HAM Masa Lalu,
Jalan Berliku ala SBY
Haris Azhar ; Koordinator
Kontras
KOMPAS,
08 Agustus 2012
Di kantor Kejaksaan Agung,
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, 25 Juli 2012, kembali membuat pernyataan
yang meminta Jaksa Agung mempelajari berkas hasil penyelidikan Komnas HAM
atas kasus 1965 dan penembakan misterius 1982-1985.
Pernyataan ini semakin
menambah daftar panjang ambiguitas sikap presiden terhadap kasus masa lalu
meski di sisi lain memperpanjang harapan keadilan di Indonesia.
Empat tahun lalu, 20 Maret
2008, saat menerima para korban pelanggaran HAM, Presiden SBY juga membuat
pernyataan serupa: bahwa pemerintahan akan mencari solusi terbaik untuk
menuntaskan pelanggaran HAM masa lalu.
Dalam kesempatan tersebut,
para perwakilan korban menyampaikan harapannya atas kasus-kasus mereka. Ibu
Sumarsih, ibunda Wawan, mahasiswa Atma Jaya korban Semanggi I, meminta agar
proses hukum hasil penyelidikan Komnas HAM diteruskan oleh Kejaksaan Agung.
Azwar Kaili, korban
Talangsari Lampung 1989, menyampaikan bahwa masih terjadi diskriminasi
terhadap para korban dan masyarakat di Dusun Talangsari. Desa mereka tidak
dibangun layaknya desa-desa tetangga.
Irta Soemirta, korban
Tanjung Priok 1984, juga menyatakan bahwa pengadilan HAM atas kasus Tanjung
Priok justru membebaskan para pelakunya.
Zig-zag
Pernyataan presiden bisa
menjadi awalan positif sejalan dengan prinsip hukum hak asasi manusia. Bahwa
negara adalah penanggung jawab pemulihan dari kejahatan kemanusiaan.
Pemulihan artinya penegakan hukum yang jujur dan adil, memperbaiki kondisi
korban, keluarga dan masyarakat yang terkena dampak kejahatan tersebut dan
memastikan bahwa kejahatan tersebut tidak berulang.
Lewat dari 2008, kemajuan
justru datang dari DPR yang merekomendasikan penyelidikan atas kasus
penghilangan aktivis 1997-1998. Dalam rekomendasinya, DPR meminta presiden
segera mengeluarkan Keppres Pembentukan Pengadilan HAM ad hoc, memperbaiki
kondisi korban dan keluarga korban, mencari mereka yang masih hilang dan
segera meratifikasi konvensi pencegahan penghilangan orang secara paksa.
Sayangnya, presiden hingga kini belum menindaklanjutinya.
Presiden justru meminta
Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan mencari format
penyelesaian kasus pelanggaran HAM masa lalu. Djoko Suyanto sebagai Menko Polhukam
diminta memfasilitasi upaya perumusan penyelesaian.
Patut dipertanyakan apa
motif di balik permintaan tersebut? Karena Menko Polhukam tidak memiliki
mandat yudisial untuk menangani kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu,
dibandingkan Jaksa Agung yang secara jelas tugasnya diatur dalam UU
Pengadilan HAM.
Hasil lain yang masih
belum kelihatan adalah penunjukan Denny Indrayana sebagai Wakil Menteri Hukum
dan HAM pada 2011. Menurut Denny, salah satu tugasnya adalah mencari rumusan
terbaik dalam penuntasan kasus masa lalu. Tugas serupa disampaikan ke Albert
Hasibuan, saat diangkat jadi anggota Dewan Pertimbangan Presiden, 2011.
Wajar jika kemudian
Ombudsman Republik Indonesia (ORI) pada 2012 membuat kesimpulan bahwa ada
mala-administrasi oleh Presiden SBY, dengan tidak meneruskan rekomendasi
kasus penculikan dan penghilangan orang secara paksa 1997-1998.
Kesempatan Terakhir?
Dalam konsep hak asasi
manusia, pengakuan negara merupakan salah satu pilar penting dalam kewajiban
menangani peristiwa pelanggaran HAM. Namun, hal ini tidak cukup. Negara harus
menindaklanjutinya dengan perumusan aturan hukum yang menyatakan bahwa
peristiwa-peristiwa itu adalah kejahatan. Kejahatan tersebut kemudian diuji
lewat proses hukum ataupun nonhukum dengan memenuhi prinsip-prinsip
akuntabilitas sehingga hasil kerja dan rekomendasinya memiliki integritas dan
implementatif.
Dengan gambaran di atas,
Presiden SBY dan pemerintahannya selama delapan tahun ini baru sampai pada
tahap pengakuan verbal belaka. Berbagai berkas pelanggaran HAM berat hanya
semakin menumpuk di kantor Kejaksaan Agung. Artinya, ada keberanian dari
Kejaksaan Agung untuk mendiamkan kasus-kasus tersebut dan secara tidak
langsung hal ini ternyata direstui oleh Presiden.
Sisa pemerintahan SBY
tinggal dua tahun lagi menuju 2014. Masih ada sedikit kesempatan buat SBY
untuk mengukir namanya agar bisa mendekati Vaclav Havel dan Nelson Mandela,
yang berhasil membawa bangsanya keluar dari beban masa lalu.
Yang perlu dilakukan SBY
adalah meminta Jaksa Agung segera membentuk tim penyidik atas berbagai berkas
pelanggaran HAM. Permintaan ini bukan intervensi, melainkan sebuah tanggung
jawab pimpinan terhadap Jaksa Agung untuk bekerja sesuai aturan
perundang-undangan.
Kerja Jaksa Agung akan
semakin mematangkan hasil-hasil penyelidikan oleh Komnas HAM, di antaranya
mencari pelaku-pelaku yang masih hidup dan diduga mengetahui kejahatan yang
terjadi. Presiden SBY juga harus memastikan agar institusi seperti TNI,
Polri, dan lembaga intelijen mendukung secara penuh upaya hukum ini.
Identitas Indonesia hari
ini dan hari depan diukur dari seberapa besar keberanian pemimpinnya
menghadapi para penjahat. Jangan sampai para penjahatlah yang justru menjadi
pemimpin bangsa kita pada masa depan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar