Arah Baru
Pengelolaan Sumber Daya Mineral
Bawono Kumoro ; Peneliti pada The
Habibie Center
SINAR
HARAPAN, 09 Agustus 2012
Akhir-akhir ini terasa ada
semangat baru dalam pengelolaan sumber daya mineral di Indonesia. Salah satu
wujud dari semangat baru itu adalah masalah divestasi saham perusahaan tambang
berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2012.
Melalui peraturan itu, pemerintah
mewajibkan perusahaan tambang asing dalam jangka waktu 10 tahun mengurangi
porsi kepemilikan saham secara bertahap hingga porsi saham yang dimiliki mitra
nasionalnya dapat mencapai 51 persen.
Peraturan tersebut jelas sebuah
kabar gembira bagi bangsa Indonesia, karena menunjukkan keberpihakan pemerintah
dalam masalah pengelolaan sumber daya mineral.
Memang, beberapa waktu belakangan
ini pemerintah memberi perhatian khusus terhadap masalah pengelolaan sumber
daya mineral.
Selain mengeluarkan kebijakan
divestasi saham perusahaan tambang, pemerintah membentuk tim evaluasi
penyesuaian kontrak karya dan perjanjian karya pertambangan. Tim tersebut
dibentuk melalui Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 3 Tahun 2012 tertanggal 10
Januari 2012, dengan ketua Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa.
Agenda Besar
Masalah pengelolaan sumber daya
mineral dan renegosiasi kontrak karya memang telah lama menjadi agenda besar
dan strategis bangsa Indonesia.
Selama ini, berbagai perusahaan
tambang asing sering kali tidak transparan soal hasil produksi mereka. Bangsa
Indonesia hanya bisa gigit jari ketika mereka menikmati lonjakan laba tinggi
seiring tren kenaikan harga komoditas.
Kasus eksplorasi dan eksploitasi
tambang PT Freeport Indonesia di tanah Papua sering kali dijadikan contoh untuk
menggambarkan realitas itu. Kontrak karya PT Freeport Indonesia pertama kali
ditandatangani pada 1967, di tambang Ertsberg, seluas 10 kilometer (km)
persegi.
Pada 1989, pemerintah Indonesia
kembali mengeluarkan izin eksplorasi tambahan untuk 61.000 hektare (ha). Lalu,
pada 1991 penandatanganan kontrak karya baru dilakukan untuk masa 30 tahun
berikut dua kali perpanjangan 10 tahun. Ini berarti kontrak karya PT Freeport
Indonesia baru akan habis pada 2041.
Namun, PT Freeport Indonesia
sejauh ini hanya memberikan royalti 1 persen untuk emas dan 1,5–3,5 persen
untuk tembaga bagi pemerintah Indonesia. Padahal, dalam aturan royalti
pertambangan pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 45 Tahun 2003 tentang Tarif
Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), disebutkan royalti emas ditetapkan 3,75
persen dari harga jual kali tonase.
Selain PT Freeport Indonesia,
satu perusahaan tembaga asing lain yang juga bercokol di Indonesia adalah PT
Newmont Nusa Tenggara, yang menandatangani kontrak karya dengan pemerintah
Indonesia pada 1986, untuk izin eksplorasi dan eksploitasi tambang di Sumbawa
Barat, Nusa Tenggara Barat (NTB).
Dalam beberapa tahun terakhir
ini, pemerintah Indonesia terlibat perseteruan berkepanjangan dengan PT Newmont
Nusa Tenggara terkait pembelian 7 persen saham sisa divestasi PT Newmont Nusa
Tenggara.
Pembelian 7 persen saham sisa
divestasi itu memiliki nilai strategis tersendiri. Mengelola perusahaan melalui
kepemilikan saham merupakan langkah strategis jika negara ingin menguasai dan
memanfaatkan kekayaan alam yang mereka miliki secara optimal sesuai konstitusi.
Perjalanan pemerintah pusat
membeli 7 persen saham sisa divestasi PT Newmont Nusa Tenggara memang
menghadapi berbagai hambatan.
Pada Maret 2008, pemerintah
menggugat PT Newmont Nusa Tenggara ke arbitrase internasional karena gagal
melaksanakan divestasi saham sesuai tahapan. Setahun kemudian, arbitrase
internasional memenangkan gugatan pemerintah itu. PT Newmont Nusa Tenggara
diwajibkan menyelesaikan divestasi sesuai kontrak karya.
Lepas dari adangan itu,
pemerintah pusat kemudian menghadapi tantangan baru berupa sikap ngotot
Pemerintah Daerah (Pemda) NTB untuk membeli 7 persen saham sisa divestasi PT
Newmont Nusa Tenggara demi melengkapi kepemilikan saham terdahulu bersama PT
Multi Daerah Bersaing. Sebelumnya, Pemda NTB melalui PT Multi Daerah Bersaing
telah memiliki 24 persen saham PT Newmont Nusa Tenggara.
Dalih untuk mencapai kemakmuran
dan kesejahteraan masyarakat daerah digunakan sebagai dasar legitimasi sikap
ngotot tersebut. Namun, benarkah demikian?
Perlu diketahui, PT Multi Daerah
Bersaing merupakan perusahaan patungan antara PT Multicapital—anak usaha PT
Bumi Resources Tbk kelompok Bakrie—dan badan usaha milik pemda PT Daerah Maju
Bersaing.
Mayoritas saham PT Multi Daerah
Bersaing sendiri dikuasai PT Multicapital, yang mencapai angka 75 persen.
Sementara itu, PT Daerah Maju Bersaing hanya memiliki 25 persen saham PT Multi
Daerah Bersaing.
Oleh karena itu, jelas terlihat
bahwa penguasaan saham PT Newmont Nusa Tenggara oleh Pemda NTB melalui PT Multi
Daerah Bersaing sesungguhnya tidak dapat dikatakan mewakili pemda, melainkan
hanya memperkaya PT Multicapital.
Fakta mengenaskan lain, sebesar
24 persen saham PT Newmont Nusa Tenggara yang selama ini dimiliki Pemda NTB
melalui PT Multi Daerah Bersaing secara diam-diam digadaikan kepada Credit Suisse
Singapura guna mendapatkan utang.
Dihadang di DPR
Keteguhan sikap pemerintah pusat
untuk membeli 7 persen saham sisa divestasi PT Newmont Nusa Tenggara
mendapatkan perlawanan dari DPR, terutama komisi bidang keuangan dan komisi
bidang energi DPR yang banyak dihuni para kader Partai Golkar.
Wajar kemudian muncul kecurigaan
bahwa ada kepentingan politik dan bisnis di balik kisruh pembelian 7 persen
saham sisa divestasi PT Newmont Nusa Tenggara. Partai Golkar terlihat sangat
berhasrat memuluskan ambisi PT Multicapital dalam menguasai saham PT Newmont
Nusa Tenggara. Pemda NTB seakan hanya dijadikan alat politik untuk memenuhi
kepentingan bisnis kelompok Bakrie.
Ilustrasi di atas kiranya dapat
memberi gambaran kepada kita semua bahwa renegosiasi kontrak karya bukan
perkara mudah untuk dilakukan. Dibutuhkan keberanian pemerintah karena harus
berhadap-hadapan dengan perusahaan-perusahaan tambang asing sekelas PT Freeport
Indonesia dan PT Newmont Nusa Tenggara.
Beruntung, kabar terakhir
menyebutkan pemerintah dan PT Freeport Indonesia telah menyepakati sejumlah hal
dalam forum renegosiasi kontrak pertambangan.
Sebagaimana diungkapkan Menteri
Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa, sejumlah hal yang telah disepakati itu
antara lain penaikan jumlah royalti, pembangunan smelter, divestasi saham,
meningkatkan komponen lokal, dan melakukan penawaran saham perdana di pasar
bursa Indonesia.
Ini merupakan sebuah pencapaian
yang cukup baik dari tim evaluasi penyesuaian kontrak karya dan perjanjian
karya pertambangan. Meskipun demikian, masih terlalu pagi untuk mengatakan
kesepakatan antara pemerintah dan PT Freeport Indonesia itu sebagai
keberhasilan besar dalam renegosiasi kontrak karya.
Oleh karena itu, ke depan
Presiden SBY mutlak harus terus memberikan dukungan moral dan politik kepada
tim evaluasi penyesuaian kontrak karya dan perjanjian karya pertambangan.
Ini penting agar niat memperbaiki
pengelolaan pertambangan mineral dan batu bara di Indonesia tidak takluk pada
kekuatan kelompok-kelompok bisnis, baik asing maupun dalam negeri. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar