Rabu, 08 Agustus 2012

China sebagai Ancaman?


China sebagai Ancaman?
Makmur Keliat ; Pengajar Ilmu Hubungan Internasional FISIP UI
KOMPAS, 08 Agustus 2012


China terus tumbuh semakin besar. Laporan lembaga Goldman Sachs (2007) menyebutkan pertumbuhan ekonomi negara ini telah melampaui seluruh catatan yang pernah ada.
Dengan tingkat pertumbuhan rata-rata 9,6 persen setahun, sejak 1978 hingga 2004, China telah membukukan suatu standar baru yang tak pernah ada sebelumnya dalam sejarah pembangunan ekonomi dunia. Laporan itu juga menyebutkan, PDB China pada 2035 akan 17 kali lipat lebih besar ketimbang 2004. Saat itu terjadi, China diperkirakan menjadi kekuatan ekonomi terbesar di dunia, melampaui Amerika Serikat.
Seiring dengan itu, International Institute of Informatics and Systemics (IIIS) baru-baru ini mengeluarkan laporan Military Balance 2012. Laporan dari lembaga yang berkedudukan di London ini, antara lain, menyebutkan telah terjadi peningkatan pesat dalam anggaran dan kekuatan pertahanan China. Pengeluaran resmi China untuk anggaran pertahanannya pada 2011 disebutkan meningkat 2,5 kali lipat dibandingkan 2001. Walaupun secara teknologi industri pertahanannya disebutkan masih tertinggal jauh dari AS, laporan IIIS itu menggarisbawahi pentingnya memahami pergeseran prioritas strategis China. Jika sebelumnya diarahkan pada garis batas wilayah negeri itu, kini fokusnya telah meluas mencakup Asia Timur.
Kekuatan finansial China juga meningkat luar biasa. China kini diperkirakan memiliki cadangan devisa terbesar di dunia. Pada 2009, total cadangan devisa negara ini dilaporkan lebih dari 2 triliun dollar AS. Bandingkan, misalnya, dengan cadangan devisa Indonesia yang tercatat sekitar 112 miliar dollar AS.
Sejalan dengan pertumbuhan kekuatan finansialnya yang semakin besar itu, China telah mendapatkan porsi suara lebih besar di IMF. Dengan adanya kesepakatan untuk memperkuat kapasitas keuangannya, IMF pada awal tahun ini menyatakan, tidak lama lagi China segera memiliki voting power ketiga terbesar di IMF setelah AS dan Jepang. Ini berarti menggeser posisi Inggris dan Jerman.
Ancaman
Lompatan-lompatan besar China ini tentu dapat menimbulkan kegamangan dan kecemasan. Salah satu ungkapan dari sikap seperti itu tampak di kalangan ASEAN, terutama dari negara-negara anggotanya yang punya sengketa teritorial dengan China di Laut China Selatan.
Hal ini terlihat jelas dari kegagalan pertemuan Menteri Luar Negeri ASEAN di Phnom Penh baru-baru ini untuk mengeluarkan pernyataan bersama (Kompas, 18 Juli 2012). Peristiwa yang baru pertama kali terjadi di ASEAN itu disebabkan ketidaksepakatan di antara negara anggota ASEAN menyikapi insiden yang terjadi antara Filipina dan China di sekitar Kepulauan Spratly.
Sikap beberapa negara ASEAN yang sangat mencemaskan China adalah suatu sikap yang dapat dipahami. Dengan jumlah penduduk sekitar 1,3 miliar, setiap gerak langkah yang dilakukan negeri raksasa itu memang dapat menakutkan. Namun terlalu berlebihan untuk memandang China sebagai destabilizing power terhadap stabilitas regional dan internasional. Ada beberapa argumen untuk mengapa China tidak perlu terlalu dicemaskan.
Pertama, kemajuan dan perubahan impresif China terjadi dalam sistem internasional yang sedang berjalan saat ini. Karena itu, tidak ada dorongan strategis bagi China untuk melabilkan sistem internasional yang ada.
Justru prioritas utama China adalah bagaimana mengawetkan sistem yang sedang berjalan itu sehingga seluruh perubahan spektakuler yang dialaminya dapat terus dilanjutkan. Itu pula sebabnya sejak proyek besar modernisasi China diluncurkan pada 1978, negara itu telah menunjukkan komitmen kebijakan yang kuat untuk terlibat dalam berbagai kerangka kelembagaan, baik di tataran regional maupun internasional.
Kedua, komponen militer China yang makin besar lebih merupakan konsekuensi logis dari wataknya sebagai salah satu pemain ”negara normal” di tataran internasional. Tidaklah realistis mengharapkan peningkatan kekuatan ekonomi yang makin besar dari suatu negara tidak membawa implikasi terhadap peningkatan kekuatan militernya.
Karena itu, pertumbuhan komponen militer dari kekuatan China adalah sesuatu yang ”normal”. Pertumbuhan itu turunan dari membesarnya kekuatan ekonomi negeri tersebut dan tidak perlu terlalu dirisaukan.
Bias
Ketiga, kecemasan terhadap China dalam kadar tertentu tidak sepenuhnya bebas dari bias. Kecemasan itu merefleksikan sentimen wacana akademik tertentu di tingkat internasional. Berbagai skenario tentang potensi ancaman China di masa depan sedikit banyak karena ketidaknyamanan sekelompok kalangan akademik tertentu terhadap watak institusi politik China yang dipandang tidak ”demokratik”.
Ini juga yang menjelaskan mengapa India yang ”demokratik”, misalnya, lebih dianggap sebagai aktor negara yang lebih bisa diprediksi ketimbang China. Sikap ”diskriminatif” wacana akademik ini pada tataran kebijakan juga terlihat. Ini juga yang menjelaskan mengapa walau AS punya kekuatan laut sangat kuat dengan mobilitas luar biasa di dua samudra, beberapa kalangan hampir tak mempersepsikannya sebagai ancaman. Namun ketika China hendak memiliki kapal induk, sorotan internasional menjadi sangat besar.
Keempat, konflik teritorial di Laut China Selatan tak dapat jadi ukuran bahwa China berperilaku sebagai destabilizing power. Konflik teritorial adalah konflik yang bersentuhan dengan wibawa kedaulatan dan tidak bisa mengindikasikan apakah suatu negara memiliki iktikad untuk menjadi kekuatan yang merusak sistem.
Banyak contoh untuk melihat hal ini. Misalnya ketidakmauan Indonesia untuk segera menyelesaikan konflik teritorialnya dengan Malaysia, tidak serta-merta dapat dianggap sebagai iktikad bahwa Indonesia berkeinginan untuk merusak stabilitas regional. Dengan analog seperti ini, tak realistis untuk mengharapkan China melepaskan klaim kedaulatannya di Laut China Selatan.
Karena itu pula, menempatkan China berhadapan dengan ASEAN dalam penyelesaian konflik teritorial di Laut China Selatan bukanlah pilihan kebijakan yang tepat. ASEAN adalah organisasi regional, bukan entitas negara yang memiliki komponen kedaulatan teritorial. Karena itu, ASEAN tak memiliki hak hukum untuk berhadapan dengan China dalam penyelesaian konflik teritorial. Terlebih lagi ASEAN belum memiliki kredibilitas untuk penyelesaian konflik teritorial.
Pilihan yang lebih tepat barangkali adalah meyakinkan China bahwa identitas kewilayahan negara itu jadi bagian dari identitas kewilayahan Asia Tenggara. Demikian juga sebaliknya. ASEAN juga harus dapat menerima pandangan bahwa identitas kewilayahan Asia Tenggara bagian dari identitas kewilayahan China. Ini berarti stabilitas China merupakan bagian integral dari stabilitas Asia Tenggara, begitu pula sebaliknya.
Tentu pilihan seperti ini mensyaratkan adanya kesediaan ASEAN untuk menerima pandangan bahwa China bukan merupakan extra-regional power di Asia Tenggara. Jalan untuk menciptakan identitas kewilayahan baru ini tentu sangat panjang. Namun, berbagai ”julukan” yang telah dikenakan bagi ASEAN, seperti kesabaran, setahap demi setahap dan konsensus, adalah modal diplomasi yang baik untuk mewujudkan pilihan ini. ●
  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar