Sabtu, 11 Agustus 2012

Asal-usul Kepemimpinan Politik


Asal-usul Kepemimpinan Politik
Budiman Sudjatmiko ; Anggota DPR
KOMPAS, 11 Agustus 2012


Dalam satu kesempatan, saya membincangkan pengaruh kepentingan bisnis pada kepemimpinan politik di Indonesia dengan dua politisi muda anggota DPR dari fraksi berbeda.

Kami menganalogikan pengaruh tersebut dengan keterlibatan bandar judi sepak bola. Dalam kasus Indonesia jika diibaratkan sepak bola, bandar judi memilih turun langsung bermain bola dan bertransaksi di tengah lapangan hijau. Tak lagi dari balik layar. Para pesepak bola sejati dicadangkan bahkan dikandangkan.

Logika serupa kerap terjadi di dunia politik Indonesia. Di sini para pebisnis dan spekulan bisnis memimpin proses politik di level partai dan negara meski dengan latar belakang organisasi dan ide politik yang sangat minim.

Sejumlah praktik berbeda terjadi di negeri-negeri demokrasi yang sudah matang, misalnya Inggris, Jerman, dan Perancis. Di sana partai-partai secara sengaja menawarkan kepemimpinan yang dibesarkan lewat organisasi partai ataupun gerakan-gerakan sosial akar rumput.

Fenomena ini bukan sekadar terjadi di partai kiri atau kiri- tengah (buruh, sosialis, dan sosial-demokrasi) yang memang banyak lahir dari gerakan sosial seperti serikat buruh. Di partai-partai kanan dan kanan-tengah yang dikenal probisnis pun, seperti konservatif, Kristen-demokrat, dan persatuan untuk republik, kepemimpinan lahir dari aktivis gerakan sosial atau pegiat struktur kepartaian.

Jika pun ada pebisnis yang terlibat, mereka menyadari karier politiknya maksimal adalah menjadi anggota parlemen dan tidak sebagai pimpinan politik di level negara ataupun partai. Dalam tradisi politik negeri-negeri ini, urusan negara dan partai adalah ”jatah” para intelektual-aktivis partai ataupun gerakan sosial. Mereka adalah insan yang biasa tertempa kompleksitas ide-ide besar serta kompleksitas lapangan, baik partai maupun masyarakat.

Ini terjadi karena memang sifat dan proses pengembangan karier politik itu berbeda logikanya dengan evolusi karier pebisnis. Jika gerakan dan karier politik menuntut kehadiran ide-ide besar tentang negara dan pergulatannya, evolusi bisnis berorientasi pada laba untuk kepentingan pribadi di level sangat mikro.

Gerakan Sosial

Perbincangan di atas mendorong saya berefleksi seperti ini: tiap-tiap manusia tidak bisa menghindari perubahan, baik di level individu maupun sosial. Agar berjalan dengan benar, perubahan sosial mensyaratkan kepemimpinan politik.

Kepemimpinan politik dalam demokrasi yang sehat harus berkelindan dengan kerja-kerja perubahan di akar rumput. Begitu juga perubahan di akar rumput harus berujung pada perubahan kepemimpinan politik untuk menjamin keberlangsungan dan keluasan dampaknya.

Pada level individu politisi, perubahan politik adalah dari tidak berkuasa jadi berkuasa. Pada skala sosial, perubahan itu mau mengubah masyarakatnya dari terbelakang menjadi maju, dari menderita menjadi sejahtera.

Pada momentum pemilu, masyarakat diminta memilih nama dan wajah. Sesekali ada tawaran ide, tetapi lebih sering tak ada. Hal ini terjadi karena pola perekrutan para calon wakil rakyat kerap tidak melewati proses kaderisasi ideologis.

Pada contoh perubahan yang berskala sosial lain ceritanya. Saya secara intens mendapatkan informasi kegiatan-kegiatan mereka. Salah satunya ketika saya berpartisipasi dalam Festival Jawa Kidul yang diikuti 200 desa se-Jawa selatan. Mereka sedang mengubah wajah desa-desa Indonesia dengan teknologi yang ramah lingkungan, dirintis oleh pemuda-pemuda kota berkolaborasi dengan pemuda desa dan kepala desa. Mereka berjuang untuk keadilan akses informasi melalui teknologi open source untuk membangun tertib pemerintahan desa.

Contoh yang lain: Gerakan Sejuta Data Budaya. Tanpa dana dari mana pun mereka sudah mengumpulkan sekitar 20.000 data budaya desa-desa Nusantara. Gerakan ini untuk mengantisipasi agar produk budaya Nusantara tak mudah diklaim pihak lain. Mereka juga menggunakan teknologi informasi dan geometri untuk mengidentifikasi kekerabatan ”genetis sosial” produk-produk budaya Nusantara.

Kehadiran mereka adalah untuk melengkapi jejak-jejak perubahan desa yang sudah terlebih dahulu hadir di Tanah Air dalam rupa perjuangan hak-hak keadilan agraria (reforma agraria) ataupun yang menuntut keadilan alokasi anggaran desa, khususnya lewat UU Desa. Kerja perubahan serupa juga bisa kita temui di wilayah-wilayah perburuhan.

Mereka mengubah kondisi lapangan desa atau pabrik tempat mereka bekerja. Mereka orang-orang lapangan dengan ide besar tentang Indonesia.

Sayangnya, kerja-kerja para pembuat perubahan di akar rumput ini tidak selalu lancar saat diterjemahkan menjadi perubahan dan kepemimpinan politik. Mereka kerap kalah saat mencoba menerjemahkan perubahan di akar rumput dan bersaing dengan pebisnis yang dengan logika bisnisnya memimpin politik partai dan negara.

Jika ini terus terjadi, kembali ke analogi sepak bola di atas, politik akan menyerupai transaksi antarbandar judi di lapangan hijau untuk menentukan apakah bola yang sudah di depan gawang itu perlu dijadikan gol atau tidak. Tak ada ide dan strategi avant garde ala tiqui taca atau total voetbaal politik yang lahir dari sana. Karena itu harus ada revolusi berpikir untuk menata perekrutan kepemimpinan politik kita jika Indonesia tak mau menjadi seperti tikus putih yang bergerak memutar-mutar kandang tanpa beranjak ke mana-mana.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar