Imsak dalam
Kesadaran Berbangsa
Wahyu Iryana ; Pengajar UIN Sunan Gunung Djati Bandung,
Pengurus ICMI Orwil Jabar
REPUBLIKA,
10 Agustus 2012
Pada
bulan Ramadhan ini, sebelum azan Subuh bia sanya kita mengenal istilah imsak.
Sebagian besar orang Indonesia masih ber anggapan bahwa waktu imsak adalah 10
menit menjelang azan Subuh yang ditandai dengan bunyi sirene di beberapa radio
atau televisi. Sebenarnya, ini kurang tepat. Imsak artinya menahan diri dari
hal-hal yang membatalkan puasa (makan, minum, hubungan intim, dan hal lain yang
membatalkan) dari waktu Subuh hingga waktu Maghrib.
Jadi,
ketika kita bangun untuk makan sahur, namun sangat dekat dengan waktu azan
Subuh dan dari radio atau televisi terdengar sirene atau lagu, tidak perlu
khawatir. Kita masih punya waktu 10 menit untuk makan sahur. Merujuk pada
firman Allah dalam surah al-Baqarah ayat 187 bahwasanya puasa dimulai dari
terbit fajar, yaitu berbarengan dengan masuknya waktu Subuh dan berakhir saat
terbenam matahari, yaitu berbarengan dengan masuknya waktu Maghrib. Saat azan
Subuh berkumandang, berarti pada waktu itu juga kita harus menghentikan makan,
minum, dan segala sesuatu yang bisa membatalkan puasa.
Ramadhan
sebagai kawah candradimuka umat Islam untuk melatih diri bersikap sabar, mampu
menahan diri dari perbuatan tercela, dan sadar sosial. Konsep puasa dalam Islam
sangat ideal untuk dipahami bukan hanya dalam balutan simbol belaka, melainkan
juga hendaknya ada implikasi yang positif bagi karakter individu dan kesadaran
berbangsa.
Momentum
Ramadhan patut kiranya untuk mengkritisi dan menata ulang kedirian negara kita
dalam menanggulangi kasus korupsi yang semakin akut. Mental para pemimpin kita
harus selalu diberi sirene agar `imsak' terhadap perbuatan tercela yang
merugikan negara dan mengorup uang rakyat.
Di
sisi lain, Islam yang didaulat oleh umatnya sebagai agama rahmatan lil alamin
memang memiliki doktrin yang bersifat sentrifugal dan sentripetal. Dalam bahasa
sederhana, Islam yang dihayati dengan kesungguhan dapat menciptakan kekuatan
moral dalam diri serta mampu mengubah kondisi bangsa dan negara ke arah lebih
baik. Negeri kita, Indonesia, membutuhkan aktus bermoral yang selalu
diejawantahkan seorang pemimpin.
Inilah
mengapa kemudian rakyat tidak percaya lagi kepada para pemimpin di negeri ini
karena moralitas para pemimpinnya telah mengalami pergeseran paradigmatis,
bukan untuk mengabdi kepada rakyat, melainkan mengabdi pada berhala kekuasaan.
Jangan heran kalau ke depan negeri ini harus absen pemimpin yang memiliki
komitmen kuat untuk memajukan negara dan bangsa.
Relevansinya
justru terletak ketika sejarah pengalaman keberagamaan sekarang jauh panggang
dari api dengan nilainilai universal dan pesan substansial yang diajarkan sang
Nabi dan para sahabatnya. Imsak tidak lagi diartikan sebagai sirene dan warning
untuk menghentikan perbuatan-perbuatan yang negatif dan perbuatan tercela
lainnya, seperti melakukan korupsi uang negara yang sejatinya milik rakyat
Indonesia.
Tentu
saja khitah keislaman yang diemban Nabi Muhammad SAW menanamkan keinsafan
tentang fitrah kemanusiaan untuk berserah diri secara total hanya kepada Sang
Khalik (transendensi) dan terlibat aktif membangun bumi manusia yang santun
berkeadaban. Hikayat kelahiran agama selalu dimulai ketika masyarakat sudah
jatuh dalam kutub ekstrem penghambaan terhadap kekuasaan otoriter, pendewaan
terhadap uang, dan kuasa lain yang bersifat duniawi.
Islam
sebagai agama rahmatan lil alamin sewajarnya selalu memberi sirene pada pagi
menjelang manusia beraktivitas sebagai tanda untuk melakuan aktivitas kebaikan
dan memberikan `imsak' permanen terhadap perbuatan-perbuatan yang rentan
merugikan manusia dan Tuhannya. Sesungguhnya, imsak dalam sahur menjelang Subuh
adalah memorandum bagi umat untuk melakukan kritik sekaligus menawarkan hidup
yang berjangkar pada haluan moralitas agar kehidupan menemukan marwahnya di
dunia dan akhirat.
Perisai Diri
Meminjam
istilah Emha Ainun Nadjib bahwa agama kini sedang digadanggadang untuk
memperbaiki masa depan umat manusia, khususnya di Indonesia.
Mau tidak mau ini harus dipikul bersama agar rasa berat tidak dirasa oleh salah satu dari kita karena sesungguhnya manusia itu sendiri yang menjadi objek dari problem di negara ini. Di dalam kenyataan sejarah, ketika alam pikiran dan alam perilaku manusia telah sedemikian jauh mengalami pemiskinan dari apa yang secara potensial sebenarnya bisa digali dari agama. Namun, yang harus diingat agama bukan ritus-ritus dan simbol-simbol untuk membidani lahirnya superhero pembebas untuk mengentaskan problem yang ada di negeri ini (Emha Ainun Najib, 1995: 115-121).
Mau tidak mau ini harus dipikul bersama agar rasa berat tidak dirasa oleh salah satu dari kita karena sesungguhnya manusia itu sendiri yang menjadi objek dari problem di negara ini. Di dalam kenyataan sejarah, ketika alam pikiran dan alam perilaku manusia telah sedemikian jauh mengalami pemiskinan dari apa yang secara potensial sebenarnya bisa digali dari agama. Namun, yang harus diingat agama bukan ritus-ritus dan simbol-simbol untuk membidani lahirnya superhero pembebas untuk mengentaskan problem yang ada di negeri ini (Emha Ainun Najib, 1995: 115-121).
Rutinitas puasa kita pada
bulan Ramadhan bukan hanya memacu kita berlomba dalam kebaikan untuk
mendapatkan pundi-pundi pahala dari Sang Pencipta. Dalam puasa juga diharapkan
ada tantangan yang bersifat universal dan mengkritisi watak kedirian kita yang
memuja keduniawian. Negara ini hendaknya segara melakukan `imsak' menyeluruh di segala bidang. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar