Selasa, 14 Agustus 2012

Mencegat Lailatul Qadar


Mencegat Lailatul Qadar
Agus Mustofa ; Penulis Buku Serial Tasawuf Modern
 JAWA POS,  14 Agustus 2012


LAILATUL Qadar adalah puncak puasa Ramadan. Hampir semua umat Islam yang paham tentang ilmu puasa mengharapkan bisa bertemu dengan malam yang mulia dan penuh berkah itu. Masjid-masjid di berbagai kota di Indonesia maupun belahan dunia dipenuhi orang-orang yang beriktikaf demi memenuhi harapan untuk bertemu Lailatul Qadar yang penuh hikmah.

Malam yang diceritakan Alquran memiliki kualitas lebih dari seribu bulan itu, kata Rasululah SAW, selalu hadir pada sepuluh hari terakhir puasa. Karena itu, sejak memasuki hari ke-21 sampai menjelang Idul Fitri umat Islam berlomba-lomba beriktikaf memusatkan perhatian kepadanya. Konon ada yang meyakini malam itu bakal datang pada hari-hari ganjil Ramadan: 21, 23, 25, 27, dan 29. Karena itu, tak jarang muncul keinginan mencegatnya hanya pada malam-malam ganjil itu. Namun, banyak juga yang tak mau main cegat-cegatan, mengikhlaskan iktikaf karena Allah semata, sepanjang hari-hari terakhir Ramadan.

Di Makkah dan Madinah, masjid penuh sesak dihadiri ratusan ribu jamaah. Mirip suasana musim haji. Demikian pula masjid-masjid di Mesir dan negara-negara lain. Sepuluh hari terakhir Ramadan adalah malam-malam yang sangat istimewa. Banyak hamba Allah yang merindukan pertemuan dengan-Nya dalam kalamullah yang sedang dibacanya, meskipun tak sedikit pula yang sekadar ingin memperoleh keberkahan Lailatul Qadar. Dan, lantas mencegatnya.

Ada semacam kesalahkaprahan dalam menyongsong malam kemuliaan itu. Terutama, karena menganggap Lailatul Qadar bisa dicegat kedatangannya oleh sembarang orang. Sehingga, lantas ada yang bertahan melek malam agar tetap terjaga pada malam yang diperkirakan Lailatul Qadar bakal datang. Tak jarang, orang-orang yang demikian ini mencegatnya tidak sambil mengkaji kandungan Alquran, melainkan sambil begadang.

Sesungguhnya, poin penting Lailatul Qadar bukanlah pada datangnya ''sang malam'', melainkan pada turunnya ''sang Jibril'' bersama para malaikat yang menyertainya. Jika penekanannya pada ''sang malam'', siapa pun bisa bertemu dengannya, meskipun katakanlah dia mencegat Lailatul Qadar sambil bermain kartu. Tentu pemahamannya bukan demikian. Hanya orang yang benar-benar layaklah yang bakal bertemu dengan para malaikat itu. Dengan kata lain, jika ada seribu orang sedang beriktikaf bersama di suatu tempat, belum tentu semua orang itu bakal didatangi oleh sang Jibril.

Siapakah mereka yang bakal bertemu dengan malaikat pembawa wahyu itu? Adalah mereka yang jiwanya telah tersucikan oleh puasa Ramadan selama dua puluh hari yang pertama. Ini mirip dengan cerita pewayangan, di mana ksatria yang bertapa bakal memperoleh azimat Kalimasada di akhir pertapaannya. Sebab, di akhir masa pertapaan itu dia sudah memiliki jiwa yang suci dan bijak dalam menyikapi kehidupan.

Lailatul Qadar juga demikian. Ia hanya turun kepada orang-orang yang telah berpuasa dengan baik. Bukan puasa yang sekadar menahan lapar dan dahaga, melainkan puasa yang mensucikan jiwa raganya. Mulai pikiran dan perasaan, penglihatan, pendengaran, dan segala ucapannya, sampai kepada seluruh tingkah laku dan perbuatannya.

Kesucian jiwa yang demikian itulah yang membuat jiwanya mudah teresonansi oleh kalamullah alias firman-firman Allah yang sedang dikajinya. Ibarat sebuah stasiun pemancar dengan pesawat radio. Jika frekuensinya sudah matching, seluruh informasi yang dipancarkan stasiun radio itu akan tertangkap dengan mudah oleh pesawat radio.

''Sesungguhnya Alquran ini adalah bacaan yang sangat mulia. Pada kitab yang terpelihara (Lauhul Mahfuzh). Tidak (bisa) menyentuhnya kecuali orang-orang yang (telah) disucikan (Al Waaqi'ah: 77-79).''


Makna ''menyentuh'' dalam ayat tersebut bukanlah bersifat fisik. Sebab, menurut kalimat sebelumnya, Alquran sebenarnya masih di Lauh Mahfuzh. Yang turun kepada manusia hanya berupa copy saja. Yakni, hard-copy berupa teks alias redaksi Al Kitab. Sedangkan yang kedua adalah soft-copy alias Al Hikmah.

Sayangnya, kebanyakan umat Islam terjebak mengkaji Al Kitab yang berisi teks-teks saja. Termasuk pada Ramadan ini banyak yang mengkhatamkan Alquran berulang-ulang, tapi hanya sebagai Al Kitab. Padahal, substansi Alquran itu bukan pada Al Kitabnya, melainkan pada Al Hikmah. Barang siapa membaca Alquran tanpa memahami isinya, dia temasuk orang-orang yang tidak memperoleh petunjuk.

Apakah yang dimaksud Al Hikmah? Ialah isi kandungan Alquran yang dipahami secara mendalam, sehingga menjadi pedoman hidup yang nyata di dalam jiwa manusia.

''Allah menganugerahkan Al Hikmah (kepahaman yang mendalam tentang isi Alquran) kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barang siapa dianugerahi Al Hikmah, dia benar-benar telah dianugerahi karunia yang sangat ­banyak. Dan hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran (dari firman-firman-Nya) (QS Al Baqarah: 269).''

Tidak ada komentar:

Posting Komentar