Lompatan
Kedelai
Arif Budimanta ; Koordinator Kaukus Ekonomi
Konstitusi
KOMPAS,
06 Agustus 2012
Harga kedelai bahan baku tahu-tempe saat ini
bukan saja naik, melainkan melompat. Begitulah yang dikatakan seorang perajin
tahu-tempe kepada kita.
Tingginya harga kedelai telah membuat
sejumlah pabrik tahu dan tempe menghentikan produksi mereka. Produk turunan
kedelai yang paling sering dikonsumsi masyarakat itu pun sulit ditemukan.
Kalaupun ada di pasaran, harganya sudah sangat tinggi dan membebani pengeluaran
masyarakat.
Ada beberapa faktor yang memengaruhi harga
kedelai saat ini. Pertama, rendahnya produksi kedelai nasional. Rata-rata
kebutuhan nasional kita saat ini diperkirakan 2,4 juta ton per tahun atau
sekitar 200.000 ton per bulan. Target produksi 2012 diperkirakan 1,9 juta
ton/hektar, sementara hasil dalam triwulan I-2012 hanya 200.000-an ton, jauh
dari target 400.000-an ton. Dalam kenyataannya, selama ini tiap tahun kita
hanya bisa memproduksi 40 persen dari kebutuhan nasional, sisanya impor.
Kedua, untuk mengimpor kedelai dari pasar
internasional Indonesia harus bersaing dengan negara lain. Pada tahun 2010/2011
saja negara dengan kemampuan finansial jauh lebih besar dari Indonesia, seperti
China, mengimpor kedelai lebih dari 50 juta ton. Jumlah itu menjadikan China
sebagai importir kedelai terbesar disusul Uni Eropa, Meksiko, dan Jepang.
Ketiga, lemahnya kontrol pemerintah terhadap
harga kedelai. Akibatnya, pasar kedelai lebih dikendalikan oleh ”pemain”
kedelai swasta yang tujuannya tentu saja memperoleh keuntungan
sebesar-besarnya.
Meningkatnya konsumsi kedelai sejalan
meningkatnya jumlah penduduk. Hal itu karena saat ini kedelai juga dipakai
untuk campuran pangan bagi ternak dan salah satu sumber bio-energi. Sementara
itu, sumber protein lain—khususnya ikan—kurang diupayakan sebagai diversifikasi
protein selain kedelai dan telur.
Kurangnya upaya itu tecermin dari aturan yang
melarang ekspor ikan sebelum kebutuhan ikan nasional terpenuhi. Ikan seharusnya
menjadi sumber protein utama yang perlu dikembangkan oleh pemerintah mengingat
sebagian besar wilayah Indonesia berupa lautan/perairan sehingga di semua
daerah orang akan bisa melakukan budidaya ikan.
Saat ini 60 persen produksi kedelai dunia
dihasilkan Brasil dan Amerika Serikat. AS menyumbang produksi hampir 40 persen
dan dalam satu tahun terakhir produksi kedelai AS dan Brasil menurun. Hal ini
kemudian berdampak pada kenaikan harga kedelai dunia. Berdasarkan data setahun
terakhir, terjadi kenaikan harga kedelai dunia, terutama yang berasal dari AS,
Brasil, dan Argentina, 19-27 persen.
Ubah Paradigma
Guncangan yang terjadi terhadap harga kedelai
saat ini pada tataran makro diakibatkan oleh liberalisasi sektor pangan yang
terlalu berlebihan. Sementara pada sisi mikro, lebih karena ketidakmampuan
pemerintah dalam mengendalikan persediaan kedelai di tingkat nasional. Hal ini
karena: (1) produksi yang tidak mencapai target dan (2) tata niaga kedelai yang
cenderung merugikan petani dan perajin tahu-tempe.
Dalam konteks produksi, kita justru mempertanyakan
dana APBN yang terus meningkat, yang katanya dipergunakan untuk meningkatkan
produksi kedelai nasional, tetapi tidak menunjukkan hasil yang signifikan.
Malah yang terjadi, impor meningkat terus.
Fenomena yang terjadi saat ini sebenarnya
juga merugikan petani kedelai, produsen tahu-tempe yang tidak dapat
berproduksi, dan berakibat tahu-tempe jadi barang langka. Bila dibiarkan
berlarut akan menimbulkan keresahan sosial.
Untuk itu, ada beberapa langkah alternatif
yang dapat dilakukan. Dalam jangka pendek hingga menengah, produksi kedelai
harus ditingkatkan. Para petani kedelai diberikan sejumlah insentif bukan hanya
berupa benih, melainkan juga insentif harga. Pemerintah melalui Bulog perlu
memiliki stok penyangga (buffer stock)
untuk kedelai sehingga dapat melakukan operasi pasar dan memperbaiki tata niaga
saat ini. Kepada para perajin kedelai diberikan insentif berupa subsidi harga
dengan jumlah tertentu. Dengan begitu, mereka terus dapat berproduksi dan
ketersediaan pangan rakyat tetap terjaga dengan harga yang lebih stabil.
Dalam jangka lebih panjang, diversifikasi
sumber protein harus lebih dimasyarakatkan. Hal itu mengingat tingginya
permintaan kedelai dunia dan rendahnya produksi kedelai dalam negeri pada
gilirannya akan menciptakan ketergantungan terhadap impor. Karena itu, sumber
protein seperti telur dan ikan perlu diregulasi sejak dini. Mengarah pada
alternatif jangka panjang ini, perlu dipersiapkan infrastruktur yang mendukung,
baik berupa sumber daya manusia, teknologi, maupun regulasi.
Dengan melakukan ini, pemerintah berarti
mengubah paradigma pembangunan ekonominya dan menjadikan pangan soal hidup-mati
bagi bangsa Indonesia, seperti yang diungkapkan Bung Karno di Bogor pada 1959. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar