Rohingya
dan Ramadhan
Azis Anwar Fachrudin ; Koordinator Forum Studi Arab dan
Islam;
Pengajar di Ponpes Nurul Ummah,
Kotagede, Yogyakarta
REPUBLIKA,
01 Agustus 2012
Tragedi yang menimpa umat Islam dari etnis Rohingya menyisakan
banyak ironi. Banyak dari kita yang merasa sedih dengan meninggalnya beberapa
figur terkenal, sementara kadang kita lupa untuk berempati bahwa di luar sana
ada bangsa dan komunitas Muslim yang harus ‘mengais-ngais’ kedaulatan,
dipandang sebelah mata, dan diremehkan justru di tanah di mana mereka sudah
hidup sejak lama. Rohingya tinggal di Myanmar bukan sejak kemarin sore. Sejarah
keberadaan mereka sudah sangat panjang.
Banyak orang yang menangisi wafatnya Steve Job, membuat
orbituari untuknya, membuat buku untuk mengenang perjuangan bisnisnya yang
pantang menyerah. Sementara, tak begitu banyak yang menangisi nasib orang-orang
yang menderita busung lapar dan homeless di belahan Afrika.
Banyak orang merasa prihatin dengan tragedi pemutaran
perdana film Batman, “The Dark Night Rises”. Peristiwa dengan korban belasan
orang itu bahkan sempat menjadi headline media massa. Diberitakan pula,
pemeran film itu ikut menyambangi keluarga korban. Tak ketinggalan, Presiden
Obama ikut mengutarakan keprihatinan. Sementara itu, kasus pembantaian etnis
Rohingya nyelip dalam space yang kecil di pojok surat kabar.
Tragedi Rohingya juga mengingatkan akan ironi bagi
Indonesia sebagai bangsa yang mayoritas Muslim. Indonesia dengan gagahnya
memberi utang kepada IMF, tapi sampai kini kita belum mendengar dengan tegas
bagaimana sikap resmi Pemerintah RI kepada Myanmar.
Myanmar sempat gempita dengan mulai terbitnya era baru
demokrasi. Aung
San Suu Kyi, ikon baru demokrasi itu, belum lama ini
menerima hadiah Nobel Perdamaian. Beragam tulisan menyambut positif akan
prospek cerah demokrasi di Myanmar. Tapi, Suu Kyi juga belum bersuara lantang.
Ataukah, justru dalam kamus demokrasi dan nasionalisme versi Suu Kyi tidak ada
kata Rohingya? Pemerintah junta militer Myanmar justru dengan arogan mengatakan
Rohingya merupakan imigran gelap.
Ratusan jiwa Muslimin Rohingya tewas dalam pembantaian.
Sebagian kabar mewartakan jumlah korban sudah mencapai angka ribuan. Kalau itu
benar maka ini nyaris menjadi tragedi genosida. Nahas sekali, bahkan Bangladesh
yang konon merupakan etnis induknya juga menganggap Rohingya sebagai ‘anak haram’.
Rohingya menjadi suku bangsa tanpa tanah air. Rohingya
menambah daftar duka dunia Islam, di samping Palestina dan Suriah kini.
Pertanyaan ‘haruskah kita berempati?’ adalah retoris. Ya, kita menghormati
prinsip nonintervensi yang berlaku di kawasan ASEAN. Tapi, apakah nonintervensi
berarti menegasikan dan mengabaikan kasus pembantaian? Ya, kita menghargai
prinsip nasionalisme bahwa negara terkotak dalam batas teritorial tertentu. Ini
sudah zamannya negarabangsa (nation state).
Tapi, apakah nasionalisme lantas berarti acuh tak acuh
dengan nasib nation yang lain? Politik luar negeri Indonesia adalah bebas
aktif. Semestinya, Indonesia bisa aktif, apalagi kini menjadi pimpinan ASEAN. Juga,
di sana berlaku solidaritas Islam, prinsip ukhuwah Islamiah.
Dalam hadis dikatakan, “Umat Islamibarat satu tubuh, jika
satu bagian merasa sakit maka seluruh anggota badan juga merasa sakit.” Juga
kata hadis yang lain, “Orang-orang beriman itu bagai bangunan, (strukturnya)
saling menguatkan satu sama lain (kal-bunyan, yasyuddu ba’dhuhum
ba’dhan).“ Komunitas Muslim kerap disebut dengan ummah (satu induk),
ukhuwah (satu persaudaraan). Saya tak perlu menukil banyak dalil dari nash Alquran
atau hadis tentang hal itu.
Problem Kemanusiaan
Dan, memang semestinya ini tidak dianggap duka bagi umat
Islam saja. Umat Islam seharusnya juga berempati dengan Palestina bukan karena
mayoritas warganya adalah Muslim sebab bangsa Palestina juga terdiri atas umat Kristiani.
Solidaritas dunia Islam untuk Palestina, Suriah, dan Rohingya seharusnya adalah
karena mereka dizalimi, ditindas martabat humanismenya.
Jadi, ini juga tragedi kemanusiaan. Karena itu, kiranya
saya tak perlu mendramatisasi dengan mengatakan, “Bayangkan jika dirimu
ditakdirkan lahir dari rahim etnis mereka, lalu kamu menjadi minoritas,
dikesampingkan, tidak dianggap warga negara, akses pendidikan dan pekerjaan
dipersulit, lalu dibantai, rumahmu dirusak, kamu terlunta, lalu rasakan ketika
kamu minta pertolongan dan tidak juga dipenuhi.”
Ini bulan Ramadhan, bukan? Para dai dan khatib biasa
mengujarkan Ramadhan merupakan bulan empati. Pun cukup sering didakwahkan,
puasa berguna agar kita bisa tepa selira, merasakan penderitaan mereka yang
kelaparan.
Maka itu, kalaupun kita tidak bisa berbuat banyak untuk
mewujudkan empati kita dalam langkah nyata dengan datang ke sana,
setidak-tidaknya janganlah mengatakan, “Ngapain mengurusi orang luar,
sementara masalah kita di dalam negeri saja sudah bikin pusing?” Juga jangan
mengatakan, “Mari bersyukur karena atas karunia-Nya kita hidup di negara yang aman
tenteram, gemah ripah loh jinawi.” Bagi para sufi, itu bentuk syukur
yang perlu diiringi istighfar. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar