Ambivalensi
Birokrasi
Saratri Wilonoyudho ; Anggota Korpri, Dosen Universitas Semarang (Unnes)
|
SUARA MERDEKA, 14 Agustus 2012
KECELAKAAN tunggal di jalan tol Tembalang
Semarang yang menyebabkan tiga siswa SMA 9 tewas (SM, 13/08/12), kembali
membawa perdebatan tentang penggunaan mobil dinas untuk keperluan di luar
kedinasan. Kontroversi juga selalu muncul ketika Lebaran tiba, apakah mobil
pelat merah boleh digunakan mudik atau tidak?
Saya tidak tahu apakah ada peraturan yang
membolehkan mobil dinas digunakan keperluan di luar kedinasan atau tidak. Jika
tidak boleh, berarti ada pelanggaran yang cukup serius. Sederhana saja, mobil
dinas dibeli dan dibiayai dengan uang rakyat, tujuannya agar ada efektivitas
kerja si pejabat yang bersangkutan dalam menjalankan tugas kedinasan yang berarti
dalam melayani rakyat.
Kadang kita melihat banyak pejabat yang
justru menjual mobil pribadinya (setidaknya mengandangkan dalam waktu lama)
karena mendapat mobil dinas. Akibatnya untuk mengantar istri ke pasar atau mal,
atau mengantar anak ke sekolah, dia menggunakan mobil dinas, termasuk memanfaatkan
sopirnya.
Ada pejabat yang jujur, tetap tidak mau
mengajak anak/istrinya dalam satu mobil dinas meski sekolah atau tempat kerja
sang istri searah. Tentu saja sebagai orang Timur, boleh sekali-kali menggunakan
mobil dinas untuk keperluan nonkedinasan, sepanjang dalam keadaan darurat, dan
bukan untuk sehari-hari.
Fenomena mobil dinas ini cukup menggambarkan
betapa rawannya posisi pejabat di negeri ini dalam menggunakan uang dan barang
milik negara. Jika ada larangan penggunaan mobil dinas untuk keperluan pribadi
maka jika ada yang melanggar, dia tidak saja berhadapan dengan hukum Tuhan
(karena tidak amanah), tapi juga menyalahi aturan negara, dan dalam bahasa
kasarnya dapat dikatakan korup, meski kecil kecilan.
Karenanya banyak orang pesimistis terhadap
sikap amanah para pejabat, karena jika untuk barang yang diamanahkan dan
terlihat oleh mata saja dia berani menyalahgunakan, bagaimana jika barang dan
uang itu tidak dilihat oleh rakyat.
Ketika Khalifah Umar kedatangan seorang tamu,
sang khalifah bertanya terlebih dahulu sebelum mempersilakan masuk.
''Bolehkan saya tahu, Anda bertamu untuk
kepentingan pribadi atau urusan negara?'' Setelah dijawab bahwa tamu itu datang
untuk keperluan pribadi, sang khalifah menyilakan masuk dan seketika itu pula
ia mematikan lampu di rumah sehingga suasana gelap.
Sang tamu bertanya,'' Mengapa tuan matikan
lampu itu?'' Sang khalifah menjawab,''
Sebelum Anda datang, saya sedang
mengerjakan tugas negara sehingga saya perlu penerangan. Namun setelah Anda
datang saya matikan karena kedatangan Anda untuk keperluan pribadi. Perlu
diketahui, minyak yang digunakan untuk menyalakan lampu ini dibeli dari uang
negara sehingga kita tidak berhak fasilitas ini. Saya takut hukuman neraka akan
menanti karena ini menyangkut amanah.''
Pejabat
Amanah
Birokrasi di Indonesia memang ambivalen. Di
satu sisi harus melaksanakan tugas secara profesional, namun di sisi lain
budaya paternalis masih kuat sehingga ketika membubuhkan tanda tangan saja,
masih digoda antara kepentingan pribadi dan profesional. Birokrasi yang
mestinya harus mengutamakan performance,
di ujungnya harus melayani pribadi dan golongan.
Birokrasi adalah model kelembagaan produk
Barat, namun ketika sampai di negeri ini terjadi cultural lag. Negeri Timur seperti Indonesia, masih kental
primordialismenya sehingga KKN bisa terjadi. Berbeda dari bangsa China, Jepang,
dan Korea (kita tidak perlu membandingkan dengan Amerika dan Eropa) maka bangsa
kita lebih cenderung primordial dan tidak disiplin.
Celakanya politik primordial juga merusak
sistem birokrasi. Lihat saja banyak BUMN yang jadi sapi perahan partai-partai
politik. Demikian pula di kabupaten/kota, jika ada pelantikan bupati/wali kota,
setelah itu pasti diikuti dengan rotasi pejabat yang membabibuta secara
mendadak. Padahal Kata Weber birokrasi itu idealnya rasional, apolitis, netral,
dan mengutamakan kepada kesejahteraan masyarakat.
Sudah saatnya pejabat harus mengubah diri
menjadi pejabat yang amanah. Dia sudah digaji tinggi dan fasilitas yang banyak
oleh negara sehingga mereka mestinya mengutamakan yang membayarnya, yakni
rakyat.
Momentum puasa ini mestinya sanggup
mengantarkan spiritualitas para pejabat negara bahwa esensi puasa adalah
''mengelola'' nafsu, dan berani berkata tidak, bahkan untuk hal-hal yang
seharusnya ia nikmati, apalagi yang haram dinikmati. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar