Hukum Progresif
Negeri Gagal
Gunarto ; Guru
Besar Fakultas Hukum dan Wakil Rektor II Unissula Semarang
|
SUARA
MERDEKA, 25 Agustus 2012
Survei mengenai negara gagal yang dirilis The Found for Peace tahun 2012
menempatkan Indonesia pada peringkat ke-63 dengan kategori warning (negara yang
mendekati kegagalan). Indikator itu salah satunya menempatkan Indonesia sebagai
negara yang bermasalah dalam penundaan atau penerapan hukum yang sewenang-wenang.
Sementara Indonesian
Corruption Watch (ICW) melaporkan pada 2009 tercatat 378 perkara korupsi
dengan rincian 95 koruptor adalah pejabat negara. Tahun 2012, ada 137 perkara
korupsi, dengan rincian 38 kasus terkait APBN/ APBD, 5 kasus perbankan, 7 gratifikasi,
2 pemerasan, 47 penggelapan, 13 penyuapan, 5 pungli, dan 60 kasus terkait
dengan penyalahgunaan wewenang.
Karena itu, tahun 2010-2011 bisa disebut
tahun korupsi, dengan penyebab utama kemandekan dan kesewenang-wenangan hukum
akibat kegagalan bangsa Indonesia membenahi partai politik yang memiliki kaki
tangan di eksekutif dan legislatif.
Tentu kita masih ingat yang dikatakan
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada 13 Juni 2012 bahwa korupsi di
jajaran DPR hingga DPRD provinsi 2004-2012 menanjak hingga 75%. Kata SBY hanya
3,9% dilakukan Partai Demokrat dan sisanya dilakukan oleh partai-partai lain.
Terlepas dari kepercayaan kita terhadap
pernyataan SBY, kalau kita sinkronkan dengan indeks prestasi korupsi menurut
data survei Transparency International,
skor indeks persepsi korupsi (IPK) Indonesia adalah 3, beranjak 0,2 dari
skor tahun lalu. Artinya tahun 2011 Indonesia menempati peringkat ke-100 dari
183 negara. Skor indeks persepsi korupsi (IPK) Indonesia sama dengan Argentina,
Madagaskar, Malawi, Meksiko, Tanzania dan lain-lain. Nilai itu menunjukkan
Indonesia masih di bawah Singapura, Brunei Darussalam, Malaysia, dan Thailand.
Namun berdasarkan survei Global Competitiveness Report 2011-2012 yang dilakukan Forum
Ekonomi Dunia, peringkat Indonesia malah turun. Persoalan terpenting dalam
mendongkrak peningkatan skor IPK adalah perbaikan menyeluruh pada institusi
penegak hukum. Sebab basis pemaparan indeks negara gagal yang akhir-akhir ini
menempatkan Indonesia sebagai negara warning
to failure state (menuju negara gagal).
Kegagalan
Hukum
Menengok penegakan hukum di Indonesia; antara
hakim, jaksa, polisi, dan advokat kurang memiliki independensi tanggung jawab
yang mengedepankan substansi hukum. Pemerintah sengaja berwacana memberantas
korupsi yang kian akut di negeri ini hanya sebatas permukaan tak sampai di
kedalaman. Akibatnya penyakit hukum yang menghegemoni bangsa ini makin
melemahkan ketegasan hukum yang berimbas pada sistem korup dalam tubuh
birokrasi hukum.
Kemudian, lahirnya lembaga negara KPK dalam
rangka alternatif bagi penegakan hukum di Indonesia masih sebatas penegakan
hukum tajam untuk kelas teri. Kelas kakap yang sudah lihai memainkan birokrasi
hukum lewat penyuapan terhadap penegak hukum seperti pernah dilakukan jaksa
Urip Tri Gunawan dan jaksa Kejari Cibinong Sistoyo masih bebas berkeliaran.
Memang, keduanya jauh dari keteladanan sifat
dan sikap yang pernah ditunjukkan Jaksa Agung Baharuddin Lopa. Ini yang membuat
salah satu citra penegakan hukum di Indonesia jatuh dari harapan dan menyisakan
potret buram hukum di negara kita. Faktor sosiologis yang menyebabkan adanya
kegagalan hukum itu antara lain, pertama; ketakutan.
Mengutip Satjipto Rahardjo, begawan hukum,
takut dalam memutuskan seseorang yang bersalah dengan mempertimbangkan berbagai
risiko ancaman dan tindakan atas keadilan dan kebenaran yang diputuskan.
Dampaknya, kebesaran risiko itu bisa diinjeksi dengan sistem konvensional
berupa suap di kepolisian, kejaksaan, dan kehakiman.
Kedua; materialisme berupa kerakusan. Polisi,
jaksa, dan hakim atau pemangku hukum yang rakus tidak akan pernah terselip
nilai keadilan dalam benaknya. Keadilan hanya ada dalam dirinya sendiri bukan
pada mereka para pencari keadilan. Ikhwal ini yang berimbas pada apa yang
dilakukan oleh jaksa Urip Tri Gunawan dan sebagainya.
Ketiga; bobroknya birokrasi hukum. Bahwa
kepentingan bersama dengan tujuan yang sama untuk mendapatkan suatu keadilan
diukur oleh seberapa penting status seseorang dan kekuatan finansial. Bukan
berkaca pada seberapa besar kesalahan yang dilakukan dan seberapa besar
kerugian yang diakibatkan yang akan membuat negara ini bangkrut dan mengalami
gagal hukum.
Karena itu cita-cita supremasi hukum pada era
reformasi ini belum maksimal, bahkan bisa dikatakan gagal karena adanya indikator
hukum yang terlalu bertumpu pada peraturan dan tidak melihat mobilisasi hukum.
Mobilisasi hukum adalah bagaimana mengandalkan keberanian, melakukan
interpretasi hukum secara progresif ketimbang tunduk dan patuh pada
peraturan-peraturan hukum dalam tekanan penguasa jahat. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar