Sabtu, 11 Agustus 2012

Sekali Lagi, Kita Dukung KPK!


Sekali Lagi, Kita Dukung KPK!
Budiarto Shambazy ; Wartawan Senior Kompas
KOMPAS, 11 Agustus 2012


Saat ini Komisi Pemberantasan Korupsi pasti membutuhkan dukungan jauh lebih besar lagi dibandingkan sebelumnya dalam rangka memberantas korupsi. Dukungan Anda semua amat sangat dibutuhkan untuk mencegah terjadinya perang ”Cicak vs Buaya” jilid kedua.

Ketua KPK Abraham Samad mengungkapkan pula bakal ada seorang menteri yang dijadikan sebagai tersangka dalam waktu dekat. Bisa dibayangkan perlawanan sengit yang akan dihadapi KPK dari partai menteri bersangkutan dan juga dari partai-partai koalisi.

Seperti diketahui, KPK juga telah menjadikan anggota Dewan Penasihat Partai Demokrat (PD), Siti Hartati Murdaya, sebagai tersangka. Untuk kesekian kali ini pukulan telak bagi PD sebagai partai berkuasa di eksekutif dan legislatif.

Masih belum cukup, muncul pernyataan mutakhir Antasari Azhar yang mengungkapkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pernah memimpin rapat bailout Bank Century pada 2008. Tentu berita ini dibantah Juru Bicara Kepresidenan Julian Aldrin Pasha yang menyebutnya sebagai fitnah.

Betapapun, pernyataan Antasari ini perlu diverifikasi kebenarannya. Apalagi korupsi Century, yang dapat dikategorikan sebagai mother of corruption yang perlu diungkap tuntas demi kesehatan politik bangsa, sudah lama ditelantarkan.

Nah, bisa diperkirakan bagaimana makin beratnya KPK menghadapi berbagai tekanan dari mereka yang merasa terancam. Apalagi pembasmian korupsi selama ini ditentukan oleh backroom deals yang menimbulkan kesan tebang pilih.

Untuk kasus Polri, agak ganjil mereka merasa lebih berhak daripada KPK menyelidiki korupsi simulator Korlantas. Ini kembali menjadi contoh penyangkalan logika pembasmian korupsi yang telah berlangsung cukup lama.

Sudah jelas korupsi simulator dilakukan oleh orang-orang Polri sendiri. Tak mengherankan muncul kecurigaan Polri ingin ”meredam” kasus ini agar tidak jadi bola liar yang tak mustahil mengungkap nama-nama baru di dalam ataupun dari luar Polri.
KPK paling berhak menyidik dugaan korupsi simulator Korlantas karena lembaga ad hoc itu dibentuk justru karena kekurangpercayaan rakyat terhadap aparat hukum—Polri dan Kejaksaan Agung—memerangi korupsi. Polri juga kurang layak mengambil alih kasus ini karena terjerumus ke dalam kondisi ”jeruk makan jeruk”.

Penyangkalan logika telah lama berlangsung karena korupsi berskala besar melibatkan elite politik yang berkuasa. Ambil contoh korupsi wisma atlet/ Hambalang yang dikaitkan dengan politisi-politisi PD atau rekening gendut jenderal-jenderal Polri.
Penyangkalan logika menjadi berlarut-larut karena para politisi PD ataupun jenderal-jenderal Polri berada dalam posisi kuasa yang tertinggi. Mereka terkesan terus menunda-nunda pengusutan dengan berbagai cara.

Bahasa klise penyangkalan logika yang paling kerap terdengar, ”Biarkan dulu proses hukum berjalan”. Sangkal-menyangkal, tuding-menuding, saling sandera, koprol bambu, jalan terus.

Presiden pun kerap memakai kewenangannya untuk tidak melakukan intervensi jika terjadi ketegangan antara Polri dan KPK atau Kejaksaan Agung versus KPK. Padahal, jika kepala negara lebih tegas, semua masalah jadi beres.

Akibatnya kita, rakyat, sering menyaksikan logika-logika bengkok yang makin menjauhkan esensi pembasmian korupsi itu sendiri. Ada yang minta digantung di Monas; ada penerima suap dipenjara, sementara yang menyogok entah ke mana.

Dengan sendirinya, muncul pula kecurigaan bahwa KPK pun memainkan kepentingan-kepentingan politiknya juga. Setidaknya, pimpinan KPK kurang kompak dalam menentukan tersangka, seperti saat terjadi peristiwa ”gebrak meja” tempo hari.

Lama-kelamaan kita terbiasa ”menikmati” logika bengkok yang sering mengundang tawa itu. Dan, salah satu akibatnya, sebagian masyarakat pun apatis terhadap keseriusan pimpinan KPK.

Padahal, kualitas dan kuantitas korupsi yang diusut KPK makin bertambah absurd. Kita semua tercengang saat politisi ataupun pejabat Kementerian Agama mengorupsi pencetakan Al Quran!

Per hari ini, sebagian masyarakat sudah muak terhadap korupsi dan geram terhadap upaya pembasmiannya. Rasa percaya (trust) terhadap pemangku kekuasaan, yang semestinya berdiri di depan memerangi korupsi, makin merosot.

Itulah sebabnya kini ada istilah ”negeri otopilot”. Salah satu maknanya: tanpa pemerintah, rakyat bisa jalan sendiri; tanpa keseriusan pemerintah memerangi korupsi, rakyat masa bodoh.

Apa pun kinerja pemerintah, rakyat enggan mengakuinya selama korupsi masih mewabah ke mana-mana. Bahwa pertumbuhan ekonomi kita meningkat 6,4 persen dan APBN 2013 akan mencapai Rp 2.000 triliun, rakyat tak peduli.

Padahal, masa depan bangsa dan negara ini cukup cerah meski pekerjaan rumah yang bertumpuk menunggu siapa pun yang memimpin tahun 2014. Semestinya hand over dari pemerintahan yang sekarang kepada yang memimpin 2014-2019 berlangsung mulus tanpa gejolak.

Namun, harmoni itu belum tampak menjanjikan selama korupsi belum diberantas sampai ke akar-akarnya. Indonesia pasca-2014 tetap bergejolak selama korupsi Century, wisma atlet/Hambalang, dan simulator Korlantas tidak diselesaikan.

Justru karena potret yang buram itulah kita, sekali lagi kita, harus mendukung KPK agar tidak takut kepada siapa pun. Dan, keberanian itu akan tercipta seutuhnya kalau pimpinannya memiliki sense of mission untuk bekerja tanpa pamrih, tidak politicking, dan sadar akan tuntutan masyarakat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar