Menata Ulang
Pemilihan Umum Kepala Daerah
Djohermansyah Djohan ; Direktur Jenderal
Otonomi Daerah
KORAN
TEMPO, 13 Agustus 2012
Pemilihan umum kepala daerah
(pemilukada) secara langsung sejatinya ditujukan untuk memperdalam demokrasi di
Indonesia. Namun, dari tujuh tahun pengalaman pemilukada langsung ini,
peristiwa tersebut justru menimbulkan dampak negatif dalam kehidupan
berdemokrasi. Dalam prakteknya, pemilukada langsung telah menyuburkan praktek
politik uang, dari berupa mahar bagi parpol pengusung, biaya fotokopi KTP untuk
syarat dukungan calon perseorangan, biaya penyelenggaraan pemilukada serta
biaya untuk merawat konstituen, sampai ke politisasi birokrasi.
Penangkapan oleh Komisi
Pemberantasan Korupsi atas Bupati Buol Amran Batalipu akibat dugaan suap telah
memperpanjang daftar kepala daerah yang tersangkut persoalan hukum, karena
tuntutan dana yang besar untuk memenangi pemilukada langsung di daerahnya.
Pemilukada langsung juga dengan mudah menyulut maraknya konflik horizontal di
tengah-tengah masyarakat, sehingga cenderung merusak tatanan kearifan lokal di
daerah. Bahkan, menurut Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud Md., "Pemilukada
langsung telah merusak akhlak dan moral masyarakat".
Petaka
Hasil pemilukada langsung
ternyata tidak terlalu memuaskan. Dari 753 pasangan kepala daerah/wakil kepala
daerah yang terpilih dari 2005 hingga akhir 2011, sebanyak 275 orang (18,2
persen) terjerat masalah hukum, baik sebagai saksi, tersangka, terdakwa, maupun
terpidana. Angka tersebut belum termasuk pejabat struktural dan anggota DPRD
yang harus "terseret" kasus yang sama dengan kepala daerah dan
wakilnya.
Pemilukada langsung yang
mengusung calon kepala daerah/wakil secara berpasangan ternyata juga tidak
sepenuhnya mampu menghadirkan pemimpin daerah yang kompak dan serasi dalam
mewujudkan visi dan misi yang mereka janjikan selama kampanye. Dari 753
pasangan tersebut, hanya 21 pasangan yang masih tetap maju dengan pasangan yang
sama untuk periode selanjutnya. Artinya, hanya 2,6 persen yang masih setia,
sementara 97,4 persen pasangan kepala daerah dan wakilnya "pecah
kongsi". Dampak dari pecah kongsi ini tidak hanya menyebabkan bingungnya
birokrasi, tetapi juga merupakan pendidikan politik yang buruk bagi masyarakat,
karena tidak jarang mereka mengumbar konflik di depan publik.
Banyaknya permasalahan dalam
pemilukada langsung menjadi salah satu alasan mengapa Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah harus direvisi. Diperlukan langkah tegas
untuk menyelamatkan demokrasi lokal kita, daripada hanya sekadar euforia,
menjadi lebih mengedepankan realitas.
Koreksi Kebijakan
Pemerintah telah mengusulkan
koreksi terhadap sistem pemilukada langsung, di antaranya pemilihan gubernur
kembali dilakukan oleh DPRD provinsi, sementara itu pemilihan bupati/wali kota
tetap secara langsung oleh masyarakat. Di samping itu, wakil kepala daerah
tidak lagi dipilih secara berpasangan dengan kepala daerah, untuk menghindari
fenomena "pecah kongsi" yang mengakibatkan tidak efektifnya
penyelenggaraan pemerintahan daerah. Wakil kepala daerah diusulkan oleh kepala
daerah terpilih dari pegawai negeri sipil. Beberapa perubahan mendasar lainnya
adalah mencegah politik dinasti dan politik transaksi, mendukung netralitas
birokrasi, efisiensi kampanye, pengaturan terhadap calon inkumben, dan
penyelesaian sengketa pemilukada.
Adapun kekhawatiran bahwa pemilihan
wakil kepala daerah yang terpisah dari kepala daerah akan berdampak terhadap
legitimasi sang wakil bila kepala daerahnya berhalangan tetap tidak perlu
dipersoalkan. Data dari 2005 hingga 2011 menunjukkan, dari 753 pasangan kepala
daerah/wakil terpilih, hanya terdapat 9 kepala daerah (1,19 persen) yang
berhalangan tetap dan digantikan oleh wakilnya. Lagi pula, dalam RUU Pilkada,
wakil dari pegawai negeri tersebut tidak otomatis menggantikan kepala daerah,
sebagaimana aturan yang berlaku saat ini, bila kepala daerah tersebut
berhalangan tetap, maka wakilnya ditugasi melaksanakan pemilihan kepala daerah
baru.
Secara konstitusional, perubahan
UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, yang antara lain mengatur
pemilukada langsung, telah relevan dengan ketentuan Pasal 18 ayat (4) UUD 1945,
yang menegaskan bahwa "gubernur, bupati, wali kota sebagai kepala
pemerintahan daerah dipilih secara demokratis". Jadi, pemilukada sejatinya
tidak mutlak dilakukan secara langsung, tapi dapat saja diselenggarakan secara
tidak langsung, sepanjang dilaksanakan secara demokratis. Dasar konstitusi ini
dengan bijak mempertimbangkan kondisi sosial masyarakat Indonesia yang
multikultural (1.062 etnik) dalam kehidupan berdemokrasi.
Demikian pula, dalam perbedaan
kewenangan antartingkatan pemerintahan daerah, mengingat Indonesia mengadopsi
kebijakan otonomi dua tingkat, di provinsi dan kabupaten/kota. Pasal 18 ayat
(1) UUD 1945 menjadi dasar pelaksanaan otonomi provinsi bersifat terbatas, dan
otonomi kabupaten/kota bersifat luas. Dengan kewenangan otonomi yang terbatas
itu, daerah provinsi lebih banyak menjalankan urusan pemerintah pusat (75
persen) seperti melakukan koordinasi, fasilitasi, supervisi, dan pembimbingan.
Dengan begitu, pemilihan gubernur secara langsung oleh rakyat menjadi tidak
relevan karena interaksi antara rakyat dan gubernur tidak langsung. Pemilihan
yang paling pas untuk provinsi adalah melalui DPRD (representative democracy).
Sementara itu, untuk mencegah terjadinya politik uang, pemilihan gubernur melalui
DPRD tersebut dapat diawasi oleh KPK.
Idealnya, paralel dengan
provinsi, KDH kabupaten/kota juga dipilih lewat dewan. Namun, sebagai unit yang
memberikan pelayanan kepada masyarakat, legitimasi terhadap KDH-nya harus kuat.
Karena itu, mekanisme pemilihan langsung tidak salah bila masih dipertahankan.
Dalam perspektif empiris, kita
bisa belajar dari konsep pemilihan pasangan kepala daerah-wakil kepala daerah
yang tidak berpasangan ketika masih berlakunya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974
tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah. Hubungan kepala daerah dan wakilnya
berjalan dengan harmonis, dan tidak pernah mengalami "pecah kongsi".
Dengan demikian, stabilitas pemerintahan daerah selalu terjaga, dan birokrasi
tidak terseret-seret ke dalam kancah politik praktis.
Kita juga dapat melakukan
komparasi sistem pemilihan kepala pemerintahan daerah seperti di Jerman, yang
tidak simetris di antara tingkatan pemerintahan daerahnya. Pemilihan
gubernurnya dilakukan oleh parlemen lokal, sementara wali kota tetap dipilih
secara langsung oleh masyarakat, mengingat kewenangan pemerintahan sehari-hari
dijalankan pemerintah kota.
Melihat jalannya pemilukada
langsung yang kian tidak keruan itu, agar akhlak masyarakat tidak makin rusak,
sangatlah mendesak untuk segera membenahinya. Apabila kita terlambat,
dikhawatirkan Indonesia akan meraih predikat sebagai negara dengan jumlah
kepala daerah/wakil kepala daerah dan pejabat publik lokal paling banyak
terjerat masalah hukum di dunia. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar