“Cicak”
Memangsa “Buaya”
Gunarto ; Guru Besar Fakultas
Hukum, Wakil Rektor II Unissula Semarang
SUARA
MERDEKA, 07 Agustus 2012
KOMISI Pemberantasan Korupsi
(KPK) belum lama ini secara mengejutkan menetapkan mantan Kepala Korps Lalu
Lintas (Korlantas) Mabes Polri Irjen Djoko Susilo sebagai tersangka dalam kasus
pengadaan simulator kemudi untuk mendapatkan SIM.
Komisi antikorupsi itu juga
menggeledah ruang Korlantas Mabes Polri meski awalnya mendapat ''perlawanan''
dengan dalih Bareskrim Mabes Polri juga menangani kasus itu.
Fenomena ini menjadi luar biasa
karena dua hal. Pertama; kejadian itu menimpa institusi penegak hukum yang
selama ini terkesan sangar, dan melibatkan perwira tinggi yang saat ini
menjadi Gubernur Akpol. Kedua; kita seperti kembali diingatkan
pertarungan KPK versus Polri beberapa waktu lalu yang dikenal dengan ''Cicak Vs
Buaya'', sebagaimana diistilahkan Kabareskrim (waktu itu) Komjen Susno Duadji.
Kedua; penegakan hukum dalam
konteks korupsi menjadi sesuatu yang niscaya. Saat ini, sebagaimana disinyalir
ilmuan Robert Klitgaard, korupsi di Indonesia memasuki fase sebagai budaya.
Bukan berarti korupsi sudah menjadi budaya melainkan karena telah menjelma
menjadi perilaku laten sehingga bangsa ini bersikap apatis dan permisif
terhadap perbuatan itu. Akibatnya, semua dimensi kehidupan terasuki oleh budaya
korupsi, sogok, kongkalikong, permainan anggaran, dan sebagainya.
Sayang, agenda pemberantasan
korupsi selalu saja menimbulkan perlawanan. Dalam kasus korupsi alat simulator
SIM ini, institusi kepolisian sempat melakukan perlawanan dengan alasan mereka
juga sedang menangani kasus tersebut.
Nyatanya, sebagaimana disampaikan
Ketua KPK Abraham Samad dan Jaksa Agung Basrief Arief, KPK lebih dahulu
menangani kasus ini sehingga tidak ada alasan bagi Polri untuk bertahan
dengan bersikukuh bahwa mereka lebih berhak dalam penanganan kasus itu.
Justru sikap seperti ini makin menimbulkan kecurigaan publik akan adanya
kepentingan terselubung.
Perlu Sinergi
Jika kita setuju bahwa korupsi,
sebagaimana disinyalir oleh Klitgaard sebagai sesuatu yang telah ''membudaya''
di Indonesia, sejatinya tidak boleh meninggikan ego sektoral dengan
mengasumsikan bahwa institusinya lebih superior ketimbang lembaga lain. Sikap
semacam itu tak lain merupakan antagonisme pemberantasan korupsi.
Yang kita butuhkan adalah
kebesaran jiwa dan ketulusan sikap yang ditunjang komitmen tinggi untuk
bersungguh-sungguh memerangi korupsi. Mengutip Jaksa Agung Muda Pengawasan
Marwan Effendy, justru akan sangat baik jika dilakukan kerja sama secara
sistemik dan integral di antara semua lembaga penegak hukum, bahkan masyarakat,
untuk bersama-sama memerangi korupsi.
Langkah sinergis ini dibangun di
atas beberapa prinsip. Pertama' pemberantasan korupsi merupakan agenda bersama
dalam rangka mengemankan kepentingan bangsa dan negara.
Prinsip ini akan melampaui
perdebatan soal kewenangan dan otoritas. Kesadaran semacam ini juga akan mampu
menghindari terjadinya ego sektoral. Sebaliknya, akan terjadi kerja sama secara
positif dan progresif dalam penanganan dan pencegahan korupsi.
Kedua; adanya kesadaran bersama
bahwa pemberantasan korupsi merupakan sesuatu yang mendesak di mana tingkat
urgensitasnya harus lebih didahulukan daripada perdebatan-perdebatan prosedural
atau superioritas kelembagaan. Keberadaan lembaga-lembaga penegak hukum tidak
untuk dirinya sendiri, melainkan untuk kepentingan bangsa dan negara.
Tujuan inilah yang bisa menjadi
titik temu sehingga antara satu lembaga dan lembaga yang lain akan saling
mendukung dan menguatkan.
Ketiga; perlunya pengawasan
bersama baik internal maupun eksternal, fungsional dan struktural untuk
mengawal seluruh proses pemberantasan dan pencegahan korupsi sehingga makin
memperkecil peluang terjadinya penyimpangan hukum dan tidak memberi peluang
bagi terjadinya korupsi. Jika langkah sinergis ini bisa dilakukan maka angka
risiko terjadinya korupsi makin bisa ditekan seminimal mungkin. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar