Merawat
Pemikiran Ekonomi Hatta
Fadli Zon ; Direktur Institute for Policy Studies;
Alumnus London School of
Economics, Inggris
KOMPAS,
11 Agustus 2012
Tanggal 12 Agustus 2012 ini kita mengenang
110 tahun Mohammad Hatta, proklamator pendiri bangsa. Hatta dikenal sebagai
sosok pejuang yang satu kata dengan perbuatan, memiliki integritas tinggi, dan
pemikir visioner.
Pemikiran ekonomi Hatta melampaui zamannya,
berangkat dari realitas kolonialisme dan ekonomi rakyat. Sebagian besar
pemikiran Hatta itu masih relevan dengan kenyataan saat ini.
Pemikiran Hatta tak bisa dilepaskan dari
sejarah pergerakan kemerdekaan dan dinamika politik internasional awal abad ke-20.
Politik Etis kolonial Belanda telah melahirkan kelas intelektual terdidik, yang
kemudian menjadi aktor-aktor penting pergerakan.
Kekalahan Rusia dari Jepang pada 1905 telah
menciptakan suasana kebatinan baru, yaitu—meminjam bahasa Stoddard—bangsa-bangsa
kulit berwarna ternyata bisa juga mengalahkan bangsa- bangsa kulit putih.
Peristiwa itu makin memberi kepercayaan diri bahwa kolonialisme Belanda di
Indonesia bisa diakhiri.
Karena pemikirannya, Hatta pernah ditangkap
Belanda pada September 1927 dengan tuduhan ”menghasut terhadap pemerintah”.
Protes muncul di Hindia Belanda oleh Partai Nasional Indonesia (PNI). Hatta
dibebaskan pengadilan pada 22 Maret 1928. Pada pidato pembelaannya di muka
pengadilan Den Haag, 9 Maret 1928, Hatta menyampaikan pleidoi: Indonesie Vrij (Indonesia Merdeka).
Hatta juga menyatakan visi ekonomi
Perhimpunan Indonesia, yaitu: (1) memajukan koperasi pertanian dan bank-bank
rakyat, (2) memajukan kerajinan nasional atas dasar koperasi, (3) penghapusan
sistem pajak bumi, (4) penghapusan tanah partikelir dalam waktu dekat, dan (5)
pengaturan kewajiban membayar pajak yang adil dengan membebaskan petani-petani
yang memiliki tanah kurang dari setengah bahu dari pembayaran pajak.
Kritik terhadap Kapitalisme
Hatta mengkritik kapitalisme. Kapitalisme
akhirnya melahirkan krisis seperti Depresi Besar 1929. Ia menulis artikel
”Pengaroeh Koloniaal Kapitaal di Indonesia”, ”Ekonomi Ra’jat”, dan ”Ekonomi
Ra’jat dalam Bahaja” di Daulat Ra’jat tahun 1933. Tulisan Hatta secara jernih
dan tajam membahas ekonomi rakyat, termasuk akibat kondisi malaise, atau
meleset.
Pada 1934, ia menulis buku Krisis Ekonomi dan
Kapitalisme untuk menggambarkan dampak krisis terhadap nasib kaum buruh, tani,
pedagang kecil, dan perekonomian rakyat secara umum, dilengkapi tinjauan
sejarah mendalam atas krisis yang terjadi sepanjang sejarah kapitalisme. Buku
ini menunjukkan pembahasan ekonomi rakyat tak hanya bersifat populis, tetapi
juga teoretis. Dengan kata lain, kajian ekonomi kerakyatan memiliki akar
sejarah akademis cukup panjang, bukan hal baru.
Bagi Hatta, dasar setiap perekonomian adalah
bagaimana mencapai kebutuhan hidup rakyat. Jika kebutuhan ini tak dapat
dipenuhi, diperlukan impor. Ekspor dilakukan sebagai pembayar impor.
Kondisi perekonomian kolonial telah menempatkan
ekspor sebagai mesin penghasil uang bagi penjajah, sedangkan impor dilakukan
untuk perusahaan-perusahaan besar dan keperluan orang-orang Barat di Indonesia.
Dengan demikian, Indonesia hanya menjadi daerah ekonomi industri bagi
Pemerintah Belanda. Keuntungan sebesar-besarnya masuk ke Belanda.
Struktur dan sistem ekonomi yang seperti ini
telah membuat Indonesia mempunyai kekayaan berlimpah tetapi rakyatnya hidup
dalam kemiskinan dan kesengsaraan. Ketimpangan ekonomi masa itu sangat tinggi.
Hatta menyatakan bahwa sistem kapitalisme
berpijak di atas dasar perjuangan yang kuat bertambah kuat dan yang lemah
menjadi musnah. Pembagian hasil yang adil antara produsen, konsumen, dan
saudagar tak pernah tercapai dalam kapitalisme. Ekonomi rakyat dapat dengan
mudah dikuasai produsen karena ekonomi rakyat tak tersusun.
Melalui sudut pandang itu, Hatta menempatkan
rakyat sebagai subyek (people based)
dan sebagai pusat dari kegiatan ekonomi (people
centered). Gagasan tersebut membuatnya berdiri sangat jauh dari kapitalisme
yang berpijak pada faham individualisme atau yang berorientasi pada kepentingan
diri sendiri.
Sebagaimana tecermin pada gagasan
demokrasinya yang sangat dipengaruhi corak demokrasi desa, gagasan ekonomi
Hatta pun lebih dekat pada kolektivisme atau kebersamaan dan tak mengharamkan
intervensi negara. Bahkan, negara ditempatkannya sebagai pemeran utama dalam
usaha menyejahterakan rakyat.
Dalam cara bagaimana gagasan ekonomi yang
berpusat pada rakyat itu dikerjakan, Hatta sangat memperhatikan realitas
konkret dari kehidupan masyarakat Indonesia. Karena tak ada sistem ekonomi yang
bisa lepas dari kebudayaan, bagi Hatta, bangun usaha yang cocok dengan budaya
Indonesia adalah koperasi. Ia menyebut bahwa koperasi merupakan segi ekonomi
dari apa yang disebutnya sebagai ”kooperasi
sosial lama”, yaitu gotong royong.
Tonggak Sejarah
Pemikiran ekonomi Mohammad Hatta telah
menjadi tonggak penting dalam sejarah ekonomi- politik di Indonesia. Pemikiran
itu melembaga dalam konstitusi kita, UUD 1945, khususnya pasal-pasal tentang
kesejahteraan sosial, termasuk Pasal 33.
Hatta membuat konstitusi Indonesia bukan
semata dokumen politik, melainkan juga dokumen ekonomi. Berbeda dengan
negara-negara liberal kapitalis, di mana konstitusi hanya bersifat politik
saja, konstitusi Indonesia bisa disebut sebagai ”Konstitusi Ekonomi”.
Pengalaman pribadi Hatta sebagai pejuang
kemerdekaan dan pengalamannya menggauli berbagai pemikiran telah membentuk
pemikiran ekonomi Hatta yang berpihak kepada rakyat dan berpijak pada realitas
Indonesia. Penekanan pada sektor koperasi dan sektor negara adalah wujud
keberpihakannya.
Dalam pemikiran Hatta, usaha-usaha yang besar
harus diselenggarakan oleh negara (BUMN), terutama terkait dengan public
utilities, menguasai hajat hidup orang banyak, atau cabang-cabang ekonomi
strategis. Adapun jenis-jenis usaha kecil dan sedang dikerjakan oleh koperasi,
di mana koperasi diselenggarakan oleh rakyat kecil yang bermodal kecil. Namun,
bukan berarti Hatta kemudian anti-terhadap usaha swasta.
Menurut Hatta, di
antara sektor-sektor atau cabang ekonomi yang dikerjakan oleh negara dengan
koperasi itu masih terdapat wilayah ekonomi yang luas yang bisa digarap swasta.
Sekilas pemikiran ekonomi Hatta ini masih
relevan menjadi pedoman mengarahkan biduk ekonomi Indonesia di tengah gelombang
krisis yang selalu inheren dengan kapitalisme.
●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar