Manufaktur
Pascakrisis
Andry Satrio Nugroho ; Peneliti Institute for Development of Economics and Finance
(INDEF)
|
KOMPAS,
04 April
2018
Tahun ini, Indonesia akan
menyambut 20 tahun reformasi yang menandai berakhirnya krisis finansial Asia
1997/1998 yang telah merontokkan sendi- sendi perekonomian.
Dalam perjalanannya, perekonomian
Indonesia hari ini berada pada kondisi stabil. Tingkat inflasi terkendali
dengan capaian tahun lalu 3,6 persen, sejalan dengan prediksi bank sentral.
Posisi cadangan devisa tertinggi sepanjang sejarah, 132 miliar dollar AS.
Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) sudah berada di rentang 6.300-6.500.
Utang, meski jumlahnya meningkat, rasionya masih 29,2 persen, jauh dari
ambang batas yang ditetapkan pemerintah, 60 persen terhadap Produk Domestik
Bruto (PDB).
Indonesia juga mencatatkan
prestasi pada aspek investasi. Lembaga-lembaga internasional seperti Moody’s,
JCR, R&I, S&P dan Fitch secara berturut-turut memberi predikat layak
investasi kepada Indonesia. Peringkat kemudahan berinvestasi (Ease of Doing
Business) naik dari peringkat 120 menjadi 72. Laporan terbaru dari survei US
News, Indonesia peringkat kedua negara yang layak investasi, mengalahkan
Singapura dan Malaysia.
Indonesia juga sudah masuk ke
dalam jajaran negara-negara dengan skala perekonomian 1 triliun dollar AS
(One Trillion Dollar Club). Prediksi Forum Ekonomi Dunia (WEF, 2017) selama
tiga tahun ke depan (2017-2019), Indonesia akan menjadi penyumbang terbesar
kelima pertumbuhan ekonomi dunia. Diukur dari PDB keseimbangan kemampuan
berbelanja (PPP), saat ini Indonesia peringkat ke-8 dunia, diprediksi pada
2050, asumsi business as usual, Indonesia mungkin akan berada pada posisi
empat dunia.
Sejumlah prestasi yang telah
diraih menyisakan pertanyaan, mengapa ekonomi Indonesia terasa tak mampu
melaju kencang? Hingga saat ini, Indonesia mencatatkan pertumbuhan ekonomi
yang stagnan dan cenderung menurun. Pada periode Susilo Bambang
Yudhoyono-Boediono stagnan 6 persen, saat ini, periode Jokowi-Jusuf Kalla
stagnan 5 persen. Padahal, negara berkembang ASEAN seperti Vietnam dan
Filipina, melaju kencang di atas 6 persen. Ekonomi Indonesia berada pada
pertumbuhan alamiah (natural growth) dan ini tak cukup sebagai modal menjadi
negara berpendapatan tinggi.
Melihat pada masa Orde Baru, kita
perlu melakukan introspeksi, peninjauan kembali atas satu prestasi yang tak
mampu direplikasi pemerintahan hari ini yaitu capaian sektor manufaktur yang
gemilang saat itu. Sektor manufaktur merupakan sektor yang berkontribusi
paling besar terhadap perekonomian nasional. Sayangnya, kinerja sektor
tersebut hari ini tidak lebih baik dibanding pada masa Orde Baru. Maka tak
heran, pertumbuhan ekonomi pun tak mampu berlari seperti tiga dekade Orde
Baru dengan rata-rata pertumbuhan hingga sebesar 7 persen per tahun.
Performa manufaktur turun
Kontras ketika melihat pertumbuhan
manufaktur hari ini dibandingkan masa Orde Baru. Data Badan Pusat Statistik
(BPS) menunjukkan pada 2004, setelah mencapai pertumbuhannya tertinggi
setelah krisis sebesar 6,38 persen—di atas pertumbuhan ekonomi 5,03
persen—pertumbuhan manufaktur anjlok di tahun berikutnya menjadi 4,6 persen,
di bawah pertumbuhan ekonomi 5,69 persen. Sampai hari ini, performa manufaktur
tak lebih dari pertumbuhan ekonomi nasional.
Performa manufaktur yang di bawah
pertumbuhan ekonomi tak hanya berdampak pada ketidakmampuan mendongkrak
perekonomian nasional, kontribusinya terhadap perekonomian nasional pun
semakin berkurang. Ini lah yang disebut dengan deindustrialisasi. Kontribusi
manufaktur terhadap ekonomi terus menurun sejak pascakrisis pada 2001. Pada
tahun tersebut, kontribusi manufaktur tertinggi sepanjang sejarah sebesar
29,05 persen terhadap PDB. Hari ini, kontribusi manufaktur terhadap PDB kita
merosot hingga hanya sebesar 20,16 persen.
Kecepatan deindustrialisasi kita
lebih cepat dibandingkan negara Asia Tenggara lain yang umumnya memiliki
kontribusi manufaktur terhadap perekonomiannya lebih kecil daripada
Indonesia. Data Bank Dunia menunjukkan rata-rata deindustrialisasi Indonesia
terhadap PDB 2009-2016 mencapai 3,6 persen, sedangkan Thailand yang
kontribusi industrinya di atas Indonesia hanya turun 1,4 persen, dan Malaysia
yang kontribusi industri pengolahannya di bawah Indonesia, turun 2,4 persen
di bawah Indonesia.
Deindustrialisasi memang terjadi
di beberapa negara, namun kasus Indonesia setelah pascakrisis bisa
dikategorikan sebagai deindustrialisasi prematur. Artinya, peran manufaktur
untuk menggenjot perekonomian tidak mampu meraih titik optimum layaknya
negara-negara industri lain di atas 30 persen sebelum masuk pada gelombang
deindustrialisasi.
Ada dua hal yang mampu
menggambarkan ini merupakan permasalahan serius. Pertama, kemampuan
manufaktur menyerap tenaga kerja. Sektor manufaktur teruji di beberapa negara
sebagai sektor yang dapat menyerap tenaga kerja lebih besar dari sektor lain.
Namun, di saat kontribusi tenaga kerja di pertanian turun setiap tahun,
manufaktur hanya memiliki kontribusi 14,1 persen. Justru perdagangan (23,3
persen) dan jasa kemasyarakatan (16,9 persen) yang mendominasi tenaga kerja
paling besar di Indonesia.
Deindustrialisasi berakibat pada
turunnya kemampuan sektor ini untuk menyerap tenaga kerja. Pascakrisis,
rata-rata tambahan sektor industri tiap tahun hanya 71.190 penduduk,
sementara sektor perdagangan dua kali lipat mencapai 144.497 penduduk per
tahun dan jasa kemasyarakatan 122.890 penduduk per tahun.
Kedua, minimnya manfaat efek
pengganda (multiplier effect) yang dirasakan masyarakat dalam jangka panjang.
Dibandingkan jasa, manufaktur memiliki efek pengganda jauh lebih besar. Mulai
dari tergeraknya sektor-sektor industri di dalamnya yang mampu memenuhi
kebutuhan domestik dan luar negeri melalui ekspor, terserapnya tenaga kerja
melalui penciptaan lapangan pekerjaan pendukung industri hingga meningkatnya
penerimaan negara dan daerah.
Reindustrialisasi terencana
Indonesia perlu keluar dari zona
nyaman yang terlalu mengandalkan industri berbahan baku sumber daya alam dan
mulai memikirkan untuk beralih ke industri dengan nilai tambah besar dan
dibutuhkan dunia saat ini. Malaysia setelah krisis berani melakukan
diversifikasi industri dari produksi berbahan baku mentah menjadi industri
berbasis teknologi seperti semikonduktor dan peralatan elektronik lain.
Proton sebagai mobil nasional Malaysia juga lahir dan berkembang pascakrisis.
Apa yang dilakukan Malaysia saat itu direplikasi oleh Vietnam saat ini dengan
mengembangkan kebijakan substitusi impor dengan tujuan ekspor yang mana
produk yang dikembangkan adalah perangkat elektronik. Alhasil, kini industri
pabrikasi semikonduktor global ternama berbondong-bondong ke Vietnam dan
memasarkannya secara global. Vietnam hari ini mampu menguasai rantai produksi
semikonduktor global.
Reindustrialisasi perlu terus
digemakan, khususnya setelah 20 tahun krisis 1997/1998 di mana kinerja
industri Indonesia belum mencatatkan prestasi signifikan seperti masa Orde
Baru. Reindustrialisasi bisa berangkat dari membangun visi industri Indonesia
ke depan. Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN)
2015-2019, pada 2019 industri manufaktur ditargetkan berkontribusi terhadap
perekonomian hingga 21,6 persen. Ini artinya reindustrialisasi sudah menjadi
target awal pemerintahan Jokowi.
Namun lagi-lagi Indonesia masih
menyasar pada rencana pengembangan industri yang kurang strategis.
Pengembangan industri padat karya di tengah makin mahalnya harga buruh dan
otomatisasi industri bukanlah suatu jawaban terhadap persoalan pelik
Industri. Ke depan, Indonesia perlu mengembangkan manufaktur berbasis
teknologi atau industri padat riset yang dibutuhkan di dunia saat ini. Jika
tak mampu mengembangkan dari awal, liberalisasi industri melalui substitusi
impor berbasis ekspor layaknya Malaysia dan Vietnam patut dicoba. Semua demi
mengejar pertumbuhan manufaktur yang lebih kencang di masa akan datang. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar