Kejutan Manis
Pertumbuhan Ekonomi
Cyrillus Harinowo Hadiwerdoyo ; Pengamat Ekonomi
SINDO,
13 Agustus 2012
Pekan lalu Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan perkembangan
ekonomi riil kuartal II/2012. Perekonomian Indonesia ternyata tumbuh
6,4%,sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi kuartal
sebelumnya yang 6,3%.
Data tersebut jelas merupakan kejutan manis karena sebagian besar
pengamat maupun analis memprediksi perekonomian akan tumbuh lebih rendah
dibandingkan kuartal I/2012. Dalam posisi seperti itu, bisa saja statistik BPS
“mengikuti” prediksi pengamat dengan melahirkan data penurunan pertumbuhan
ekonomi. Ternyata BPS tetap mempertahankan independensinya dengan melaporkan
angka pertumbuhan yang lebih objektif, yaitu 6,4%.
Apakah ada data yang mendukung angka pertumbuhan ekonomitu? Kebetulan saya terlibat dalam dua bisnis berbeda, yaitu industri manufaktur dalam barang konsumsi yang bergerak cepat (consumers fast moving goods), yaitu Unilever dan industri perbankan,yaitu BCA. Dari perkembangan kedua perusahaan itu yang sudah dipublikasikan kita mengetahui, pertumbuhan penjualan Unilever Indonesia meningkat lebih dari 16% dibandingkan tahun sebelumnya.
Demikian juga dengan BCA yang mengalami pertumbuhan kredit 41,5%. Saya selalu mengatakan, Unilever Indonesia adalah “miniatur” perekonomian Indonesia. Pertumbuhan penjualan sebesar itu merupakan leading indicator dari perekonomian Indonesia secara keseluruhan. Oleh karena itu sejak awal saya berkesimpulan, perekonomian Indonesia juga akan tumbuh positif.
Demikian juga pertumbuhan kredit yang tinggi dari BCA maupun industri perbankan secara keseluruhan di Indonesia, menunjukkan kegiatan ekonomi yang dibiayai perbankan tumbuh tinggi sehingga mereka memerlukan tambahan pembiayaan cukup besar. Apa yang terjadi pada kedua perusahaan di atas ternyata juga terjadi pada berbagai perusahaan publik lainnya. Laporan usaha para emiten tersebut, baik BUMN maupun swasta, pada akhirnya ikut mendorong indeks harga saham gabungan di Bursa Efek Indonesia naik signifikan.
Optimisme yang terjadi di pasar modal tersebut ternyata sangat sejalan dengan indeks tingkat kepercayaan konsumen yang dipublikasikan AC Nielsen (yang menyatakan tingkat kepercayaan konsumen di Indonesia tertinggi di Asia Pasifik) maupun yang diolah secara bersama oleh BPS dan Bank Indonesia dalam bentuk indeks tendensi bisnis yang ternyata menunjukkan kenaikan cukup signifikan.
Dengan melihat perkembangan tersebut, maka data pertumbuhan ekonomi yang dihasilkan oleh BPS merefleksikan situasi yang ada. Data yang menarik juga, yang mendukung angka pertumbuhan tersebut, adalah angka penjualan mobil yang sungguh-sungguh “mencengangkan”, termasuk mereka yang bergerak dalam industri itu sendiri.
Para industrialis mobil Indonesia sebetulnya mulai pesimistis dengan dimulainya penerapan ketentuan tentang uang muka kredit mobil baik yang dikeluarkan Bank Indonesia maupun Kementerian Keuangan. Jika prediksi Gaikindo pada akhir tahun yang lalu, yang kebetulan juga didukung prediksi konsultan automotif Frost and Sullivan menyatakan penjualan mobil di Indonesia di tahun 2012 ini akan mencapai 940.000 unit, maka dengan keluarnya ketentuan pemerintah tersebut, prediksi diturunkan menjadi sekitar 800.000 unit.
Ternyata penjualan mobil bulan Juni untuk pertama kalinya melampaui 100.000 unit. Rekor tersebut terulang kembali pada penjualan mobil bulan Juli yang mencapai lebih dari 103.000 unit.Secara keseluruhan penjualan mobil sampai Juli 2012 telah mencapai sekitar 640.000 unit dan sangat mungkin dalam tahun 2012 ini penjualan mobil akan mencapai lebih dari 1 juta unit.
Prediksi saya sendiri di media ini akhir tahun lalu menyatakan, penjualan mobil tahun 2012 akan sebesar 1,050 juta unit dan diakhiri dengan kata-kata “saya tidak akan terkejut jika angkanya lebih tinggi dari itu”. Apa yang sesungguhnya terjadi? Krisis perekonomian global memang membawa dampak kepada Indonesia. Dalam tulisan saya pekan lalu yang berkaitan dengan defisit neraca perdagangan, saya mengatakan, dampak dari krisis perekonomian global sangat dominan dalam bentuk penurunan harga komoditas.
Perkembangan ini menyebabkan nilai ekspor dari minyak sawit, karet, dan barang mineral akhirnya mengalami penurunan. Anehnya,ekspor barang industri seperti mesin listrik, mesin mekanik, kendaraan dan bagiannya serta sebagian tekstil dan pakaian jadi justru masih mengalami kenaikan. Defisit neraca perdagangan Indonesia lebih didorong kenaikan impor yang sangat tinggi, yang untuk sebagian besar berupa barang modal serta bahan baku dan barang penolong.
Kenaikan impor barang konsumsinya sendiri relatif kecil. Perkembangan inilah yang akhirnya melahirkan net export yang negatif, yaitu defisit pada neraca perdagangan yang muncul dalam komponen produk domestik bruto. Ekspor berdasarkan harga yang berlaku mencapai Rp498,5 triliun pada kuartal 2/2012, sementara impor meningkat menjadi Rp545,4 triliun sehingga terjadi defisit sebesar Rp46,9 triliun.
Apakah ada data yang mendukung angka pertumbuhan ekonomitu? Kebetulan saya terlibat dalam dua bisnis berbeda, yaitu industri manufaktur dalam barang konsumsi yang bergerak cepat (consumers fast moving goods), yaitu Unilever dan industri perbankan,yaitu BCA. Dari perkembangan kedua perusahaan itu yang sudah dipublikasikan kita mengetahui, pertumbuhan penjualan Unilever Indonesia meningkat lebih dari 16% dibandingkan tahun sebelumnya.
Demikian juga dengan BCA yang mengalami pertumbuhan kredit 41,5%. Saya selalu mengatakan, Unilever Indonesia adalah “miniatur” perekonomian Indonesia. Pertumbuhan penjualan sebesar itu merupakan leading indicator dari perekonomian Indonesia secara keseluruhan. Oleh karena itu sejak awal saya berkesimpulan, perekonomian Indonesia juga akan tumbuh positif.
Demikian juga pertumbuhan kredit yang tinggi dari BCA maupun industri perbankan secara keseluruhan di Indonesia, menunjukkan kegiatan ekonomi yang dibiayai perbankan tumbuh tinggi sehingga mereka memerlukan tambahan pembiayaan cukup besar. Apa yang terjadi pada kedua perusahaan di atas ternyata juga terjadi pada berbagai perusahaan publik lainnya. Laporan usaha para emiten tersebut, baik BUMN maupun swasta, pada akhirnya ikut mendorong indeks harga saham gabungan di Bursa Efek Indonesia naik signifikan.
Optimisme yang terjadi di pasar modal tersebut ternyata sangat sejalan dengan indeks tingkat kepercayaan konsumen yang dipublikasikan AC Nielsen (yang menyatakan tingkat kepercayaan konsumen di Indonesia tertinggi di Asia Pasifik) maupun yang diolah secara bersama oleh BPS dan Bank Indonesia dalam bentuk indeks tendensi bisnis yang ternyata menunjukkan kenaikan cukup signifikan.
Dengan melihat perkembangan tersebut, maka data pertumbuhan ekonomi yang dihasilkan oleh BPS merefleksikan situasi yang ada. Data yang menarik juga, yang mendukung angka pertumbuhan tersebut, adalah angka penjualan mobil yang sungguh-sungguh “mencengangkan”, termasuk mereka yang bergerak dalam industri itu sendiri.
Para industrialis mobil Indonesia sebetulnya mulai pesimistis dengan dimulainya penerapan ketentuan tentang uang muka kredit mobil baik yang dikeluarkan Bank Indonesia maupun Kementerian Keuangan. Jika prediksi Gaikindo pada akhir tahun yang lalu, yang kebetulan juga didukung prediksi konsultan automotif Frost and Sullivan menyatakan penjualan mobil di Indonesia di tahun 2012 ini akan mencapai 940.000 unit, maka dengan keluarnya ketentuan pemerintah tersebut, prediksi diturunkan menjadi sekitar 800.000 unit.
Ternyata penjualan mobil bulan Juni untuk pertama kalinya melampaui 100.000 unit. Rekor tersebut terulang kembali pada penjualan mobil bulan Juli yang mencapai lebih dari 103.000 unit.Secara keseluruhan penjualan mobil sampai Juli 2012 telah mencapai sekitar 640.000 unit dan sangat mungkin dalam tahun 2012 ini penjualan mobil akan mencapai lebih dari 1 juta unit.
Prediksi saya sendiri di media ini akhir tahun lalu menyatakan, penjualan mobil tahun 2012 akan sebesar 1,050 juta unit dan diakhiri dengan kata-kata “saya tidak akan terkejut jika angkanya lebih tinggi dari itu”. Apa yang sesungguhnya terjadi? Krisis perekonomian global memang membawa dampak kepada Indonesia. Dalam tulisan saya pekan lalu yang berkaitan dengan defisit neraca perdagangan, saya mengatakan, dampak dari krisis perekonomian global sangat dominan dalam bentuk penurunan harga komoditas.
Perkembangan ini menyebabkan nilai ekspor dari minyak sawit, karet, dan barang mineral akhirnya mengalami penurunan. Anehnya,ekspor barang industri seperti mesin listrik, mesin mekanik, kendaraan dan bagiannya serta sebagian tekstil dan pakaian jadi justru masih mengalami kenaikan. Defisit neraca perdagangan Indonesia lebih didorong kenaikan impor yang sangat tinggi, yang untuk sebagian besar berupa barang modal serta bahan baku dan barang penolong.
Kenaikan impor barang konsumsinya sendiri relatif kecil. Perkembangan inilah yang akhirnya melahirkan net export yang negatif, yaitu defisit pada neraca perdagangan yang muncul dalam komponen produk domestik bruto. Ekspor berdasarkan harga yang berlaku mencapai Rp498,5 triliun pada kuartal 2/2012, sementara impor meningkat menjadi Rp545,4 triliun sehingga terjadi defisit sebesar Rp46,9 triliun.
Namun, dalam harga konstan net
export tersebut masih positif karena volume ekspor masih terus mengalami
kenaikan. Ini berarti pertumbuhan ekonomi domestik, terutama konsumsi dan
investasi tumbuh tinggi sehingga akhirnya mampu mengompensasi sumbangan negatif
pada net export tersebut.
Pertumbuhan ekonomi domestik tersebut terutama sekali terjadi karena Indonesia mengalami accelerated development (pertumbuhan yang dipercepat) pada perekonomian domestik setelah terlampauinya PDB per kapita sebesar USD3.000 di tahun 2010. Dengan mampunya perekonomian domestik mengompensasi penurunan net export, seakan-akan perekonomian Indonesia tidak terimbas krisis perekonomian global.
Saya sering menyebutnya sebagai de-coupled (terlepas) dari perekonomian global. Saya menduga bahwa keadaan de-coupling tersebut masih akan terjadi selama tahun-tahun mendatang (pengalaman Korea menunjukkan terjadinya accelerated development selama 11 tahun setelah melampaui PDB per kapita USD3.000). Itulah sebabnya prediksi pertumbuhan ekonomi pemerintah sebesar 6,8% pada 2012 bukanlah angka yang dari awang-awang, tetapi memiliki dasar kuat. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar