Mengorek
Periuk Nasi Politikus
Febri Diansyah ; Peneliti Hukum Indonesia
Corruption Watch
KOMPAS,
06 Agustus 2012
Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi
Keuangan telah menyelesaikan kajian terhadap 1.000 transaksi keuangan
mencurigakan dari 2.000 transaksi yang ditemukan.
Alhasil, 10 anggota Badan Anggaran DPR masuk
dalam daftar pihak yang melakukan transaksi keuangan fantastis dengan indikasi
korupsi. Jika dilihat dari sudut pandang pendanaan politik, data ini sangat
mengancam karena bukan tidak mungkin akan meruntuhkan partai jika terbukti
didanai dari hasil korupsi.
Sebelumnya, Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK) juga telah memproses sejumlah anggota Banggar. Dari 13 kasus korupsi yang
menjerat 45 politikus, 8 di antaranya terkait kewenangan penentuan anggaran
saat masih bernama Panitia Anggaran ataupun Badan Anggaran sekarang.
Kasus pertama yang diproses tahun 2007 adalah
suap terkait anggaran Rp 35 miliar dalam proyek pembangunan gedung Pusdiklat
Badan Pengawas Tenaga Nuklir. Kemudian sederet proyek pengadaan kapal patroli,
dana stimulus fasilitas laut dan udara daerah timur Indonesia, proyek wisma
atlet dan universitas, pembahasan anggaran Dana Penyesuaian Infrastruktur
Daerah (DPID), pengadaan Al Quran dan komputer di madrasah, serta proyek PLTU
Lampung tahun 2004. Sebagian tersangka sudah menjadi terpidana. Rasanya tak
berlebihan jika kerja ini diapresiasi.
Apa arti strategis temuan PPATK dan kerja KPK
dalam upaya pemberantasan korupsi di Indonesia? Jika data itu hanya ditempatkan
sebagai kasus baru, mungkin kita akan berhasil menjerat 10 politikus lagi.
Namun, mungkinkah kita mengembangkan cara baru sehingga tidak lagi terjadi
orang per orang dijerat, tetapi setelah bebas tetap saja mempunyai kekayaan
lebih dari cukup? Kasus-kasus diproses, tetapi mafia anggaran terus
bergentayangan?
Dalam fakta persidangan kasus DPID dengan
terdakwa Wa Ode Nurhayati, di komputer sekretariat Badan Anggaran yang disita
KPK muncul data kode-kode ”pemilik” anggaran dari berbagai partai.
Poin Krusial
Untuk menyikapi hal ini, menurut saya, ada
beberapa poin krusial. Pertama, antara sekadar menangkap politisi korup versus
memprioritaskan sektor politik, khususnya pembersihan dana politik. Kemungkinan
keterlibatan partai politik secara institusional dan pendanaan kegiatan politik
harus bisa dibongkar.
Kedua, menyiapkan sistem pengawasan untuk
memudahkan kerja penegak hukum memantau kewajaran kekayaan dan penghasilan
pejabat politik.
Ketiga, menyinergikan kewenangan penindakan
dan pencegahan KPK untuk membangun sistem yang lebih meminimalisasi korupsi di
partai politik dan DPR, sebagai sektor yang dipersepsikan paling korup selama
ini.
Jika KPK jilid III bisa meletakkan dasar yang
kuat terhadap tiga poin, pemberantasan korupsi di Indonesia mungkin bisa
dikatakan ”naik kelas”.
Untuk poin pertama, KPK perlu membuka setiap
kasus dalam paradigma hukum yang lebih luas. Penyidik tidak hanya mengumpulkan
bukti untuk menjerat tersangka, tetapi juga mafia di belakangnya.
Pendanaan politik sebagai penyebab eksisnya fee proyek, transaksi ”apel malang”,
”apel washington”, atau bahkan dalam pemilihan pejabat publik harus dibahas
mendalam pada setiap tahapan proses hukum. Saatnya KPK secara terbuka
menunjukkan korupsi politik adalah induk atau akar dari korupsi sesungguhnya.
KPK dapat memaksimalkan regulasi yang ada,
seperti UU Pencucian Uang yang dapat menjerat elite partai meskipun bukan
pegawai negeri atau penyelenggara negara dan membuka kemungkinan pembubaran
korporasi, termasuk partai politik jika terbukti menikmati hasil korupsi.
Maksimalkan PEPs
Penguatan kewenangan KPK terkait Laporan
Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) juga penting dilakukan secara
paralel. Namun, tak perlu berharap pada revisi undang-undang di parlemen. Kita
dapat memulainya dari ide penggabungan pendekatan dengan basis data politically exposed persons (PEPs) yang
seharusnya dimiliki PPATK sebagai Financial
Intelligence Unit (FIU).
Dalam pedoman Financial Action Task Force (FATF), dikatakan PEPs terdiri dari
lima lapisan mencakup pejabat dari eksekutif, legislatif, yudikatif dan
militer, elite partai politik, pejabat asing, serta korporasi, lingkar
keluarga, dan asosiasi lain yang terkait. Menurut World Compliance, setidaknya 1,5 juta PEPs sudah terdata. Dalam
konteks Indonesia, konsep PEPs dapat kita sinergikan dengan pelaporan kekayaan
penyelenggara negara. Hal ini dapat menambal bolong kewenangan KPK dalam
”menguji kebenaran” data kekayaan penyelenggara negara.
PEPs dapat dilihat dari dua sisi. Pertama,
sebagai sikap sensitif sistem keuangan terhadap orang-orang dengan risiko
tinggi menempatkan uang hasil korupsi pada bank, asuransi, pembelian aset,
kendaraan dan sejenisnya. Kedua, sebagai basis data transaksi keuangan pihak
tertentu terkait kewenangan dan pengaruhnya secara politik.
Penegak hukum akan lebih dimudahkan untuk
menyita kekayaan haram melalui sarana pembuktian terbalik di pengadilan sesuai
Pasal 77 UU Nomor 8 Tahun 2010. Pada poin ini, kombinasi LHKPN dan PEPs berada
di wilayah penindakan sekaligus pencegahan korupsi. Jika berhasil diterapkan, kombinasi
di atas dapat menjawab kritik terhadap pemberantasan korupsi dan pencucian uang
yang berjalan terpisah selama ini.
David Chaikin dan JC Sharman mengungkapkan
bahwa korupsi dan pencucian uang sejatinya bersimbiosis. Korupsi memfasilitasi
pencucian uang dan sebaliknya. Setelah tahapan kombinasi dilakukan, kita bisa
masuk pada strategi lanjutan yang fokus pada korupsi dan pencucian uang
menggunakan corporate vehicles dengan
jasa penjaga pintu (the gatekeepers).
Periuk Nasi
Kembali pada temuan PPATK, dengan tetap
meletakkannya dalam paradigma pemberantasan korupsi yang lebih sistematis, kita
perlu tetap ingatkan KPK untuk melaksanakan tugas pengawasan, seperti diatur
pada Pasal 6 huruf (e) UU No 30/2002. Sebab, melalui tugas inilah KPK mempunyai
kewenangan untuk mengkaji dan menyarankan perubahan untuk membenahi sistem yang
memberikan ruang untuk korupsi.
Idenya sederhana, selain tetap menggunakan
kewenangan menindak para politikus korup, KPK juga berkewajiban memperbaiki
lembaga tersebut agar anggaran negara tidak lagi jadi bancakan. Inilah saatnya ”periuk nasi” politikus korup
dibongkar. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar