsa, bahwa kemerdekaan harus dipersiapkan
dengan bekal ideologi, atau way of life sebagai bangsa.
Kegigihan memperjuangkan fondasi bangsa yang
dilakukan oleh penggagas (pendiri) itu selayaknya menyadarkan kita, bukan untuk
terlibat dalam diskursus hari lahirnya, tetapi merefleksi makna kepejuangannya
dalam menyiapkan 'piranti' moral-keberagamaan dalam hidup bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara.
Diskursus yang bersifat gugatan pada diri
setiap elemen bangsa, khususnya kalangan elite strategis adalah sikap dan
perilakunya yang bercorak paradoksal, berlawanan, atau vis a vis dengan doktrin Pancasila. Mereka bukannya menjadi
generasi penerus yang menjaga dan menguatkan fondasi bangsa, tetapi terjerumus
dalam praktik-praktik bercorak neokleptokratisme.
Corak neokleptokratisme merupakan penyakit yang
sudah sekian lama menggeroti dan mengeroposkan keberdayaan hidup bangsa.
Penyakit ini sangat akut dalam menghancurkan sendi-sendi perekonomian
masyarakat. Penyakit ini telah membuat masyarakat bukan hanya terperangkap
dalam kemiskinan, tetapi juga terperosok dalam berbagai bentuk ketidakberdayaan
kompilatif.
Sekelompok orang yang menderita penyakit
neokleptokratisme itu sudah terbukti mampu membuat negeri ini benar-benar
kehabisan banyak enerji atau sumber daya fundamentalnya. Mulai dari hutan, air,
APBN, APBD, pajak, dana bencana alam, subsidi BBM, bantuan pendidikan untuk
program pengentasan kemiskinan, maupun sumber dana sektor strategis lainnya,
sudah banyak yang diserang oleh penyakit neokleptokratisme atau dijadikan
'bancaan' oleh elite penghafal Pancasila.
Ironisnya, tidak sedikit di antara mereka yang
menderita penyakit itu, bisa mengemas dirinya dengan penampilan layaknya
aktor-aktor yang setia dan teguh menjaga doktrin Pancasila. Mereka seperti
manusia-manusia suci yang bukan hanya fasih dalam lisan saat mengucapkan
Pancasila dari sila ke sila, tetapi juga fasih dalam perbuatan. Sayangnya,
kefasihan ini hanya menipu atau pola kamuflase yang dikedepankan untuk
memembohongi dan membodohi publik.
Faktanya, aparat-aparat pemerintah gampang
terjebak dalam suatu prinsip menggampangkan (mengamputasi) urusan rakyat dan
menasbihkan urusan ego atau menyembah keakuannya, seperti derita yang menimpa
rakyat, yang sebatas ditempatkan atau diwacanakan sebagai bagian dari bencana
instan atau 'eksaminasi psikologis' yang harus diterima dengan sabar, dan
bukannya disikapi sebagai gugatan atau dakwaan kalau komplikasi yang dialami
rakyat adalah indikasi kegagalannya dalam menerjemahkan kebutuhan empirik
rakyat, atau masih 'setengah hatinya' dalam mengamalkan pesan kemanusiaan dalam
Pancasila. (Nurrahman, 2010)
Kelompok elite pendusta Pancasila seperti
itulah yang pantas dikritik sebagai manusia yang gagal menjadi negarawan.
Ketika hak keselamatan hidup rakyat saja, misalnya, sudah tidak terjamin atau
gampang diabaikan oleh aparat pemerintah yang sibuk menasbihkan 'keakuannya',
maka kecenderungan pemerintah untuk berbuat serupa dan lebih biadab niscaya
akan terjadi. Negara (pemerintah), yang memang di dalam dirinya dipercayakan
perlindungan hak-hak publik, bisa tergiring berlaku serong (selingkuh) ketika
syahwat menyenangkan diri dan golongan diunggulkan.
Syahwat menyenangkan diri atau menahbiskan
kepentingan gaya hidup hedonistiknya terbukti sudah membuka ruang longgar dan
liberal bagi penyakit neokleptokratisme. Penyakit ini sudah memasuki pori-pori
kehidupan masyarakat, mulai dari ranah birokrasi yang paling bawah hingga
elitis. Akibat penyakit ini, penampilan negara semakin tidak cantik dan tidak
humanistik. Mereka tak ubahnya perampok, penjarah, atau 'pembajak' hak-hak
rakyat.
Kebiadaban bangunan pemerintahan (negara) itu
jelas menjadi sumber malapetaka bangsa, karena dengan runtuhnya keadaban
pemerintah ini, rakyat sama artinya kehilangan payung organisasi yang memediasi
dan menyehatkannya. Rakyat dibuat hidup merana akibat sehari-harinya lebih
sering bertemu praktik-praktik neokleptokratisme yang bukan hanya sukses
merebut dan mengeksploitasi hak-haknya, tetapi juga terus-menerus menghancurkan
sisa-sisa keberdayaannya.
Kenyataan memprihatinkan atau memilukannya,
kita sudah banyak dan sering mendapatkan pelajaran selama ini, bahwa sikap
mendustai publik atas nama pesan ideologi negara (Pancasila), mempermainkan
orang kecil, atau ketidaksalehan sosial yang dilakukan oleh oknum aparat
pemerintah tidak sedikit di antaranya yang membawa ongkos besar yang belum
tentu mampu dibayar atau dilunasi oleh segenap komponen bangsa Indonesia.
Pasalnya, penderitaan yang ditimbulkannya bercorak sistemik dan berlapis-lapis.
Semuanya ini berelasi dengan 'watak serakah', yang mengakibatkan rakyat semakin
kesulitan memperoleh hak hidup berkelayakan dan berkemanusiaan (berkeadaban).
Dalam paradigma
tersebut, elite kekuasaan memang dipacu dan dipicu untuk jadi pemburu
(oportunis) yang harus bisa memenangkan 'olimpiade' mengendarai dan
mengemudikan kekuasaan atau jabatan. Meski, untuk kepentingan ini, berbagai
bentuk cara harus dihalalkan atau diberi tempat liberal, termasuk menyingkirkan
Pancasila, supaya segala targetnya bisa dipenuhi. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar