Sabtu, 11 Agustus 2012

Arah Baru Pengelolaan Sumber Daya Mineral


Arah Baru Pengelolaan Sumber Daya Mineral
Bawono Kumoro ; Peneliti pada The Habibie Center
SINAR HARAPAN, 09 Agustus 2012

Akhir-akhir ini terasa ada semangat baru dalam pengelolaan sumber daya mineral di Indonesia. Salah satu wujud dari semangat baru itu adalah masalah divestasi saham perusahaan tambang berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2012.
Melalui peraturan itu, pemerintah mewajibkan perusahaan tambang asing dalam jangka waktu 10 tahun mengurangi porsi kepemilikan saham secara bertahap hingga porsi saham yang dimiliki mitra nasionalnya dapat mencapai 51 persen.

Peraturan tersebut jelas sebuah kabar gembira bagi bangsa Indonesia, karena menunjukkan keberpihakan pemerintah dalam masalah pengelolaan sumber daya mineral.
Memang, beberapa waktu belakangan ini pemerintah memberi perhatian khusus terhadap masalah pengelolaan sumber daya mineral.

Selain mengeluarkan kebijakan divestasi saham perusahaan tambang, pemerintah membentuk tim evaluasi penyesuaian kontrak karya dan perjanjian karya pertambangan. Tim tersebut dibentuk melalui Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 3 Tahun 2012 tertanggal 10 Januari 2012, dengan ketua Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa.

Agenda Besar

Masalah pengelolaan sumber daya mineral dan renegosiasi kontrak karya memang telah lama menjadi agenda besar dan strategis bangsa Indonesia.

Selama ini, berbagai perusahaan tambang asing sering kali tidak transparan soal hasil produksi mereka. Bangsa Indonesia hanya bisa gigit jari ketika mereka menikmati lonjakan laba tinggi seiring tren kenaikan harga komoditas.

Kasus eksplorasi dan eksploitasi tambang PT Freeport Indonesia di tanah Papua sering kali dijadikan contoh untuk menggambarkan realitas itu. Kontrak karya PT Freeport Indonesia pertama kali ditandatangani pada 1967, di tambang Ertsberg, seluas 10 kilometer (km) persegi.

Pada 1989, pemerintah Indonesia kembali mengeluarkan izin eksplorasi tambahan untuk 61.000 hektare (ha). Lalu, pada 1991 penandatanganan kontrak karya baru dilakukan untuk masa 30 tahun berikut dua kali perpanjangan 10 tahun. Ini berarti kontrak karya PT Freeport Indonesia baru akan habis pada 2041.

Namun, PT Freeport Indonesia sejauh ini hanya memberikan royalti 1 persen untuk emas dan 1,5–3,5 persen untuk tembaga bagi pemerintah Indonesia. Padahal, dalam aturan royalti pertambangan pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 45 Tahun 2003 tentang Tarif Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), disebutkan royalti emas ditetapkan 3,75 persen dari harga jual kali tonase.

Selain PT Freeport Indonesia, satu perusahaan tembaga asing lain yang juga bercokol di Indonesia adalah PT Newmont Nusa Tenggara, yang menandatangani kontrak karya dengan pemerintah Indonesia pada 1986, untuk izin eksplorasi dan eksploitasi tambang di Sumbawa Barat, Nusa Tenggara Barat (NTB).

Dalam beberapa tahun terakhir ini, pemerintah Indonesia terlibat perseteruan berkepanjangan dengan PT Newmont Nusa Tenggara terkait pembelian 7 persen saham sisa divestasi PT Newmont Nusa Tenggara.

Pembelian 7 persen saham sisa divestasi itu memiliki nilai strategis tersendiri. Mengelola perusahaan melalui kepemilikan saham merupakan langkah strategis jika negara ingin menguasai dan memanfaatkan kekayaan alam yang mereka miliki secara optimal sesuai konstitusi.

Perjalanan pemerintah pusat membeli 7 persen saham sisa divestasi PT Newmont Nusa Tenggara memang menghadapi berbagai hambatan.

Pada Maret 2008, pemerintah menggugat PT Newmont Nusa Tenggara ke arbitrase internasional karena gagal melaksanakan divestasi saham sesuai tahapan. Setahun kemudian, arbitrase internasional memenangkan gugatan pemerintah itu. PT Newmont Nusa Tenggara diwajibkan menyelesaikan divestasi sesuai kontrak karya.

Lepas dari adangan itu, pemerintah pusat kemudian menghadapi tantangan baru berupa sikap ngotot Pemerintah Daerah (Pemda) NTB untuk membeli 7 persen saham sisa divestasi PT Newmont Nusa Tenggara demi melengkapi kepemilikan saham terdahulu bersama PT Multi Daerah Bersaing. Sebelumnya, Pemda NTB melalui PT Multi Daerah Bersaing telah memiliki 24 persen saham PT Newmont Nusa Tenggara.

Dalih untuk mencapai kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat daerah digunakan sebagai dasar legitimasi sikap ngotot tersebut. Namun, benarkah demikian?

Perlu diketahui, PT Multi Daerah Bersaing merupakan perusahaan patungan antara PT Multicapital—anak usaha PT Bumi Resources Tbk kelompok Bakrie—dan badan usaha milik pemda PT Daerah Maju Bersaing.

Mayoritas saham PT Multi Daerah Bersaing sendiri dikuasai PT Multicapital, yang mencapai angka 75 persen. Sementara itu, PT Daerah Maju Bersaing hanya memiliki 25 persen saham PT Multi Daerah Bersaing.

Oleh karena itu, jelas terlihat bahwa penguasaan saham PT Newmont Nusa Tenggara oleh Pemda NTB melalui PT Multi Daerah Bersaing sesungguhnya tidak dapat dikatakan mewakili pemda, melainkan hanya memperkaya PT Multicapital.

Fakta mengenaskan lain, sebesar 24 persen saham PT Newmont Nusa Tenggara yang selama ini dimiliki Pemda NTB melalui PT Multi Daerah Bersaing secara diam-diam digadaikan kepada Credit Suisse Singapura guna mendapatkan utang.

Dihadang di DPR

Keteguhan sikap pemerintah pusat untuk membeli 7 persen saham sisa divestasi PT Newmont Nusa Tenggara mendapatkan perlawanan dari DPR, terutama komisi bidang keuangan dan komisi bidang energi DPR yang banyak dihuni para kader Partai Golkar.
Wajar kemudian muncul kecurigaan bahwa ada kepentingan politik dan bisnis di balik kisruh pembelian 7 persen saham sisa divestasi PT Newmont Nusa Tenggara. Partai Golkar terlihat sangat berhasrat memuluskan ambisi PT Multicapital dalam menguasai saham PT Newmont Nusa Tenggara. Pemda NTB seakan hanya dijadikan alat politik untuk memenuhi kepentingan bisnis kelompok Bakrie.

Ilustrasi di atas kiranya dapat memberi gambaran kepada kita semua bahwa renegosiasi kontrak karya bukan perkara mudah untuk dilakukan. Dibutuhkan keberanian pemerintah karena harus berhadap-hadapan dengan perusahaan-perusahaan tambang asing sekelas PT Freeport Indonesia dan PT Newmont Nusa Tenggara.

Beruntung, kabar terakhir menyebutkan pemerintah dan PT Freeport Indonesia telah menyepakati sejumlah hal dalam forum renegosiasi kontrak pertambangan.

Sebagaimana diungkapkan Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa, sejumlah hal yang telah disepakati itu antara lain penaikan jumlah royalti, pembangunan smelter, divestasi saham, meningkatkan komponen lokal, dan melakukan penawaran saham perdana di pasar bursa Indonesia.

Ini merupakan sebuah pencapaian yang cukup baik dari tim evaluasi penyesuaian kontrak karya dan perjanjian karya pertambangan. Meskipun demikian, masih terlalu pagi untuk mengatakan kesepakatan antara pemerintah dan PT Freeport Indonesia itu sebagai keberhasilan besar dalam renegosiasi kontrak karya.

Oleh karena itu, ke depan Presiden SBY mutlak harus terus memberikan dukungan moral dan politik kepada tim evaluasi penyesuaian kontrak karya dan perjanjian karya pertambangan.

Ini penting agar niat memperbaiki pengelolaan pertambangan mineral dan batu bara di Indonesia tidak takluk pada kekuatan kelompok-kelompok bisnis, baik asing maupun dalam negeri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar