Einstein,
Tuhan, dan Alquran
Tandi Skober ; Budayawan
MEDIA
INDONESIA, 07 Agustus 2012
“Sains kerap
tidak dapat menembus ruang misteri, tapi melalui partikel suci fitri selalu
saja ada hidayah yang membimbing manusia untuk menyentuh energi misteri itu."
BERMULA
dari rumus E=mc2, di usia 26 tahun, pada 1905 Albert Einstein menemukan energi
fitri dalam lintas cahaya mahadahsyat. E=mc2 menjelaskan persamaan nilai antara
energi (E) dan massa (m), yang disetarakan secara langsung melalui konstanta
kuadrat laju cahaya dalam vakum (c2). Energi sama dengan massa kali kuadrat
kecepatan cahaya. Einstein terperangah! Dalam ruang kontemplasi nalar ia
bertawaf pada ruang mahaagung jagat raya, matahari, planet, bintang, dan entah
apalagi. Itu tentu butuh energi luar biasa untuk menciptakan massa. Di situ,
Einstein memosisikan energi sebagai emanasi Zat Mahaagung sekaligus Zat
Mahaagung itu sendiri!
Cosmic religion khas Einstein yang memosisikan
cahaya dalam vakum (c2) untuk menjabarkan abstraksi energi itu ternyata 14 abad
sebelumnya telah disitir dalam Surah An-Nur (24): 35, “Allah cahaya langit dan
bumi. Perumpamaan cahaya Allah seperti sebuah lubang yang tak tembus, yang di
dalamnya ada pelita besar. Pelita itu di dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan
bintang seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang banyak
berkahnya, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur dan tidak
pula di sebelah barat, yang minyaknya (saja) hamper-hampir menerangi walaupun
tidak disentuh api. Cahaya di atas cahaya, Allah membimbing kepada cahaya-Nya
siapa yang Dia kehendaki, dan Allah memperbuat perumpamaan-perumpamaan bagi
manusia, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.“
Surah
An-Nur ayat 35 mengisyaratkan bahwa misykab/cela
merupakan simbol religi, azzujaj merupakan komunitas manusia berzikir nalar,
dan al mishbah adalah kalbu. AsySyajarahb merupakan sosok manusia yang bersih,
steril, dan istikamah. Minyak adalah simbol rahasia-rahasia Allah. Matsalu nurihi/ perumpamaan cahaya-Nya
adalah cahaya makrifat. Hal itu
diadopsi Einstein sebagai `the most
beautiful experience we can have is t the mysterious'. Adalah ruang misteri
sekaligus perjalanan emosi ketika manusia berada pada titik temu terjauh di
antara seni sejati dan sains sejati. Emang sih, sains kerap tidak dapat
menembus ruang misteri, tapi melalui partikel suci fitri selalu saja ada
hidayah yang membimbing manusia untuk menyentuh energi misteri itu.
Energi
misteri benih telur (ovarium) yang melekat pada dinding rahim perempuan,
misalnya, hanya mencapai panjang 0,125 milimeter. Itu pun untuk 200 benih telur
dijejerkan dalam satu deret lurus. Namun ovarium bisa menjadi luar biasa. Itu
terjadi ketika benih telur tersebut mendapat sentuhan pembuahan dari benih
sperma lelaki. Satu ovarium masak bertemu dengan satu benih sperma sehat akan
menghasilkan 46 kromosom, yaitu 23 kromosom berasal dari ovarium dan 23
kromosom dari sperma. Perpaduan kromosom itu setiap harinya akan membelah diri
menjadi dua sel, terusmenerus, dan lewat proses ajaib jadilah apa yang disebut
fetus. Itulah calon makhluk berakal yang banyak disebut sebagai manusia.
Kendati
tercipta bermula dari sari pati air yang hina, keberadaan manusia sangatlah
istimewa. “Manusia adalah mahkota serta puncak alam semesta,“ tutur Hamzah dari
Pansur, empat abad lalu. Lain lagi Abbas Mahmud al-Aqqad. Ia menulis bahwa
manusia adalah makhluk yang bertanggung jawab, yang diciptakan dengan
sifat-sifat ketuhanan. Adapun Syams Al Din dari Pasai, pada abad XVI bertutur
bahwa manusia adalah penjelmaan zat mutlak yang paling penuh dan paling
sempurna. Adinegoro menulis bahwa manusia adalah alam kecil, sebagian dari alam
besar di atas bumi.
Aneka
pendapat tersebut, dalam kajian filsafat abad XVI, menjadi acuan dalam
memosisikan dan memaknai hakikat manusia. Di dataran pemikiran itu, kedudukan
manusia ditempatkan pada dimensi religius yang kukuh. Ia terposisikan pada
konstruksi pusat periferal keajekan alam. Seperti sebuah samudra mahaluas,
manusia ialah penghubung antara Zat Mutlak dan segala penciptaanNya. Alam
mikrokosmos yang mengungkapkan alam makrokosmos. “Seperti halnya air menjadi
penghubung antara ombak dan laut,“ ungkap Hamzah.
`Sebagai
pangkat terakhir penjelmaan Zat Mutlak, manusia bisa diposisikan sebagai titik
balik bagi perjalanan kembali kepada Allah. Secara potensial manusia adalah
tempat pertemuan antara tanazzul dan taraqqi, atau tempat pertemuan pengaliran
keluar dan pengaliran kembali', tulis Harun Hadiwijoyo. Seorang Soeryanto
Poespowardojo bahkan menuturkan bahwa manusia ketika terlempar dalam situasi
tertentu butuh bentuk-bentuk pengejawantahan yang perlu direalisasikan, yaitu
dinamika dan histori. Artinya, keseluruhan jati diri manusia adalah potensi
dinamis penuh daya cipta, karsa, dan rasa.
Paparan
tersebut diakses Albert Einstein sebagai sinergi emanasi energi misteri E=mc2.
Tidak aneh manakala empirisme emosional mengantarkan manusia pada sains-sains
ilahiah: jalinan mikroskopis membuat tanaman bertumbuh, mengeraskan sisa-sisa
tubuh hewan laut menjadi bukit kapur, menyatukan uap air menjadi awan, dan Big Bang yang telah memuntahkan samudra
partikel, kemudian material subatomik itu membentuk miliaran galaksi hingga
terwujudlah `sebutir pasir' bernama bumi yang kini kita tempati.
Yang
ajaib, sebagai makhluk yang hinggap di sebutir pasir, manusia ternyata memiliki
potensi fitri dalam mengembangkan kebudayaan yang cemerlang. Pada titik yang
terjauh, manusia bahkan memiliki moralitas yang tidak dimiliki hewan apa pun,
termasuk apa yang dijelaskan dalam teori evolusi Darwin. Einstein bahkan
memberi apresiasi tinggi terhadap pandangan filsuf Baruch de Spinoza seputar
`jiwa' yang tak berwujud dan tubuh yang berwujud adalah satu. Adalah primordial spirit (jiwa utama) yang
zikirkan moralitas Idul Fitri.
Potensi
energi fitri tersebut selalu saja ditelikung perumitan dilematis bersifat
holistis. Potensi yang dimiliki untuk memperluas kesempurnaan sebagai
bayang-bayang energi fitri direduksi langkah laku pembodohan jiwa. Hamzah
menyebutnya gaflat. Hamzah menulis, `Adapun
rupamu itu, bayang-bayang jua, namamu itu gelar-gelaran jua; dari pada gaflatmu
kausangka engkau bernama dan berupa'. Manusia akhirnya kehilangan apa yang
seharusnya tetap melekat di dalam pencahariannya, yaitu nur Allah!
Einstein,
Tuhan, dan Alquran? Ah, saya jadi teringat saat ikut khuruj fi sabilillah bareng Jamaah Tablig. “Sesungguhnya di sekitar
Arsy terdapat mimbar-mimbar dari cahaya, yang di antaranya terdapat suatu kaum
yang menggunakan pakaian cahaya,“ tutur tausiah amir, “Wajah mereka bercahaya
dan mereka itu bukan nabi, juga bukan para syuhada. Siapakah mereka itu? Mereka
adalah orang-orang yang saling menjalin cinta kasih karena Allah, dan saling
bermajelis (duduk memikirkan sesuatu) karena Allah, dan saling mengunjungi
karena Allah semata.“
Saya tersenyum. Bisa jadi salah satu di
antara mereka yang berpakaian cahaya surga itu, atas rida Allah SWT, adalah
Albert Einstein yang wafat pada usia 76 tahun di Princeton, New Jersey, Amerika
Serikat, pada 18 April 1955. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar