Diplomasi yang
Lupa Sejarah
Djoko Susilo ; Mantan Wartawan
Jawa Pos dan Anggota FPAN DPR
1999-2009
|
JAWA POS, 14 Agustus 2012
SETIAP
warga Swiss, khususnya anak-anak pelajar sekolah, pasti tahu persis apa makna
peringatan hari nasional pada 1 Agustus. Mereka juga tahu mengapa harus
memperingati hari nasional tersebut. Dari pelajaran di sekolah maupun dari
cerita populer mereka tahu bahwa pada 1 Agustus 1292 nenek moyang bangsa Swiss
bersumpah bersatu padu untuk melawan penjajah Austria yang mulai masuk.
Orang Swiss pasti juga tahu kisah heroik William Tell, pemimpin perlawanan rakyat yang menghindarkan Swiss dari penjajahan. Kisah Tell dengan buah apel yang dipanahnya tepat di atas kepala anaknya merupakan legenda yang dihafal hampir semua warga, meskipun sudah terjadi lebih dari tujuh ratus tahun lalu.
Bangsa Swiss, meski sangat modern dan makmur, dengan kemampuan teknologi dan finansial yang luar biasa, tidak pernah melupakan sejarah. Hampir di setiap kantor terdapat museum rakyat atau volkmuseum yang menyimpan benda-benda bersejarah tingkat lokal.
Bahkan, kadang-kadang museum itu juga memamerkan benda-benda bersejarah dari bangsa lain. Misalnya, museum rakyat Zurich tahun lalu selama enam bulan memamerkan benda-benda budaya asal Kalimantan Timur. Juga museum rakyat di Lugano dalam periode yang hampir sama memamerkan koleksi "sempuyung" dan benda-benda seni lain dari Kalimantan Tengah. Meskipun Pemprov Kaltim dan Kalteng diundang untuk menyaksikan, sampai pameran tutup tidak satu pun wakil yang dikirim.
Saya pernah menanyakan, mengapa pemerintah dan masyarakat Swiss sangat menyukai museum dan sejarah. Bahkan, bulan lalu mereka menghabiskan dana hampir Rp 200 miliar untuk merenovasi Museum Basel yang, antara lain, memamerkan koleksi tekstil dari Nusantara yang sudah berusia berabad-abad.
Jawaban para kurator dan tokoh Swiss sangat tegas: dengan mengetahui sejarah lewat museum itu, cinta tanah air dan nasionalisme makin kuat. Ini dibuktikan dengan pola konsumsi. Meski produk buah atau barang lain asal Swiss sedikit lebih mahal, konsumen tetap memilih barang made in Swiss lebih dulu.
Wawasan Sejarah Diplomasi
Dalam konteks sejarah ini pula saya pernah mendapatkan informasi dari teman-teman pejabat senior di Kemenlu bahwa pengetahuan nasional dan sejarah pelamar calon diplomat umumnya sangat buruk. Teman saya menceritakan pengalamannya mewawancarai mereka. Dari sepuluh orang yang ditanya, tak satu pun yang bisa menyebutkan dengan benar letak Kota Poso. Padahal, waktu itu krisis sektarian di wilayah itu masih hangat. Hanya ada satu yang menjawab agak benar, yakni di Sulawesi, tetapi keliru menjawab ketika ditanya Sulawesi bagian mana.
Saya juga pernah secara informal berbicara di depan sekelompok diplomat muda. Saya tanya pengetahuan mereka tentang pengusiran Duta Besar Meng Khi dari Kekaisaran Mongol Dinasti Yuan di bawah pimpinan Kaisar Khublai Khan. Tak seorang pun yang bisa menjawab dengan baik, bahwa hal itu dilakukan Raja Kertanegara. Raja Kerajaan Singasari ini tidak mau tunduk di bawah tekanan asing meskipun saat itu Kekaisaran Mongol adalah superpower dunia, yang berkuasa dari Tiongkok sampai Eropa Tengah.
Saya berharap para diplomat muda punya kebanggaan bahwa nenek moyang mereka dulu tidak takut melawan superpower dunia. Kita tidak boleh menjadi bangsa penakut, tetapi bangga dengan sikap berani yang ditunjukkan Raja Kertanegara. Namun, pendapat saya ini tidak sepenuhnya disetujui teman-teman kalangan korps diplomatik. Sebab, yang mengusir Dubes Meng Khi dari negara superpower Dinasti Yuan itu adalah raja Singasari, bukan pemerintah Republik Indonesia!
Saya menganggap ada hubungan historis antara kerajaan-kerajaan yang pernah berkuasa di tanah air dengan bangsa Indonesia saat ini. Namun, umumnya para diplomat dididik bahwa diplomasi Indonesia dimulai pada 1945, ketika Wapres Mohammad Hatta menyampaikan pidato yang berjudul: Mendayung di antara Dua Karang, yang menjadi dasar politik luar negeri bebas aktif sampai sekarang ini.
Jadi, bagi pendukung aliran ini, diplomasi oleh Kerajaan Aceh, Banten, Majapahit, Singasari, atau Sriwijaya, dianggap tidak ada relevansinya dengan kebijaksanaan diplomasi nasional sekarang ini. Maka, sangat dimaklumi jika dalam pendidikan diplomat muda Indonesia di Sekolah Staf Dinas Luar Negeri (Sekdilu), sejarah pengusiran Dubes Meng Khi kurang diseriusi.
Yang menarik, kasus ini justru diangkat sebagai disertasi oleh Dr Daniel Novotny, staf ahli presiden Ceko dalam kajiannya yang berjudul: Torn between America and China: Elite Perceptions and Indonesian Foreign Policy. Karya ilmiah itu secara gamblang menjelaskan bahwa bagaimana ancaman Tiongkok di masa lalu diyakini masih merupakan hal yang perlu mendapatkan tanggapan serius.
Sekalipun invasi militer Tiongkok seperti di zaman Singasari lalu sangat kecil terjadi di masa modern ini, terjadi invasi dalam bentuk lain, seperti dominasi ekonomi dan budaya. Kita melihat dalam kekisruhan pelaksanaan persetujuan dagang Tiongkok-AFTA beberapa waktu lalu dan banjirnya produk Tiongkok berkualitas rendah di pasaran Indonesia. Jelas para negosiator dagang kita harus mempunyai semangat raja Kertanegara dalam membela kepentingan nasional.
Mereka juga harus diingatkan bahwa jika bangsa-bangsa asing ingin bersahabat lewat diplomasi budaya, seperti muhibah armada Tiongkok yang dipimpin Laksamana Cheng Ho, kita sangat mendukung dan menyambut baik. Tetapi, jika ingin menjajah, pasukan kita tidak akan segan-segan melawannya. Misalnya pengiriman armada Angkatan Laut Kesultanan Demak yang dipimpin Adipati Unus yang membantu pasukan Kesultanan Aceh menyerbu Malaka yang dijajah Portugis pada 1511. Sebelumnya pasukan Sri Wijaya pun pernah mengusir invasi militer Kerajaan Chola Mandala yang dipimpin Raja Rajendra Chola pada 1025 M.
Dengan demikian, nenek moyang bangsa Indonesia sudah siap berdiplomasi secara budaya, politik, ekonomi, dan juga militer dengan bangsa mana pun di dunia. Memperingati hari kemerdekaan nasional 17 Agustus kita wajib memaknai sejarah panjang yang terjadi sejak zaman nenek moyang dahulu. ●
Orang Swiss pasti juga tahu kisah heroik William Tell, pemimpin perlawanan rakyat yang menghindarkan Swiss dari penjajahan. Kisah Tell dengan buah apel yang dipanahnya tepat di atas kepala anaknya merupakan legenda yang dihafal hampir semua warga, meskipun sudah terjadi lebih dari tujuh ratus tahun lalu.
Bangsa Swiss, meski sangat modern dan makmur, dengan kemampuan teknologi dan finansial yang luar biasa, tidak pernah melupakan sejarah. Hampir di setiap kantor terdapat museum rakyat atau volkmuseum yang menyimpan benda-benda bersejarah tingkat lokal.
Bahkan, kadang-kadang museum itu juga memamerkan benda-benda bersejarah dari bangsa lain. Misalnya, museum rakyat Zurich tahun lalu selama enam bulan memamerkan benda-benda budaya asal Kalimantan Timur. Juga museum rakyat di Lugano dalam periode yang hampir sama memamerkan koleksi "sempuyung" dan benda-benda seni lain dari Kalimantan Tengah. Meskipun Pemprov Kaltim dan Kalteng diundang untuk menyaksikan, sampai pameran tutup tidak satu pun wakil yang dikirim.
Saya pernah menanyakan, mengapa pemerintah dan masyarakat Swiss sangat menyukai museum dan sejarah. Bahkan, bulan lalu mereka menghabiskan dana hampir Rp 200 miliar untuk merenovasi Museum Basel yang, antara lain, memamerkan koleksi tekstil dari Nusantara yang sudah berusia berabad-abad.
Jawaban para kurator dan tokoh Swiss sangat tegas: dengan mengetahui sejarah lewat museum itu, cinta tanah air dan nasionalisme makin kuat. Ini dibuktikan dengan pola konsumsi. Meski produk buah atau barang lain asal Swiss sedikit lebih mahal, konsumen tetap memilih barang made in Swiss lebih dulu.
Wawasan Sejarah Diplomasi
Dalam konteks sejarah ini pula saya pernah mendapatkan informasi dari teman-teman pejabat senior di Kemenlu bahwa pengetahuan nasional dan sejarah pelamar calon diplomat umumnya sangat buruk. Teman saya menceritakan pengalamannya mewawancarai mereka. Dari sepuluh orang yang ditanya, tak satu pun yang bisa menyebutkan dengan benar letak Kota Poso. Padahal, waktu itu krisis sektarian di wilayah itu masih hangat. Hanya ada satu yang menjawab agak benar, yakni di Sulawesi, tetapi keliru menjawab ketika ditanya Sulawesi bagian mana.
Saya juga pernah secara informal berbicara di depan sekelompok diplomat muda. Saya tanya pengetahuan mereka tentang pengusiran Duta Besar Meng Khi dari Kekaisaran Mongol Dinasti Yuan di bawah pimpinan Kaisar Khublai Khan. Tak seorang pun yang bisa menjawab dengan baik, bahwa hal itu dilakukan Raja Kertanegara. Raja Kerajaan Singasari ini tidak mau tunduk di bawah tekanan asing meskipun saat itu Kekaisaran Mongol adalah superpower dunia, yang berkuasa dari Tiongkok sampai Eropa Tengah.
Saya berharap para diplomat muda punya kebanggaan bahwa nenek moyang mereka dulu tidak takut melawan superpower dunia. Kita tidak boleh menjadi bangsa penakut, tetapi bangga dengan sikap berani yang ditunjukkan Raja Kertanegara. Namun, pendapat saya ini tidak sepenuhnya disetujui teman-teman kalangan korps diplomatik. Sebab, yang mengusir Dubes Meng Khi dari negara superpower Dinasti Yuan itu adalah raja Singasari, bukan pemerintah Republik Indonesia!
Saya menganggap ada hubungan historis antara kerajaan-kerajaan yang pernah berkuasa di tanah air dengan bangsa Indonesia saat ini. Namun, umumnya para diplomat dididik bahwa diplomasi Indonesia dimulai pada 1945, ketika Wapres Mohammad Hatta menyampaikan pidato yang berjudul: Mendayung di antara Dua Karang, yang menjadi dasar politik luar negeri bebas aktif sampai sekarang ini.
Jadi, bagi pendukung aliran ini, diplomasi oleh Kerajaan Aceh, Banten, Majapahit, Singasari, atau Sriwijaya, dianggap tidak ada relevansinya dengan kebijaksanaan diplomasi nasional sekarang ini. Maka, sangat dimaklumi jika dalam pendidikan diplomat muda Indonesia di Sekolah Staf Dinas Luar Negeri (Sekdilu), sejarah pengusiran Dubes Meng Khi kurang diseriusi.
Yang menarik, kasus ini justru diangkat sebagai disertasi oleh Dr Daniel Novotny, staf ahli presiden Ceko dalam kajiannya yang berjudul: Torn between America and China: Elite Perceptions and Indonesian Foreign Policy. Karya ilmiah itu secara gamblang menjelaskan bahwa bagaimana ancaman Tiongkok di masa lalu diyakini masih merupakan hal yang perlu mendapatkan tanggapan serius.
Sekalipun invasi militer Tiongkok seperti di zaman Singasari lalu sangat kecil terjadi di masa modern ini, terjadi invasi dalam bentuk lain, seperti dominasi ekonomi dan budaya. Kita melihat dalam kekisruhan pelaksanaan persetujuan dagang Tiongkok-AFTA beberapa waktu lalu dan banjirnya produk Tiongkok berkualitas rendah di pasaran Indonesia. Jelas para negosiator dagang kita harus mempunyai semangat raja Kertanegara dalam membela kepentingan nasional.
Mereka juga harus diingatkan bahwa jika bangsa-bangsa asing ingin bersahabat lewat diplomasi budaya, seperti muhibah armada Tiongkok yang dipimpin Laksamana Cheng Ho, kita sangat mendukung dan menyambut baik. Tetapi, jika ingin menjajah, pasukan kita tidak akan segan-segan melawannya. Misalnya pengiriman armada Angkatan Laut Kesultanan Demak yang dipimpin Adipati Unus yang membantu pasukan Kesultanan Aceh menyerbu Malaka yang dijajah Portugis pada 1511. Sebelumnya pasukan Sri Wijaya pun pernah mengusir invasi militer Kerajaan Chola Mandala yang dipimpin Raja Rajendra Chola pada 1025 M.
Dengan demikian, nenek moyang bangsa Indonesia sudah siap berdiplomasi secara budaya, politik, ekonomi, dan juga militer dengan bangsa mana pun di dunia. Memperingati hari kemerdekaan nasional 17 Agustus kita wajib memaknai sejarah panjang yang terjadi sejak zaman nenek moyang dahulu. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar