Selasa, 07 Agustus 2012

Menangkap Esensi Nuzululquran


Menangkap Esensi Nuzululquran
Ismatillah A Nu’ad ; Peneliti Pusat Studi Islam dan Kenegaraan
Universitas Paramadina, Jakarta
MEDIA INDONESIA, 07 Agustus 2012

TIAP 17 Ramadan, umat Islam selalu memperingati peristiwa Nuzululquran yang secara harfiah berarti turunnya Alquran dalam hal ini istilah yang merujuk kepada peristiwa penting penurunan wahyu pertama dari Allah kepada nabi dan rasul terakhir agama Islam, yakni Nabi Muhammad SAW. Peringatan Nuzululquran sering kali kehilangan esensi, yakni kita sebagai umat terjebak pada ritus tahunan, tetapi substansi membaca, memahami, dan mengamalkan kitab suci kadang terabaikan.

Penghayatan dan pengamalan itulah yang sesungguhnya menjadi esensi diturunkannya Alquran. Karena itu, dalam momen Nuzululquran tahun ini, kita kiranya harus kembali memikirkan (rethinking) Alquran, dalam arti sudah sejauh mana ia memengaruhi kehidupan kita. Selama ini ada kesan, ketika membaca Alquran, kaum muslim sudah merasa cukup hanya sampai pada dataran teksnya. Atau, Alquran hanya menjadi ornamen dan pajangan di rumah serta sebagai simbol `keislam an' dan `ketakwaan'.

Cara Membaca Alquran

Ada perbedaan signifikan ketika Alquran turun ke masyarakat Arab zaman Nabi dan Alquran yang sudah build-up di zaman kita saat ini. Dahulu, setiap kali turun, ayat Alquran tidak dipahami sebagai kalimat yang sendiri-sendiri, tetapi langsung berdasarkan kenyataan sehari-hari sehingga proses memahaminya tidak membawa kesulitan serius. Namun kini, Alquran menghampiri pembacanya lewat teks-teks yang sudah melampaui zaman pertama kali ketika turun sehingga di situ perlu ada upaya untuk memahami Alquran secara serius, antara lain dengan terus menafsirkannya secara aktual.

Dari sisi itu, hadis Nabi yang dikutip Mohammed Arkoun dalam karyanya Lectures du Coran (1997), yang berbunyi `La yafkahu al-Rajulu kullu al-Fikhi hatta yara li al-Qurani wujuhan katsirah' (seseorang tak dapat dikatakan paham sepaham-pahamnya, sampai ia melihat pelbagai kemungkinan pengertian Alquran), menjadi semacam kritikan buat kaum muslim yang selama ini telah merasa damai dengan `pemah hamannya' terhadap Alquran. Jika menyadari eksistensi bunyi hadis itu, kita semestinya mengaktualisasi Alquran untuk merespons pelbagai perkembangan zaman.

Adapun pendekatan yang selama ini digunakan, terutama oleh para ulama terdahulu dalam kitab-kitab tafsir mereka, hanya mengadaptasikan Alquran pada zaman mereka sehingga kini menjadi tidak kontekstual lagi. Salahnya, warisan ulama terdahulu itu masih terus dipakai secara normatif dan otoritatif, seakan-akan tak ada kemungkinan pendekatan baru terhadapnya. Lazimnya, pendekatan Alquran baru sampai pada masalah-masalah klasik, seperti yurisprudensi (ilmu fikih), teologi dogmatis (ilmu kalam), penafsiran esoteris (ilmu tasawuf), ilmu tata bahasa (nahu), dan ilmu-ilmu Qurani itu sendiri (ilmu ulumul Alquran).

Jika mengikuti perkembangan-perkembangan baru di dunia modern ini, ilmu pengetahuan terus berkembang, seperti ilmu psikologi, ekonomi, sosiologi, politik kontemporer, antropologi, linguistik, semiotika, hermeneutika, belum lagi ilmu-ilmu yang berbau sains. Tugas kaum muslim kini semestinya bukan secara apologetis mengatakan apa yang ada dalam perkembangan ilmu itu sudah ada dalam Alquran. Tantangan untuk terus berupaya mendekati Alquran secara aktual dan kontemporer seharusnya terus dilakukan. Pemahaman di dalamnya semestinya terus dibaca dan digali dengan pendekatan ilmu-ilmu modern.

Bukan Sebatas Teks

Sir Muhammad Iqbal, dalam karya klasiknya Reconstruction of Islamic Thought (1985), pernah berujar Islam justru tidak ada di dunia Islam sendiri. Ia malah ada di dunia Barat. Peradaban Barat memaknai `Alquran' bukan sebagai teks, melainkan realitas tersebut. Alquran di situ merupakan prinsip nilai-nilai moral positif yang kandungannya kemudian diterjemahkan ke dalam realitas. Model seperti itulah yang dapat mencipta peradaban dan masyarakat sipil (masyarakat Madani). Di situ, masyarakat dinaungi aturan hukum yang adil dan semangat praksis bagi kehidupan.

Sebaliknya, telah muncul mitos-mitos, legenda-legenda, dan praktik-praktik takhayul dalam masyarakat muslim yang diakibatkan penafsiran keliru terhadap teks Alquran. Akhir-akhir ini film-film atau ceramah-ceramah keagamaan yang memuat dan menerangkan keutamaan (fadilah-fadilah) teks sangat marak. Di situ cerita-cerita yang turut melegitimasinya dibeberkan, dijual, dan `di-infotainment-kan' seraya untuk membenarkan `kemukjizatan' fadilah teks.

Pendeknya, Alquran bagaikan mitos sosial dan legenda-legenda, yang tentunya praktik-praktik seperti itu dapat menjerumuskan kaum muslim ke dalam alam kegelapan (dzulumat) dan zaman jahiliah.

Alquran seharusnya dijadikan instrumen bagi sebuah realitas. Ia jangan lagi ditempatkan pada posisi normatif dan mitos-mitos dalam kehidupan, tetapi harus dihadapkan pada realitas-realitas empiris dan kontekstual. Pemahaman keliru terhadap teks Alquran sebenarnya dapat menimbulkan dilema-dilema dalam kehidupan kaum muslim, terutama ketika menghadapi problem modernitas dan globalisasi. Dari sisi tersebut, pertanyaan-pertanyaan baru selalu bermunculan dan terus menyelimuti tanpa kemudian bisa dijawab karena ajaran-ajaran Alquran tidak lagi menjadi relevan.

Model penafsiran Alquran yang realistis dan aktual tidak memiliki pretensi untuk melucuti `kesakralan' Alquran. Akan tetapi, ajaran Alquran tidak seharusnya dibawa hanya pada persoalan `mistifikasi'. Oleh karena itu, ia tidak mengena pada substansi-substansinya. 
Apalagi kini kekhawatiran muncul mengiringi perkembangan keagamaan kaum muslim; ketika praktik-praktik religion assassination dalam rupa film-film dan ceramah-ceramah yang menafsirkan Alquran secara mistis, normatif, dan tekstual itu berkecambah sangat liar serta mewabah dengan subur.

Pendekatan Alquran yang realistis merupakan konstruksi baru bagi kaum muslim dalam menghadapi persoalan-persoalan modern. Di tengah kebingungan menghadapi realitas tersebut, hal itu seakan membuka tabir baru wajah Islam yang penuh dengan khazanah dan nomenklatur berbagai aura pemikiran keagamaan yang kemudian diperpadukan dengan kondisi aktual.

Dengan demikian, di situ Islam menjadi agama yang realistis dan dapat memberi kontribusi praksis bagi peradaban. Teks Alquran menjadi spirit (zeitgeist) dan sumber penyemangat bagi kehidupan. Peradaban Islam sesungguhnya dimulai dari peradaban tekstual. Jika Islam ingin menemukan kembali peradabannya, teks janganlah berhenti hanya pada teks keagamaan, apalagi teks dapat menjerumuskan pada mitos-mitos sosial. Teks itu harus diterjemahkan secara rasional dan diaktualisasikan ke dalam realitas sehingga bisa mencipta peradaban kaum muslim yang sesungguhnya.

Wallahualam. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar