Jangan Berobat
ke Luar Negeri
Wimpie Pangkahila ; Dokter Spesialis,
Guru Besar Fakultas
Kedokteran Universitas Udayana
KOMPAS,
13 Agustus 2012
Presiden SBY baru- baru ini menyatakan ketidaksenangannya
terhadap warga bangsa yang sering berobat ke luar negeri.
Meski memicu banyak gugatan, pernyataan ini
sebenarnya bisa menjadi momentum introspektif terhadap kualitas pelayanan
kesehatan di Indonesia.
Kenyataannya memang tidak hanya warga biasa
yang berobat ke luar negeri. Banyak pejabat pusat dan daerah beserta
keluarganya juga melakukannya. Maka, imbauan menjadi wajar, apalagi jika
disertai teladan untuk berobat di negeri sendiri.
Ada beberapa alasan mengapa orang Indonesia
senang berobat ke luar negeri. Pertama, tidak dapat dilakukan di Indonesia.
Kedua, pelayanan kesehatan di luar negeri dianggap lebih profesional. Ketiga,
gengsi.
Alasan pertama tentu kita sangat mengerti.
Memang ada pelayanan kesehatan tertentu yang saat ini belum diterapkan di
Indonesia, tetapi barangkali ini pelayanan yang sangat spesifik. Soal gengsi
berobat di luar negeri, juga sangat personal urusannya.
Akan tetapi, kalau alasannya karena pelayanan
kesehatan di Indonesia dianggap tidak profesional, apalagi biaya lebih mahal,
tentu ini menjadi tanggung jawab sekaligus tantangan bagi pemerintah dan kita
semua.
Secara umum, kesan masyarakat luas terhadap
pelayanan kesehatan, terutama milik pemerintah, tidak memuaskan. Mutu pelayanan
kesehatan bergantung pada dua faktor. Pertama, sistem dan peraturan. Kedua,
sumber daya manusia.
Pembiaran
Pemerintah menjadi kunci dengan membuat
peraturan yang komprehensif dan berlaku universal. Salah satu yang harus segera
diperbaiki adalah sikap pemerintah terhadap iklan yang menawarkan berbagai
pelayanan kesehatan yang tidak ilmiah dan tidak profesional. Misalnya, iklan
klinik yang menjanjikan ”kanker sembuh dalam sekian bulan hanya dengan obat
herbal”.
Ada juga iklan herbal ”HIV/ AIDS sembuh dalam
3 bulan” dan herbal ”untuk gangguan seks pria”. Ketika obat herbal untuk
disfungsi seksual itu saya teliti, ternyata ada kandungan bahan kimia obat yang
memang efektif mengobati itu.
Namun, sampai saat ini obat herbal itu masih
beredar, demikian pula dengan bahan baku herbal dari luar negeri yang sudah
dicampur bahan kimia obat. Padahal, ada peraturan pemerintah yang menyebutkan
bahwa jamu atau obat herbal tidak boleh dicampur dengan bahan kimia obat.
Pencampuran bisa berdampak negatif, dari menurunkan efektivitas obat sampai
memperburuk kesehatan.
Demikian pula halnya dengan iklan. Jamu tidak
boleh diiklankan sebagai obat karena fungsinya lebih ke suplemen kesehatan.
Kenyataannya, banyak iklan yang membodohi dan merugikan masyarakat tetap
beredar dan dibiarkan saja, seolah kita tidak punya peraturan.
Tidak semua yang berbau luar negeri baik.
Tidak sedikit produk luar negeri dipasarkan di Indonesia karena di negara
asalnya tidak laku. Saat manusia Indonesia menjadi korban bisnis liar, di mana
pemerintah?
Moralitas Tinggi
Mengenai sumber daya manusia, khususnya
dokter dan paramedis, tentu tidak terlepas dari lembaga pendidikan. Bagaimana
pemerintah memfasilitasi fakultas kedokteran agar selalu meningkatkan
kualitasnya.
Namun, apa yang terjadi sekarang? Ada
fakultas kedokteran yang sebenarnya tidak layak disebut berkualitas, tetapi
ternyata terakreditasi. Mengapa ini terjadi? Tiba-tiba saya teringat kata-kata
almarhum Adam Malik, ”Semua bisa diatur.” Dapat dibayangkan bagaimana kualitas
dokter yang dihasilkan.
Di sisi lain, tentu saja dokter dan paramedis
dituntut punya moralitas tinggi dalam menjalankan profesinya. Apakah moralitas
tenaga medik Indonesia lebih buruk dibandingkan sejawat mereka di luar negeri,
saya tidak yakin.
Walaupun dokter dan paramedis kita adalah
bagian dari bangsa yang sedang sakit ini, saya yakin masih sangat banyak dokter
dan paramedis kita yang tetap memiliki integritas dalam melayani kesehatan
masyarakat.
Selanjutnya, bagaimana meningkatkan kualitas
teknis dokter dan paramedis dengan selalu mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi kedokteran terkini ataupun kemampuan komunikasinya. Tanpa upaya
ini, mereka hanya akan menjadi tukang.
Keluhan pasien yang beralih berobat ke luar
negeri umumnya memang masalah
komunikasi. Komunikasi sebagai inti pekerjaan
dokter—kepandaian nomor dua—justru belum banyak dipraktikkan. Padahal, 60
persen pasien sebenarnya hanya mengalami kelainan fungsional dan hanya 40
persen yang benar-benar sakit. Itu pun 20 persen bisa sembuh sendiri.
Berkaitan dengan biaya, percaya atau tidak,
ternyata ada biaya pelayanan kesehatan tertentu di Malaysia yang lebih murah
daripada di Jakarta. Ini sudah termasuk biaya transpor dan hotel selama di
sana. Saya tidak mengerti, mengapa ini terjadi. Tidak mengherankan apabila
sebagian masyarakat memilih berobat ke Malaysia saja.
Saya yakin, kalau sistem pelayanan kesehatan
kita diatur secara tegas, komprehensif, dan universal, kita akan mampu bersaing
atau menyamai pelayanan kesehatan di luar negeri.
Secara paralel, perbaikan pelayanan kesehatan
di dalam negeri harus dibarengi dengan teladan para pemimpin untuk memanfaatkan
pelayanan kesehatan yang tersedia di negeri sendiri. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar