Kekeringan AS
dan Ancaman Krisis Pangan
Khudori ; Anggota Pokja Ahli Dewan
Ketahanan Pangan Pusat,
Pegiat
Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI), Penulis Buku Ironi Negeri Beras
SINDO,
13 Agustus 2012
Dunia kembali dihantui krisis pangan. Kecemasan itu muncul seiring
dengan kekeringan akut yang menimpa Amerika Serikat (AS), produsen pangan
terbesar dunia. Suhu udara melampaui 40 derajat Celsius di wilayah Midwest,
sentra produksi pangan utama AS.
Laporan pemerintah federal menunjukkan kekeringan sudah 64%, lebih
rendah dari kekeringan hebat pada 1988.Kekeringan ini merupakan yang terbesar
dalam dua dekade terakhir. Seluruh sentra produksi pangan dan pertanian di
Midwest terancam gagal panen. Departemen Pertanian AS (USDA) memperkirakan
produksi pangan dan pakan seperti gandum, jagung, kedelai menurun.
Produksi jagung dan kedelai diprediksi masing-masing turun 12% dan 8%.Dalam dua bulan terakhir, harga jagung di pasar komoditas naik 50%,sedangkan harga kedelai naik 30% sejak pertengahan Juni lalu. Kenaikan harga jagung membuat produk turunan dari jagung seperti pakan ternak akan naik harganya. Demikian pula kenaikan harga kedelai membuat produk turunan tahu-tempe naik. Ancaman kegagalan produksi pangan juga terjadi di Eropa Timur.
Kawasan ini diterpa gelombang cuaca kering. Ini mengancam produksi gandum di negara-negara eksportir utama seperti Rusia dan Kazakhstan. Perkiraan defisit pangan kian besar setelah petani Argentina mengurangi luas lahan yang ditanami jagung sebesar 20%. Argentina adalah eksportir jagung terbesar kedua setelah AS. Mungkin karena ini Goldman Sachs memperkirakan produksi gandum 2012/2013 bakal berada di bawah perkiraan USDA (665 juta ton).
Produksi gandum bahkan bisa mencapai titik terendah sejak 2007/ 2008. Resonansi krisis pangan makin kuat setelah Organisasi Pangan Dunia (FAO), 9 Agustus lalu, menurunkan perkiraan produksi beras global: dari 488,2 juta ton menjadi 483,1 juta ton. Penurunan produksi beras dipicu kekeringan di Indonesia, produsen beras terbesar kedua di dunia. Penurunan ini membuat jumlah beras yang diperdagangkan di pasar dunia juga menurun.
Apalagi, tahun ini diperkirakan ekspor beras dari Thailand bakal menurun 35%.Eksportir beras terbesar dunia itu baru saja mengalami gagal panen. Apakah krisis pangan 2007–2008 berulang? Cukupkah alasan tak khawatir krisis pangan? Satu dekade terakhir, tekanan sisi suplai pangan kian berat karena lingkungan rusak, kesuburan tanah menurun, terjadinya krisis air, erosi genetik, konversi lahan, dan meluasnya praktik monokultur.
Perubahan iklim dan tarikan pangan untuk bahan bakar (biofuel) membuat suplai pangan kian tertekan. Ini semua memberi sinyal bahwa produksi pangan menjadi suram. Padahal, jumlah perut yang musti diisi terus bertambah. Tahun ini jumlah penduduk dunia lebih 7 miliar, membengkak jadi 8 miliar pada 2025. Ekonom Inggris John Maynard Keynes (1883– 1946) mengingatkan, keputusan melakukan investasi tidak pernah didasarkan pada situasi saat ini, tetapi didasari ekspektasi masa depan.
Krisis pangan 2007–2008 mengubah cara pandang orang pada pangan: pangan sulit diproduksi sehingga harganya bakal melambung karena pangan kebutuhan yang tak tergantikan. Krisis pangan 2007–2008 cukup memberi pelajaran penting apakah krisis serupa bakal terulang atau tidak. Dari kejadian 2007–2008, untuk terjadi krisis pangan setidaknya ada empat kondisi yang musti dipenuhi.
Pertama, penurunan produksi pangan diikuti yang diikuti ekspektasi penurunan suplai. Kedua, negara-negara eksportir pangan menutup ekspor. Ketiga, terjadi krisis energi yang diikuti konversi besar-besaran pangan, terutama yang mengandung minyak- lemak, untuk biofuel. Keempat, terjadi spekulasi masif di pasar komoditas. Pertanyannya, apakah keempat kondisi itu sudah terpenuhi? Penurunan produksi pangan di berbagai negara produsen dan eksportir sudah banyak dilaporkan.
Demikian pula penurunan suplai sejumlah komoditas pangan bijibijian. Yang perlu dipahami, gandum dan komoditas bijibijian seperti jagung, kedelai, beras bersifat saling menggantikan (substitusi).Kenaikan harga gandum akibat tekanan suplai akan mengerek harga komoditas biji-bijian. Demikian pula sebaiknya. Jagung dan barley merupakan komponen utama pakan ternak. Kenaikan harga jagung dan barley akan menaikkan harga daging sapi, daging ayam, dan susu. Jadi, krisis jagung atau gandum memiliki ramifikasi dan dampak ikutan (contagion effect) yang panjang.
Saat ini belum ada tandatanda negara eksportir menutup ekspor. Namun, bukan mustahil Presiden Barack Obama akan membuat kebijakan baru di bidang pangan untuk mengamankan suplai domestik apabila dampak kekeringan amat memukul sektor pangan dan pertanian AS. Thailand dan Vietnam, dua eksportir beras terpenting, bukan mustahil akan menutup ekspor apabila produksi domestik terancam.
Ancaman krisis pangan dari krisis energi dan spekulasi di pasar komoditas juga belum sepenuhnya hilang. Meskipun harga BBM terus menurun, tiap saat krisis energi bisa meledak jika geopolitik di negara-negara produsen berubah. Apalagi spekulasi di pasar komoditas masih belum diatur rigid. Bagi Indonesia, krisis pangan memiliki dampak yang tidak kecil.Sampai saat ini,neraca ekspor-impor pangan Indonesia masih negatif. Bahkan, dari tahun ke tahun nilai defisit tersebut terus membesar.
Produksi pangan utama (beras, jagung, kedelai, dan tebu) belum stabil: kadang naik, kadang turun. Sampai saat ini Indonesia juga belum bisa keluar dari ketergantungan impor akut sejumlah komoditas pangan penting: susu (90% dari kebutuhan), gula (30%), garam (50%), gandum (100%), kedelai (70%), daging sapi (30%),induk ayam, dan telur. Ketika harga naik, impor pangan akan menguras devisa.
Pada saat yang sama, impor membuat kita kian tergantung pada pangan dari luar negeri. Kunci keberhasilan melawan krisis pangan adalah keragaman pangan. Sukun, sagu, dan ubi kayu yang relatif lebih tahan pada musim basah yang berkepanjangan perlu digalakkan. Potensi umbi-umbian Indonesia amat besar. Sumber daya yang beragam ini jadi modal penting karena lebih pejal terhadap anomali iklim dan cuaca.
Ini menunjukkan Indonesia memiliki potensi yang besar untuk memberi pangan dunia. Amat sayang dan ironis apabila potensi yang luar biasa itu tidak dimanfaatkan. Sebaliknya, justru kita menggantungkan pada pangan impor yang sebetulnya bisa diproduksi di tanah sendiri. ●
Produksi jagung dan kedelai diprediksi masing-masing turun 12% dan 8%.Dalam dua bulan terakhir, harga jagung di pasar komoditas naik 50%,sedangkan harga kedelai naik 30% sejak pertengahan Juni lalu. Kenaikan harga jagung membuat produk turunan dari jagung seperti pakan ternak akan naik harganya. Demikian pula kenaikan harga kedelai membuat produk turunan tahu-tempe naik. Ancaman kegagalan produksi pangan juga terjadi di Eropa Timur.
Kawasan ini diterpa gelombang cuaca kering. Ini mengancam produksi gandum di negara-negara eksportir utama seperti Rusia dan Kazakhstan. Perkiraan defisit pangan kian besar setelah petani Argentina mengurangi luas lahan yang ditanami jagung sebesar 20%. Argentina adalah eksportir jagung terbesar kedua setelah AS. Mungkin karena ini Goldman Sachs memperkirakan produksi gandum 2012/2013 bakal berada di bawah perkiraan USDA (665 juta ton).
Produksi gandum bahkan bisa mencapai titik terendah sejak 2007/ 2008. Resonansi krisis pangan makin kuat setelah Organisasi Pangan Dunia (FAO), 9 Agustus lalu, menurunkan perkiraan produksi beras global: dari 488,2 juta ton menjadi 483,1 juta ton. Penurunan produksi beras dipicu kekeringan di Indonesia, produsen beras terbesar kedua di dunia. Penurunan ini membuat jumlah beras yang diperdagangkan di pasar dunia juga menurun.
Apalagi, tahun ini diperkirakan ekspor beras dari Thailand bakal menurun 35%.Eksportir beras terbesar dunia itu baru saja mengalami gagal panen. Apakah krisis pangan 2007–2008 berulang? Cukupkah alasan tak khawatir krisis pangan? Satu dekade terakhir, tekanan sisi suplai pangan kian berat karena lingkungan rusak, kesuburan tanah menurun, terjadinya krisis air, erosi genetik, konversi lahan, dan meluasnya praktik monokultur.
Perubahan iklim dan tarikan pangan untuk bahan bakar (biofuel) membuat suplai pangan kian tertekan. Ini semua memberi sinyal bahwa produksi pangan menjadi suram. Padahal, jumlah perut yang musti diisi terus bertambah. Tahun ini jumlah penduduk dunia lebih 7 miliar, membengkak jadi 8 miliar pada 2025. Ekonom Inggris John Maynard Keynes (1883– 1946) mengingatkan, keputusan melakukan investasi tidak pernah didasarkan pada situasi saat ini, tetapi didasari ekspektasi masa depan.
Krisis pangan 2007–2008 mengubah cara pandang orang pada pangan: pangan sulit diproduksi sehingga harganya bakal melambung karena pangan kebutuhan yang tak tergantikan. Krisis pangan 2007–2008 cukup memberi pelajaran penting apakah krisis serupa bakal terulang atau tidak. Dari kejadian 2007–2008, untuk terjadi krisis pangan setidaknya ada empat kondisi yang musti dipenuhi.
Pertama, penurunan produksi pangan diikuti yang diikuti ekspektasi penurunan suplai. Kedua, negara-negara eksportir pangan menutup ekspor. Ketiga, terjadi krisis energi yang diikuti konversi besar-besaran pangan, terutama yang mengandung minyak- lemak, untuk biofuel. Keempat, terjadi spekulasi masif di pasar komoditas. Pertanyannya, apakah keempat kondisi itu sudah terpenuhi? Penurunan produksi pangan di berbagai negara produsen dan eksportir sudah banyak dilaporkan.
Demikian pula penurunan suplai sejumlah komoditas pangan bijibijian. Yang perlu dipahami, gandum dan komoditas bijibijian seperti jagung, kedelai, beras bersifat saling menggantikan (substitusi).Kenaikan harga gandum akibat tekanan suplai akan mengerek harga komoditas biji-bijian. Demikian pula sebaiknya. Jagung dan barley merupakan komponen utama pakan ternak. Kenaikan harga jagung dan barley akan menaikkan harga daging sapi, daging ayam, dan susu. Jadi, krisis jagung atau gandum memiliki ramifikasi dan dampak ikutan (contagion effect) yang panjang.
Saat ini belum ada tandatanda negara eksportir menutup ekspor. Namun, bukan mustahil Presiden Barack Obama akan membuat kebijakan baru di bidang pangan untuk mengamankan suplai domestik apabila dampak kekeringan amat memukul sektor pangan dan pertanian AS. Thailand dan Vietnam, dua eksportir beras terpenting, bukan mustahil akan menutup ekspor apabila produksi domestik terancam.
Ancaman krisis pangan dari krisis energi dan spekulasi di pasar komoditas juga belum sepenuhnya hilang. Meskipun harga BBM terus menurun, tiap saat krisis energi bisa meledak jika geopolitik di negara-negara produsen berubah. Apalagi spekulasi di pasar komoditas masih belum diatur rigid. Bagi Indonesia, krisis pangan memiliki dampak yang tidak kecil.Sampai saat ini,neraca ekspor-impor pangan Indonesia masih negatif. Bahkan, dari tahun ke tahun nilai defisit tersebut terus membesar.
Produksi pangan utama (beras, jagung, kedelai, dan tebu) belum stabil: kadang naik, kadang turun. Sampai saat ini Indonesia juga belum bisa keluar dari ketergantungan impor akut sejumlah komoditas pangan penting: susu (90% dari kebutuhan), gula (30%), garam (50%), gandum (100%), kedelai (70%), daging sapi (30%),induk ayam, dan telur. Ketika harga naik, impor pangan akan menguras devisa.
Pada saat yang sama, impor membuat kita kian tergantung pada pangan dari luar negeri. Kunci keberhasilan melawan krisis pangan adalah keragaman pangan. Sukun, sagu, dan ubi kayu yang relatif lebih tahan pada musim basah yang berkepanjangan perlu digalakkan. Potensi umbi-umbian Indonesia amat besar. Sumber daya yang beragam ini jadi modal penting karena lebih pejal terhadap anomali iklim dan cuaca.
Ini menunjukkan Indonesia memiliki potensi yang besar untuk memberi pangan dunia. Amat sayang dan ironis apabila potensi yang luar biasa itu tidak dimanfaatkan. Sebaliknya, justru kita menggantungkan pada pangan impor yang sebetulnya bisa diproduksi di tanah sendiri. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar