Kamis, 05 April 2018

Manufaktur Pascakrisis

Manufaktur Pascakrisis
Andry Satrio Nugroho  ;   Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (INDEF)
                                                         KOMPAS, 04 April 2018



                                                           
Tahun ini, Indonesia akan menyambut 20 tahun reformasi yang menandai berakhirnya krisis finansial Asia 1997/1998 yang telah merontokkan sendi- sendi perekonomian.

Dalam perjalanannya, perekonomian Indonesia hari ini berada pada kondisi stabil. Tingkat inflasi terkendali dengan capaian tahun lalu 3,6 persen, sejalan dengan prediksi bank sentral. Posisi cadangan devisa tertinggi sepanjang sejarah, 132 miliar dollar AS. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) sudah berada di rentang 6.300-6.500. Utang, meski jumlahnya meningkat, rasionya masih 29,2 persen, jauh dari ambang batas yang ditetapkan pemerintah, 60 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).

Indonesia juga mencatatkan prestasi pada aspek investasi. Lembaga-lembaga internasional seperti Moody’s, JCR, R&I, S&P dan Fitch secara berturut-turut memberi predikat layak investasi kepada Indonesia. Peringkat kemudahan berinvestasi (Ease of Doing Business) naik dari peringkat 120 menjadi 72. Laporan terbaru dari survei US News, Indonesia peringkat kedua negara yang layak investasi, mengalahkan Singapura dan Malaysia.

Indonesia juga sudah masuk ke dalam jajaran negara-negara dengan skala perekonomian 1 triliun dollar AS (One Trillion Dollar Club). Prediksi Forum Ekonomi Dunia (WEF, 2017) selama tiga tahun ke depan (2017-2019), Indonesia akan menjadi penyumbang terbesar kelima pertumbuhan ekonomi dunia. Diukur dari PDB keseimbangan kemampuan berbelanja (PPP), saat ini Indonesia peringkat ke-8 dunia, diprediksi pada 2050, asumsi business as usual, Indonesia mungkin akan berada pada posisi empat dunia.

Sejumlah prestasi yang telah diraih menyisakan pertanyaan, mengapa ekonomi Indonesia terasa tak mampu melaju kencang? Hingga saat ini, Indonesia mencatatkan pertumbuhan ekonomi yang stagnan dan cenderung menurun. Pada periode Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono stagnan 6 persen, saat ini, periode Jokowi-Jusuf Kalla stagnan 5 persen. Padahal, negara berkembang ASEAN seperti Vietnam dan Filipina, melaju kencang di atas 6 persen. Ekonomi Indonesia berada pada pertumbuhan alamiah (natural growth) dan ini tak cukup sebagai modal menjadi negara berpendapatan tinggi.

Melihat pada masa Orde Baru, kita perlu melakukan introspeksi, peninjauan kembali atas satu prestasi yang tak mampu direplikasi pemerintahan hari ini yaitu capaian sektor manufaktur yang gemilang saat itu. Sektor manufaktur merupakan sektor yang berkontribusi paling besar terhadap perekonomian nasional. Sayangnya, kinerja sektor tersebut hari ini tidak lebih baik dibanding pada masa Orde Baru. Maka tak heran, pertumbuhan ekonomi pun tak mampu berlari seperti tiga dekade Orde Baru dengan rata-rata pertumbuhan hingga sebesar 7 persen per tahun.

Performa manufaktur turun

Kontras ketika melihat pertumbuhan manufaktur hari ini dibandingkan masa Orde Baru. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan pada 2004, setelah mencapai pertumbuhannya tertinggi setelah krisis sebesar 6,38 persen—di atas pertumbuhan ekonomi 5,03 persen—pertumbuhan manufaktur anjlok di tahun berikutnya menjadi 4,6 persen, di bawah pertumbuhan ekonomi 5,69 persen. Sampai hari ini, performa manufaktur tak lebih dari pertumbuhan ekonomi nasional.

Performa manufaktur yang di bawah pertumbuhan ekonomi tak hanya berdampak pada ketidakmampuan mendongkrak perekonomian nasional, kontribusinya terhadap perekonomian nasional pun semakin berkurang. Ini lah yang disebut dengan deindustrialisasi. Kontribusi manufaktur terhadap ekonomi terus menurun sejak pascakrisis pada 2001. Pada tahun tersebut, kontribusi manufaktur tertinggi sepanjang sejarah sebesar 29,05 persen terhadap PDB. Hari ini, kontribusi manufaktur terhadap PDB kita merosot hingga hanya sebesar 20,16 persen.

Kecepatan deindustrialisasi kita lebih cepat dibandingkan negara Asia Tenggara lain yang umumnya memiliki kontribusi manufaktur terhadap perekonomiannya lebih kecil daripada Indonesia. Data Bank Dunia menunjukkan rata-rata deindustrialisasi Indonesia terhadap PDB 2009-2016 mencapai 3,6 persen, sedangkan Thailand yang kontribusi industrinya di atas Indonesia hanya turun 1,4 persen, dan Malaysia yang kontribusi industri pengolahannya di bawah Indonesia, turun 2,4 persen di bawah Indonesia.

Deindustrialisasi memang terjadi di beberapa negara, namun kasus Indonesia setelah pascakrisis bisa dikategorikan sebagai deindustrialisasi prematur. Artinya, peran manufaktur untuk menggenjot perekonomian tidak mampu meraih titik optimum layaknya negara-negara industri lain di atas 30 persen sebelum masuk pada gelombang deindustrialisasi.

Ada dua hal yang mampu menggambarkan ini merupakan permasalahan serius. Pertama, kemampuan manufaktur menyerap tenaga kerja. Sektor manufaktur teruji di beberapa negara sebagai sektor yang dapat menyerap tenaga kerja lebih besar dari sektor lain. Namun, di saat kontribusi tenaga kerja di pertanian turun setiap tahun, manufaktur hanya memiliki kontribusi 14,1 persen. Justru perdagangan (23,3 persen) dan jasa kemasyarakatan (16,9 persen) yang mendominasi tenaga kerja paling besar di Indonesia.

Deindustrialisasi berakibat pada turunnya kemampuan sektor ini untuk menyerap tenaga kerja. Pascakrisis, rata-rata tambahan sektor industri tiap tahun hanya 71.190 penduduk, sementara sektor perdagangan dua kali lipat mencapai 144.497 penduduk per tahun dan jasa kemasyarakatan 122.890 penduduk per tahun.

Kedua, minimnya manfaat efek pengganda (multiplier effect) yang dirasakan masyarakat dalam jangka panjang. Dibandingkan jasa, manufaktur memiliki efek pengganda jauh lebih besar. Mulai dari tergeraknya sektor-sektor industri di dalamnya yang mampu memenuhi kebutuhan domestik dan luar negeri melalui ekspor, terserapnya tenaga kerja melalui penciptaan lapangan pekerjaan pendukung industri hingga meningkatnya penerimaan negara dan daerah.

Reindustrialisasi terencana

Indonesia perlu keluar dari zona nyaman yang terlalu mengandalkan industri berbahan baku sumber daya alam dan mulai memikirkan untuk beralih ke industri dengan nilai tambah besar dan dibutuhkan dunia saat ini. Malaysia setelah krisis berani melakukan diversifikasi industri dari produksi berbahan baku mentah menjadi industri berbasis teknologi seperti semikonduktor dan peralatan elektronik lain. Proton sebagai mobil nasional Malaysia juga lahir dan berkembang pascakrisis. Apa yang dilakukan Malaysia saat itu direplikasi oleh Vietnam saat ini dengan mengembangkan kebijakan substitusi impor dengan tujuan ekspor yang mana produk yang dikembangkan adalah perangkat elektronik. Alhasil, kini industri pabrikasi semikonduktor global ternama berbondong-bondong ke Vietnam dan memasarkannya secara global. Vietnam hari ini mampu menguasai rantai produksi semikonduktor global.

Reindustrialisasi perlu terus digemakan, khususnya setelah 20 tahun krisis 1997/1998 di mana kinerja industri Indonesia belum mencatatkan prestasi signifikan seperti masa Orde Baru. Reindustrialisasi bisa berangkat dari membangun visi industri Indonesia ke depan. Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019, pada 2019 industri manufaktur ditargetkan berkontribusi terhadap perekonomian hingga 21,6 persen. Ini artinya reindustrialisasi sudah menjadi target awal pemerintahan Jokowi.

Namun lagi-lagi Indonesia masih menyasar pada rencana pengembangan industri yang kurang strategis. Pengembangan industri padat karya di tengah makin mahalnya harga buruh dan otomatisasi industri bukanlah suatu jawaban terhadap persoalan pelik Industri. Ke depan, Indonesia perlu mengembangkan manufaktur berbasis teknologi atau industri padat riset yang dibutuhkan di dunia saat ini. Jika tak mampu mengembangkan dari awal, liberalisasi industri melalui substitusi impor berbasis ekspor layaknya Malaysia dan Vietnam patut dicoba. Semua demi mengejar pertumbuhan manufaktur yang lebih kencang di masa akan datang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar