Sabtu, 11 Agustus 2012

Imsak dalam Kesadaran Berbangsa


Imsak dalam Kesadaran Berbangsa
Wahyu Iryana ; Pengajar UIN Sunan Gunung Djati Bandung,
Pengurus ICMI Orwil Jabar
REPUBLIKA, 10 Agustus 2012


Pada bulan Ramadhan ini, sebelum azan Subuh bia sanya kita mengenal istilah imsak. Sebagian besar orang Indonesia masih ber anggapan bahwa waktu imsak adalah 10 menit menjelang azan Subuh yang ditandai dengan bunyi sirene di beberapa radio atau televisi. Sebenarnya, ini kurang tepat. Imsak artinya menahan diri dari hal-hal yang membatalkan puasa (makan, minum, hubungan intim, dan hal lain yang membatalkan) dari waktu Subuh hingga waktu Maghrib.

Jadi, ketika kita bangun untuk makan sahur, namun sangat dekat dengan waktu azan Subuh dan dari radio atau televisi terdengar sirene atau lagu, tidak perlu khawatir. Kita masih punya waktu 10 menit untuk makan sahur. Merujuk pada firman Allah dalam surah al-Baqarah ayat 187 bahwasanya puasa dimulai dari terbit fajar, yaitu berbarengan dengan masuknya waktu Subuh dan berakhir saat terbenam matahari, yaitu berbarengan dengan masuknya waktu Maghrib. Saat azan Subuh berkumandang, berarti pada waktu itu juga kita harus menghentikan makan, minum, dan segala sesuatu yang bisa membatalkan puasa.

Ramadhan sebagai kawah candradimuka umat Islam untuk melatih diri bersikap sabar, mampu menahan diri dari perbuatan tercela, dan sadar sosial. Konsep puasa dalam Islam sangat ideal untuk dipahami bukan hanya dalam balutan simbol belaka, melainkan juga hendaknya ada implikasi yang positif bagi karakter individu dan kesadaran berbangsa.

Momentum Ramadhan patut kiranya untuk mengkritisi dan menata ulang kedirian negara kita dalam menanggulangi kasus korupsi yang semakin akut. Mental para pemimpin kita harus selalu diberi sirene agar `imsak' terhadap perbuatan tercela yang merugikan negara dan mengorup uang rakyat.

Di sisi lain, Islam yang didaulat oleh umatnya sebagai agama rahmatan lil alamin memang memiliki doktrin yang bersifat sentrifugal dan sentripetal. Dalam bahasa sederhana, Islam yang dihayati dengan kesungguhan dapat menciptakan kekuatan moral dalam diri serta mampu mengubah kondisi bangsa dan negara ke arah lebih baik. Negeri kita, Indonesia, membutuhkan aktus bermoral yang selalu diejawantahkan seorang pemimpin.

Inilah mengapa kemudian rakyat tidak percaya lagi kepada para pemimpin di negeri ini karena moralitas para pemimpinnya telah mengalami pergeseran paradigmatis, bukan untuk mengabdi kepada rakyat, melainkan mengabdi pada berhala kekuasaan. Jangan heran kalau ke depan negeri ini harus absen pemimpin yang memiliki komitmen kuat untuk memajukan negara dan bangsa.

Relevansinya justru terletak ketika sejarah pengalaman keberagamaan sekarang jauh panggang dari api dengan nilainilai universal dan pesan substansial yang diajarkan sang Nabi dan para sahabatnya. Imsak tidak lagi diartikan sebagai sirene dan warning untuk menghentikan perbuatan-perbuatan yang negatif dan perbuatan tercela lainnya, seperti melakukan korupsi uang negara yang sejatinya milik rakyat Indonesia.

Tentu saja khitah keislaman yang diemban Nabi Muhammad SAW menanamkan keinsafan tentang fitrah kemanusiaan untuk berserah diri secara total hanya kepada Sang Khalik (transendensi) dan terlibat aktif membangun bumi manusia yang santun berkeadaban. Hikayat kelahiran agama selalu dimulai ketika masyarakat sudah jatuh dalam kutub ekstrem penghambaan terhadap kekuasaan otoriter, pendewaan terhadap uang, dan kuasa lain yang bersifat duniawi.

Islam sebagai agama rahmatan lil alamin sewajarnya selalu memberi sirene pada pagi menjelang manusia beraktivitas sebagai tanda untuk melakuan aktivitas kebaikan dan memberikan `imsak' permanen terhadap perbuatan-perbuatan yang rentan merugikan manusia dan Tuhannya. Sesungguhnya, imsak dalam sahur menjelang Subuh adalah memorandum bagi umat untuk melakukan kritik sekaligus menawarkan hidup yang berjangkar pada haluan moralitas agar kehidupan menemukan marwahnya di dunia dan akhirat.

Perisai Diri

Meminjam istilah Emha Ainun Nadjib bahwa agama kini sedang digadanggadang untuk memperbaiki masa depan umat manusia, khususnya di Indonesia.
Mau tidak mau ini harus dipikul bersama agar rasa berat tidak dirasa oleh salah satu dari kita karena sesungguhnya manusia itu sendiri yang menjadi objek dari problem di negara ini. Di dalam kenyataan sejarah, ketika alam pikiran dan alam perilaku manusia telah sedemikian jauh mengalami pemiskinan dari apa yang secara potensial sebenarnya bisa digali dari agama. Namun, yang harus diingat agama bukan ritus-ritus dan simbol-simbol untuk membidani lahirnya superhero pembebas untuk mengentaskan problem yang ada di negeri ini (Emha Ainun Najib, 1995: 115-121).

Rutinitas puasa kita pada bulan Ramadhan bukan hanya memacu kita berlomba dalam kebaikan untuk mendapatkan pundi-pundi pahala dari Sang Pencipta. Dalam puasa juga diharapkan ada tantangan yang bersifat universal dan mengkritisi watak kedirian kita yang memuja keduniawian. Negara ini hendaknya segara melakukan `imsak' menyeluruh di segala bidang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar