Melawan Budaya
Korup
Benny Susetyo ; Pemerhati Masalah
Sosial
SINAR
HARAPAN, 07 Agustus 2012
Korupsi menjadi habitus sebagian bangsa ini karena rendahnya
sanksi sosial dan moral terhadap para pelaku korupsi.
Setidaknya ini signifikan sebagai alasan susahnya memberantas
korupsi hingga akar-akarnya di negeri ini. Sebagian besar masyarakat jengah
dengan perilaku korupsi ini, tetapi sebagian kecil lainnya, khususnya mereka
yang berada di area rawan korupsi, justru berpersepsi sebaliknya.
Itulah ironisme tatkala melihat seorang koruptor justru
diperlakukan seperti pahlawan. Mereka yang tertangkap karena kasus korupsi
sering dianggap sebagai mereka yang “sial”. Apa artinya? Artinya perilaku
korupsi lain yang tidak terungkap, yang sistemik, yang tidak terpublikasi di
media masih begitu banyak dan besar.
Saat korupsi masih membudaya seperti ini, sulit bagi kita untuk
lepas 100 persen dan menghilangkan korupsi sampai akar-akarnya dalam waktu
cepat.
Para politikus dan birokrat yang dekat dengan arena korupsi kerap
melihat mereka yang ditangkap adalah contoh kecil dari korupsi sesungguhnya.
Asumsi seperti ini justru merupakan tantangan bagi pihak berwenang untuk
membongkar setuntas-tuntasnya berbagai tindakan, kecil atau besar, korupsi di
negeri ini.
Apalagi bila sudah menyangkut sistem, dapat dikatakan korupsi
sudah demikian sistemik dalam sistem birokrasi kita. Susah dideteksi dengan
perangkat hukum tetapi mudah dirasakan dengan mudah bahwa telah terjadi
korupsi. Itulah kenyataan yang terjadi di sekitar kita. Situasi ini
diperparah dengan banyaknya hak istimewa yang didapat para koruptor.
Masyarakat bertambah yakin bahwa pelaku korupsi tidak selalu
mendapatkan hukuman berat. Ada pula anggapan kalau koruptor dihukum 1–2
tahun, lepas dari penjara dia masih bisa berfoya-foya dengan uang hasil
korupsinya.
Pandangan-pandangan negatif yang bersifat melemahkan ini banyak
beredar di sekitar kita. Korupsi yang menjadi musuh bersama itu sering masih
berhenti hanya dalam ucapan. Dalam tindakan, amat sulit menegakkan hukum untuk
memberi sanksi seberat-beratnya terhadap koruptor.
Itu juga yang kerap membuat koruptor sering merasa tidak berdosa
dengan tindakannya merampok uang negara (uang rakyat).
Gejala ini terjadi karena sebagian budaya kita masih melihat
pelaku korupsi yang menyalahgunakan jabatan dan kekuasan itu seolah
”dibenarkan” dalam kacamata politik kekuasaan. Menjadi penguasa, dengan
begitu, adalah justifikasi untuk melakukan tindakan korupsi, besar atau
kecil, terlihat atau tidak.
Akibatnya, semakin berkembang modus dan cara-cara merampok uang
negara dalam tindakan yang sulit dideteksi publik. Ada banyak cara dilakukan,
seperti pemeo yang beredar di masyarakat, maling selalu lebih pintar daripada
polisi.
Begitu pula dengan koruptor. Ada keyakinan kuat bahwa kasus-kasus
korupsi yang muncul akhir-akhir ini adalah sebagian kecil, atau hanya puncak
dari gunung es korupsi. Bila hal itu benar, celakalah kita sebagai bangsa
yang ”mencintai” korupsi sebagai tindakan instan untuk memperkaya diri
sendiri.
Tindakan Tegas
Karena yang paling dirugikan dalam setiap korupsi adalah
masyarakat luas, sudah sepatutnya publik terus mengontrol dan mengingatkan
penyelenggara negara atas tugasnya memberantas korupsi dan menegakkan hukum.
Memberantas korupsi ibarat memeriksa kerusakan-kerusakan parah
dalam diri kita. Ketika mengobati salah satu bagian, atau bahkan
mengamputasinya, bisa jadi bagian lain terasa sakit.
Namun, itulah risiko agar badan tetap sehat. Bila kita tidak
mampu dan mau mengobati diri dengan cara seperti itu, dan merasakan sakit
dalam jangka pendek, dalam jangka panjang hal tersebut justru akan merusak
bagian tubuh lainnya.
Tanpa tindakan yang tegas dan penuh rasa keadilan, mustahil
pemberantasan korupsi bisa dilakukan kecuali hanya dalam pidato pemanis
mulut.
Aparatur negara, mereka yang umumnya dikaitkan dengan tindakan
korupsi, seharusnya justru berada di depan untuk memelopori kesadaran
masyarakat untuk bersama-sama berpikir dan bertindak antikorupsi, dari
lingkup paling kecil sampai paling besar.
Ada harapan bahwa demokrasi bisa ditegakkan dengan membangun
sistem yang transparan, kredibel, serta membawa efek jera terhadap para
koruptor. Salah satu tanda bahwa suatu bangsa memang beradab adalah apabila
dana-dana publik bisa dikelola demi kesejahteraan masyarakatnya. Hal itu
sebenarnya merupakan cita-cita para pendiri bangsa.
Dalam hal ini, kekuasaan berperan sangat vital. Bila tidak,
justru komponen rakyat dengan berbagai pola gerakannya yang akan
melampiaskannya dalam berbagai ketidakpuasan. Sangat jelas dan terang bahwa
pemberantasan korupsi membutuhkan dukungan kekuasaan. Tanpanya, pemberantasan
korupsi akan berjalan di tempat. Itu semua terjadi karena begitu dekatnya
aroma korupsi dalam kekuasaan.
Kehendak Politik
Akhir-akhir ini publik gundah, masih adakah minat kekuasaan
untuk memberantas korupsi ini secara sungguh-sungguh? Perlu ditegaskan bahwa
pemerintahan yang bersih bukan sekadar citra dan pencitraan. Pemerintahan
yang bersih mengandung makna yang sangat mendalam dan mendasar. Ini
menyangkut substansi. Kita belum sampai pada proses inti "pemerintahan
yang bersih" itu sendiri.
Ketidakseriusan dalam memberantas korupsi berarti juga
mengkhianati semangat konstitusi yang di dalamnya terncantum cita-cita
masyarakat yang adil dan makmur. Cita-cita itu merupakan dasar untuk
memerangi korupsi, karena korupsi membawa bangsa ini pada kebangkrutan.
Bangsa ini harus diselamatkan karena sudah berada di ujung tanduk kehancuran
karena korupsi.
Dalam perjalanan memberantas korupsi yang sudah mendarah daging,
selalu terdapat tarik-menarik, khususnya dari aspek penegakan hukum
berhadapan dengan kekuasaan.
Hukum yang sering diintervensi dengan pola-pola barter politik
pada akhirnya tidak akan pernah bisa memberantas korupsi secara
sungguh-sungguh. Korupsi begitu dekat dengan politik. Bahkan, karena korupsi
adalah penyalahgunaan wewenang untuk keuntungan kepentingan pribadi, korupsi
paling sering dilakukan karena adanya dukungan kekuasaan politik yang
dimiliki pelaku.
Oleh karena itulah sudah seharusnya penanganan kasus-kasus
korupsi dijauhkan dari intervensi politik, agar menghasilkan keputusan hukum
yang netral dan tidak memihak. Karenanya, aparat penegak hukum tidak boleh
memiliki loyalitas dan pemihakan terhadap pihak mana pun, terutama penguasa.
Namun, mencapai kondisi ideal semacam itu bukan merupakan
pekerjaan mudah. Bahkan boleh dikatakan keidealan semacam itu hanyalah mimpi.
Karena korupsi dilakukan di aras politik, dan hukum kerap tunduk pada
penguasa politik suatu zaman, pemihakan keadilan sering kali tidak berimbang.
Intinya, mereka yang berada dan memiliki jalur atau akses
kekuasaan kerap kali mendapatkan situasi menguntungkan dari proses hukum yang
terjadi. Cara seperti itu adalah pola penegakan hukum “belah bambu”, satu
diangkat satu diinjak.
Tugas kita semua untuk mengingatkan semua pihak yang berwenang
agar tidak main-main dalam agenda pemberantasan korupsi, sebab rakyat sudah
muak. Pemerintah harus menghentikan aksi pencitraan.
Rakyat membutuhkan realisasi dari janji-janji manis
pemberantasan korupsi. Korupsi hanya bisa ditangani dengan baik apabila
terdapat komitmen kekuasaan yang dapat dibuktikan dan diukur dengan nyata. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar