Mencatat
Prestasi ASEAN
Ludiro Madu ; Dosen Jurusan Ilmu
Hubungan Internasional
UPN "Veteran" Yogyakarta
SUARA MERDEKA, 06
Agustus 2012
AKHIRNYA ASEAN mencapai
kesepakatan bersama mengenai konflik Laut China Selatan (LCS). Pernyataan
sikap itu disampaikan oleh Menlu Kamboja selaku Ketua ASEAN 2012, pada Jumat,
20 Juli lalu. Komunike bersama itu merupakan hasil dari diplomasi ulang-alik
(shuttle diplomacy) Menlu Marty
Natalegawa untuk segera mendekatkan kembali posisi negara-negara ASEAN.
Kesepakatan itu menjadi jawaban langsung ASEAN atas kritikan para pengamat mengenai ketidakmampuan organisasi regional ini dalam mengelola konflik di wilayah LCS antara beberapa negara anggota ASEAN (Filipina, Vietnam, Malaysia, dan Brunei) dengan China. Perpecahan di antara negara-negara ASEAN sebenarnya merupakan produk dari ketidakpercayaan di antara mereka sendiri. Filipina menuduh Kamboja cenderung bersikap lunak terhadap China yang merupakan mitra tradisionalnya selama ini. Kamboja berusaha tidak memasukkan konflik wilayah LCS ke dalam agenda pertemuan para Menteri Luar Negeri ASEAN di Phom Phen pada 11-13 Juli 2012. Akibatnya, pertemuan tahunan para menteri luar negeri negara-negara anggota ASEAN gagal menghasilkan konsensus bersama mengenai wilayah sengketa itu.
Kegagalan ini sekaligus juga
merupakan peringatan bagi ASEAN untuk segera memberi perhatian pada arti
penting mekanisme penyelesaian konflik di antara mereka. Dalam konteks ini,
inisiatif diplomasi Indonesia melalui Menlu Marty menjadi salah satu upaya
alternatif untuk mencari titik temu di tengah kebuntuan perhimpunan
bangsa-bangsa di Asia Tenggara ini untuk memiliki satu suara dalam masalah
LCS.
Doktrin Natalegawa Keberhasilan diplomasi Indonesia dalam menyatukan kembali suara ASEAN mengenai konflik LCS tidak lepas dari penerapan doktrin keseimbangan dinamis. Doktrin ini kemudian dikenal dengan nama Doktrin Natalegawa sesuai nama Menlu RI. Doktrin ini menegaskan posisi Indonesia dalam percaturan politik global dan regional. Hubungan internasional tidak lagi ditandai oleh rivalitas antarnegara, namun lebih diwarnai oleh berbagai bentuk kerja sama. Dengan demikian, kerja sama regional pada tingkat ASEAN ataupun Asia Timur harus diarahkan pada upaya-upaya strategis untuk menciptakan struktur kesempatan politik baru bagi kerja sama ekonomi dan perdamaian.
Dalam konflik di LCS, ASEAN
tidak perlu terpengaruh pada kepentingan China yang keberatan apabila ASEAN
menyatukan posisinya terlebih dahulu sebelum memasuki meja perundingan dengan
China. Sebaliknya ASEAN perlu mendasarkan sikap bersama pada Bali Concord
III, yaitu berusaha sekuat mungkin berbicara dengan satu suara mengenai
berbagai isu regional dan global.
Melalui doktrin ini, diplomasi
Indonesia memperoleh hasil positif dalam bentuk ASEAN's Six-Point Principles on the South China Sea.
Enam prinsip mengenai LCS
menjelaskan bahwa ASEAN menegaskan arti penting deklarasi sikap atau declaration of conduct (DoC) terhadap
isu Laut Cina Selatan, pedoman deklarasi sikap itu, urgensi penyelesaian
pembahasan code of conduct (CoC)
dan menghargai hukum internasional yang berlaku, yakni United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) 1982,
dan, terakhir, para menlu ASEAN bersepakat dalam melarang penggunaan
kekerasan dan menyelesaikan permasalahan yang terjadi secara damai sesuai
UNCLOS 1982.
Meskipun perpecahan sikap ASEAN mengenai saling klaim wilayah LCS telah berhasil diselesaikan, komitmen regional ASEAN tetap akan diuji oleh persoalan-persoalan lain di kawasan Asia Tenggara. Pada akhirnya, kapasitas ASEAN dalam melakukan resolusi konflik atas berbagai persoalan akan memberi kontribusi bagi terwujudnya Komunitas ASEAN pada 2015. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar