Krisis Pangan
dan Janji Pembauan Agraria Presiden
Sidik Suhada ; Ketua Dewan Pimpinan
Nasional REPDEM
Bidang
Penggalangan Tani dan Aktivis Konsorsium Pembaruan Agraria
SINAR
HARAPAN, 10 Agustus 2012
Sebagai negara agraris, Indonesia
tidak hanya dikarunia alam yang subur, tetapi juga tenaga kerja pertanian yang
melimpah. Namun, soal pangan, Indonesia masih tetap bergantung pada
negara-negara lain. Itu karena Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)
mengingkari janjinya melaksanakan pembaruan agraria.
Sejak awal berkuasa, berkali-kali
Presiden SBY menebar janji akan segera melaksanakan pembaruan agraria. Namun,
berkali-kali juga janji itu tak pernah ditepati.
Terakhir presiden berjanji akan
segera menerbitkan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Reforma Agraria, namun
hingga kini janji itu juga belum ditepati. Ini menunjukkan sebenarnya presiden
tidak punya komitmen politik yang kuat untuk melaksanakan pembaruan agraria.
Akibatnya, tidak adanya komitmen
politik yang kuat dari presiden, Indonesia tidak hanya rentan terjadi konflik
agraria. Namun, Indonesia juga rentan terhadap urusan pangan. Padahal, pangan
adalah soal hidup atau mati bangsa.
Karena itulah, sejak awal, ketika
Bung Karno meletakkan batu pertama pembangunan gedung Fakultas Pertanian
Universitas Indonesia yang kini menjadi Institut Pertanian Bogor, pada 27 April
1952, sudah mengingatkan arti pentingnya pangan bagi bangsa Indonesia.
Namun, 60 tahun kemudian sejak
Bung Karno menyampaikan pidato itu, persoalan pangan di negara ini tidak
kunjung usai. Itu karena para generasi penerus yang memimpin bangsa ini abai
terhadap pertanian.
Hal itu tergambar jelas dari
berbagai kebijakan pemerintah yang tidak menempatkan masalah pangan sebagai
hidup atau matinya bangsa. Akibatnya, pemerintah lebih suka mengimpor bahan
pangan dari negara-negara lain ketimbang memberdayakan petani untuk mengolah
dan memproduksi pangan.
Impor Kedelai
Ketidakseriusan pemerintah dalam
mengolah pangan ini tampak jelas ketika Indonesia dilanda krisis kedelai.
Kedelai sebagai bahan baku tempe yang merupakan makanan khas rakyat Indonesia
ternyata tidak dapat dipenuhi pemerintah sehingga harus impor kedelai dari
negara lain.
Ketergantungan impor kedelai ini
terlihat dari data Badan Pusat Statistik (BPS). Dalam lima bulan pertama tahun
ini, Indonesia telah mengimpor 750.100 ton kedelai dengan nilai US$ 424,2 juta.
Impor terbesar datang dari Amerika Serikat, yaitu 721.100 ton dengan nilai US$
401,6 juta.
Kemudian, impor dari Malaysia
26.000 ton kedelai senilai US$ 20,8 juta dan Kanada dengan total impor kedelai
dalam lima bulan terakhir 1.525 ton dengan nilai US$ 887.000.
Sementara pada 2011, impor
kedelai terbesar Indonesia dari Amerika Serikat dengan jumlah 1.847.900 ton. Kemudian,
impor dari Malaysia 120.074 ton, Argentina 73.037 ton, Uruguay 16.825 ton, dan
Brasil 13.550 ton.
Masih menurut data BPS, pada 2011
produksi kedelai lokal hanya 851.286 ton atau 29 persen dari total kebutuhan.
Dengan begitu, Indonesia harus impor kedelai 2.087.986 ton untuk memenuhi 71
persen kebutuhan kedelai dalam negeri.
Fakta dan kenyataan ini tentu
sulit diterima akal sehat. Sebagai negara merdeka yang memiliki tanah luas dan
subur, Indonesia ternyata tidak bisa berdaulat dalam soal pangan. Karena itu,
harus ada yang dikoreksi dalam kebijakan pemerintah.
Akar Masalah
Ketidakkeseriusan pemerintah
untuk membawa bangsa Indonesia keluar dari krisis pangan inilah yang menjadi
permasalahan pokok sehingga produktivitas pertanian petani menjadi rendah.
Jadi penyebab utama rendahnya
produktivitas pertanian bukan semata-mata aspek teknis, seperti kekeringan atau
faktor cuaca burung yang selama ini sering menjadi dalih pembenar pemerintah,
melainkan murni karena tidak adanya kebijakan politik yang dapat melahirkan
kemandirian dan kedaulatan pangan secara nasional.
Menyempitnya lahan pertanian
akhibat konversi lahan atau alih fungsi lahan pertanian menjadi nonpertanian
juga menjadi salah satu faktor tersendiri yang dapat menurunnya produksi bahan
pangan pertanian.
Hal ini terjadi karena pemerintah
tidak serius dalam mengelola dan mengatur tata guna tanah. Akibatnya, meski ada
UU No 41/1999 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan,
konversi lahan secara besar-besaran tetap terjadi.
Selain itu, akibat tidak
dilaksanakannya amanat TAP MPR No IX Tahun 2001 tentang Pembaruan Agraria dan
Pengelolaan Sumber Daya Alam, ketimpangan penguasaan dan pengusahaan tanah
tetap terjadi. Banyak petani yang seharusnya bisa memproduksi pangan menjadi
tidak bisa menanam bahan pangan karena tidak ada lahan.
Berdasarkan data BPS hasil sensus
pertanian 2003 dapat diketahui, sedikitnya ada 56,5 persen dari total sekitar
44,3 juta petani di Indonesia adalah petani gurem berlahan sempit. Lebih dari itu, sedikitnya ada 28 juta Rumah Tangga Petani (RTP)
yang ada di Indonesia tidak memiliki lahan sama sekali. Sementara mereka yang memiliki tanah rata-rata pemilikan lahannya hanya
0,36 hektare (Bonie Setiawan:2009).
Ketimpangan kepemilikan tanah ini
juga sangat tampak dari data resmi yang dilekuarkan Badan Pertanahan Nasional (BPN) yang menyatakan
hanya ada 0,2 persen dari penduduk di negara ini yang menguasai 56 persen aset
nasional, sekitar 87 persen konsentrasi
aset bentuk tanah. Selain itu, BPN juga menyebutkan sedikitnya ada 7,3 juta
hektare tanah yang sebagian besar berbentuk HGU dibiarkan telantar.
Padahal, apabila tanah seluas 7,3
juta hektare yang dikuasai perkebunan besar dan telantar itu didistribusikan
pada petani, niscaya Indonesia tidak hanya dapat keluar dari krisis pangan,
tetapi juga dapat swasembada pangan.
Karenanya, pelaksanaan pembaruan
agraria menjadi sangat penting bukan hanya untuk mengatasi krisis pangan, namun
juga untuk membangun kemandirian bangsa dan kedaulatan pangan nasional.
Melaksanakan pembaruan agraria
berarti merombak total sistem struktur kepemilikan dan penguasaan tanah yang
melahirkan ketimpangan dengan sistem yang baru dan tidak melahirkan
ketimpangan. Sistem tersebut, yakni struktur kepemilikan dan penguasaan tanah
yang berlandaskan Pancasila.
Karena itu, rekonstruksi
penguasaan dan pemilikan lahan sangat penting. Setelah dilakukan rekonstruksi
penguasaan tanah yang berlandaskan Pancasila, agar pembaruan agraria dapat
berjalan dan mencapai tujuan, pemerintah juga harus membuat kebijakan program
pendukung pembaruan agraria.
Program pendukung ini adalah
input usaha tani, semisal penyediaan bibit berkualitas, penyediaan pupuk ramah
lingkungan, pemberian modal dari pemerintah kepada petani penerima tanah
program pembaruan agraria.
Selain itu, pemerintah juga harus
menyediakan sarana produksi, infrastruktur pertanian, dan berbagai bimbingan
teknis pada petani penerima program pembaruan agraria. Inilah yang disebut land
reform dan program pendukungnya atau acsess reform.
Hanya dengan jalan melaksanakan
pembaruan agraria sebagaimana amanat TAP MPR No IX/2001 dan Undang-Undang Pokok
Agraria (UUPA) No 5 Tahun 1960, kedaulatan pangan Indonesia dapat dicapai. Ini
karena, diakui atau tidak, kebutuhan pangan nasional itu hanya dapat ditopang
dari hasil produksi pertanian petani.
Karena itu, jika bangsa Indonesia
ingin keluar dari krisis pangan dan dapat ingin memiliki kedaulatan dalam hal
pangan, tidak ada cara lain selain pemerintah harus melaksanakan apa yang
disebut dengan pembaruan agraria. Ini karena hanya dengan jalan pembaruan
agraria akses petani terhadap tanah dan sarana produksi pertanian petani dapat
dimiliki.
Tanpa memudahkan akses tanah
kepada petani untuk memproduksi pangan, dapat dipastikan bangsa Indonesia yang
besar ini hanya tinggal menunggu waktu kapan kehilangan jati dirinya dan
akhirnya mati.
Karena itulah, tidak ada pilihan
lain jika masih ingin tetap melihat Indonesia ada di masa-masa yang akan
datang. Kedaulatan di bidang pangan dari hasil pertanian petani kita harus
segera diwujudkan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar