Senin, 13 Agustus 2012

Konversi Kawasan Puncak

Konversi Kawasan Puncak
Tommy Firman ; Guru Besar pada Sekolah Arsitektur, Perencanaan, dan Pengembangan Kebijakan, Institut Teknologi Bandung
KOMPAS,  13 Agustus 2012


Saat ini media massa hangat membahas revisi Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Bogor 2005-2025, berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Bogor Nomor 19 Tahun 2008.

Sebenarnya revisi Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) adalah suatu hal yang biasa dan wajar terjadi sesuai dinamika perkembangan sosial-ekonomi masyarakat. Namun, revisi RTRW Kabupaten Bogor dipandang ”kontroversial” karena ada kemungkinan terhapusnya status hutan lindung di kawasan Puncak berubah menjadi hutan produksi atau bahkan perkebunan, kawasan permukiman dan rekreasi. Bila itu terjadi, maka kualitas lingkungan akan terancam yang dampaknya adalah meningkatnya bahaya longsor dan banjir ke kawasan di sekitarnya, termasuk ibu kota negara DKI Jakarta.

Kawasan fungsi lindung yang dideliniasi di kabupaten tersebut meliputi hutan konservasi seluas lebih dari 45.000 hektar atau lebih dari 14 persen dari luas kabupaten, dan hutan lindung seluas hampir 3 persen dari luas kabupaten atau lebih dari 8.700 hektar (Kompas, 24 Juli 2012). Kawasan hutan sangat terpusat di Kecamatan Cisarua dan Megamendung.

Penetapan status fungsi lindung mengacu pada Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2008 tentang Penataan Ruang bagi Kawasan Jabodetabekjur dan Perda Provinsi Jawa Barat No 22/2010 mengenai RTRW Provinsi Jawa Barat 2009-2029.

Saat ini pada kawasan yang dideliniasi sebagai area dengan fungsi lindung tersebut telah digunakan secara tidak terkendali untuk berbagai kegiatan sehingga implementasi deliniasi tersebut adalah sesuatu yang muskil.

Tata Kelola Kawasan

Dalam perspektif yang lebih luas masalah ini tidaklah semata-mata menyebabkan banjir dan kerusakan lingkungan seperti ditengarai pada saat ini, namun lebih mendasar lagi, yaitu terkait masalah kelembagaan serta tata kelola pembangunan di wilayah metropolitan Jakarta-Bogor-Depok-Tangerang-Bekasi-Cianjur (Jabodetabekjur), seperti juga kita jumpai pada kota-kota besar lainnya di Indonesia. Sebutlah Surabaya (Gerbangkertasusila) dan Bandung (Bandung Raya), dengan berbagai masalah perkotaan yang sangat kompleks termasuk sistem persampahan, transportasi, ataupun tata air bersih dan air limbah.

Untuk Jabodetabekjur misalnya, kita paham ada tiga provinsi terkait meliputi DKI Jakarta, Banten, dan Jawa Barat, serta delapan pemerintah kota/kabupaten, terdiri dari Kabupaten Bogor, Bekasi, dan Tangerang, Kota Bogor, Depok, Bekasi, Tangerang, dan Tangerang Selatan, di mana satu dengan lainnya berinteraksi dengan sangat intensif terutama dengan kota inti Jakarta sebagai pusat metropolitan.

Alhasil, masalah pembangunan di Jabodetabekjur tidak dapat dipecahkan oleh masing-masing provinsi atau kota/kabupaten secara sendiri-sendiri karena dampak dan kesalingbergantungannya sangat luas sehingga diperlukan suatu kerja sama yang bermaslahat kepada semua pihak. Jabodetabekjur telah menjadi suatu compact urban region yang harus dikelola sebagai kesatuan, tidak sepotong-sepotong.

Pemahaman ini bukanlah sesuatu yang baru, namun yang memprihatinkan adalah kita tidak pernah menyelesaikannya dengan tuntas bagaimana bentuk serta tata kelola kerja sama antarpemerintah daerah ini di wilayah tersebut. Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 50/2007 tentang prosedur implementasi kerja sama antarpemerintah kota/kabupaten memang mengatur kerja sama tersebut, namun sangat normatif dan formalistik.

Kenyataannya, di lapangan banyak terjadi kerja sama dalam lingkup yang terbatas tetapi berhasil dan sukses diimplementasikan dengan inisiatif kota/kabupaten secara bersama dan bersifat lokal serta spontan tanpa mengacu pada PP tersebut.

Selanjutnya UU No 29/2007 tentang status DKI Jakarta sebagai ibu kota negara juga menandaskan bahwa Pemerintah DKI dapat melaksanakan kerja sama antardaerah bila diperlukan walau belum tampak realisasinya. Sesungguhnya hal ini juga harus merupakan agenda gubernur DKI.

Era Otonomi

Dalam era desentralisasi dan otonomi daerah, pemerintah kota/kabupaten memiliki kewenangan (diskresi) yang lebih luas dalam mengarahkan pembangunan serta pengelolaan kota/daerahnya. Ini suatu keniscayaan, namun kita juga tidak bisa menutup mata bahwa banyak sekali penggunaan kewenangan yang tidak tepat dan tidak proporsional, yang akhirnya berdampak buruk, termasuk misalnya penyusunan rancangan perda penarikan retribusi yang membingungkan.

Pada kasus Kabupaten Bogor ini bisa dilihat bahwa pemerintah daerah hendak mengalihfungsikan hutan lindung/konservasi demi target meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD). Tidak peduli bahwa kebijakan ini dari perspektif perencanaan wilayah (regional development) bisa berdampak eksternalitas negatif, termasuk Jakarta dan Bogor.

Secara logika, bupati dan pimpinan daerah akan bertanya apakah untuk ”melindungi” kota dan kabupaten lain di wilayah Jabodetabekjur, Kabupaten Bogor harus selalu ”berkorban”? Mungkinkah mereka memanfaatkan sebagian hutan dan kawasannya yang dianggap potensial untuk meningkatkan pendapatan daerah meski itu merupakan kawasan lindung bagi kota Jakarta dan Bogor?

Logika itu salah dan tidak boleh menjadi pembenaran tindakan mengonversi hutan lindung. Di sinilah pentingnya mekanisme ”kompensasi” yang harus diterima oleh Kabupaten Bogor dari Jakarta, Bogor, dan kota/kabupaten lain yang menjadi penikmat keberadaan hutan dan kawasan lindung di Kabupaten Bogor, khususnya di kawasan Puncak dan Cisarua.

Mekanisme kompensasi perlu dibahas, dirancang, dan diimplementasikan secara transparan oleh pemerintah kota/kabupaten terkait. Sesungguhnya hal ini tidak saja untuk penataan ruang kawasan lindung, tetapi juga untuk berbagai infrastruktur lain, termasuk persampahan dan pembuangan air limbah.

Terkait dengan kelembagaan pembangunan antardaerah di Jabodetabekjur, sesungguhnya saat ini telah ada lembaga Badan Kerjasama Pembangunan (BKSP) Jabodetabek (jur) yang didirikan sejak pertengahan 1970-an, namun sayangnya badan ini belum cukup efektif menjalankan fungsinya karena berbagai kendala.

Sebenarnya lembaga ini telah mendapat pengakuan dari seluruh pemerintah provinsi dan kabupaten/kota di Jabodetabekjur sehingga yang diperlukan adalah revitalisasi kelembagaan dalam fungsi, wewenang, pendanaan, dan pengadaan staf untuk meningkatkan kinerja tanpa mengurangi kewenangan pemerintah kota/kabupaten dan provinsi yang telah diatur dalam perundang-undangan yang berlaku seiring derap otonomi daerah dan desentralisasi saat ini.

Keterlibatan dan peran yang lebih luas dari pemerintah pusat juga sangat diperlukan dalam pengembangan BKSP karena besarnya sumber daya yang diperlukan dalam pembangunan wilayah Jabodetabekjur.

Memang seyogianya tidak perlu membentuk lembaga baru untuk kebutuhan ini, yang belum tentu keberadaannya disetujui dan didukung oleh para pemangku kepentingan, khususnya pemerintah provinsi dan kota/kabupaten terkait.

1 komentar:

  1. Thanks a lot. I thought it was a really good article. Right now Tommy Firman is a name I'd research more for Jakarta-area land use issues.
    Sterling

    BalasHapus