Kepemimpinan
Orang-orang Kalah
Rhenald Kasali ; Guru Besar FEUI; Pendiri
Rumah Perubahan
KOMPAS,
06 Agustus 2012
Joko Widodo yang maju dalam pencalonan
gubernur DKI Jakarta mengatakan dirinya tak punya uang. Maka, ia pun menjadi
bingung saat dituding telah menjalankan politik uang.
Pertarungan antara kubu Joko Widodo-Basuki T
Purnama dan Fauzi Bowo-Nachrowi Ramli masih terus berlangsung, seperti halnya
yang dihadapi hampir semua kontestan pilkada dari Aceh hingga Papua. Dalam
banyak kesempatan selalu ditemui babak selanjutnya.
Meskipun demikian, reaksi yang muncul dari
setiap pihak bisa berbeda. Ada yang menunjukkan bahwa mereka memiliki sikap
pemenang yang berorientasi ke depan dan introspektif terhadap masa lalu, ada yang bertarung
dengan mentalitas pecundang yang berorientasi ke masa lalu dan menyalahkan
orang lain.
Kalau diperhatikan, hampir semua politisi
yang bertarung pada era demokrasi ini tidak siap menyambut kemenangan. Yang
menang gagal menjalankan apa yang dijanjikan dan bila kalah selalu menyalahkan
orang lain. Kalau mencari uang gagah berani, tetapi bila tertangkap melakukan
kejahatan enggan bertanggung jawab.
Belajar Akui Kesalahan
Lima belas tahun yang lalu saat masih
bersekolah di Amerika Serikat, anak saya pulang ke rumah dengan muka terluka.
Begitu bertemu ibunya, ia menangis sambil memeluk. ”It’s OK mommy, it was my mistake. I was wrong.” Saat kembali ke
Indonesia ia suka protes. ”Mengapa teman-teman aku suka tak mengakui kesalahan?
Mereka pun selalu mengulanginya.”
Sebagai orangtua, saya tentu kesulitan
menjawab. Akan tetapi, saya berpikir, anak-anak belajar dari orangtua dan
orangtua belajar dari para pecundang yang tidak siap menerima kekalahan.
Jawaban itu akhirnya saya peroleh dari Denis
Waitley (1986) yang menulis ”Psychology
of Winning” hasil studi Kassam, Morewedge, Gilbert, dan Wilson (Psychological Science, April 2011). Saya
jadi mengerti mengapa Presiden Amerika Serikat yang kalah dengan gagah berani
mengucapkan selamat kepada pemenang hanya sesaat setelah hasil polling mengumumkan kekalahannya. Saya
juga jadi mengerti, mengapa anak-anak di dunia Barat lebih sering mengatakan
”saya yang salah”, sementara di sini semakin banyak orang yang mengatakan
”bukan salah saya”.
Dari berbagai literatur diketahui bahwa di
negara-negara demokratis, selain komunikasi yang asertif, pada anak-anak selalu
ditanamkan sikap-sikap pemenang. Seorang pemenang bukan otomatis memenangi
persaingan, melainkan yang menjaga kehormatannya.
Orang Kalah
Seingat saya, di sekolah anak saya dulu, guru
selalu mengingatkan bahwa pada akhirnya orang yang kalah bukanlah yang
terpenjarakan atau tergusur dari kursinya, melainkan orang yang melemparkan
kesalahannya kepada pihak lain.
Ketika seorang pemenang mencari cara
”bagaimana menyelesaikan” masalahnya, orang-orang yang kalah ”sibuk mencari
alasan”. Tak banyak pemimpin yang menyadari bahwa mereka telah menjadi ”bagian
dari masalah” dan bukan solusi.
Seorang pemenang selalu menghormati
orang-orang yang lebih hebat dan mau belajar. Ia dihormati bukan karena menang
atau dicurangi, melainkan karena menghormati kemenangan, menjaga kehormatan.
Sementara orang yang mengabaikan
kehormatannya selalu merendahkan keberhasilan orang lain dan merasa lebih hebat
dari siapa pun juga. Wajar bila mereka gemar mencegah agar orang lain berhasil.
Mereka menggunakan argumentasi omong kosong dengan nada keras. Berbeda dengan
pemenang yang argumentasinya kuat, tetapi disampaikan dengan lembut dan santun.
Mau ke mana Indonesia kalau para politisi dan
pemimpinnya tak punya karakter pemenang? Apa jadinya kalau generasi muda tidak
dipersiapkan untuk menjadi pemenang? Bangsa yang kalah akan selalu curiga dan
memusuhi bangsa-bangsa yang lebih hebat dan beranggapan bahwa ada peran faktor
keberuntungan. Padahal, pemenang melihat keberuntungan sebagai buah dari kerja
keras dan disiplin. Bangsa yang kalah mudah tersulut emosi, tetapi ragu-ragu
bertindak. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar