Kamis, 05 April 2018

“Bohirkrasi” dan Politik Uang

“Bohirkrasi” dan Politik Uang
Luthfi Assyaukanie  ;   Peneliti Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC), Jakarta
                                                         KOMPAS, 04 April 2018



                                                           
Tulisan Zainal Arifin Mochtar (Kompas, 29/3) layak jadi perhatian. Bukan hanya karena tahun ini (juga 2019) adalah tahun politik, tapi juga karena isu korupsi dan kaitannya dengan pilihan raya (pemilu pilkada) merupakan tema abadi yang mengganggu hari-hari kita.

Apa yang diungkapkan Zainal dalam tulisannya berjudul “Korupsi Membayangi Pilkada” itu kita tahu semua. Begitu eratnya kaitan antara pilihan raya dan politik uang. Pilkada adalah ajang menggelar dosa, dosa publik berupa permainan uang, baik itu berbentuk suap maupun transaksi politik antara calon kepala daerah dan para pemilik modal.

Kita tahu semua bahwa uang dan jabatan bisa dipertukarkan. Calon-calon kepala daerah butuh dukungan dana agar dipilih, sementara para pengusaha yang sudah kehabisan akal bagaimana mengembangkan usahanya mencium peluang bisnis besar dari APBN/APBD. Para pengusaha atau pemodal itu menaruh investasi dengan cara mendanai calon-calon kepala daerah. Imbalannya akan didapat nanti ketika kepala daerah itu terpilih, mereka akan menangguk uang berupa proyek-proyek APBD.

Kolaborasi antara calon kepala daerah dan pengusaha sebetulnya bukanlah fenomena unik di Indonesia saja. Di berbagai negara, transaksi-transaksi di balik layar seperti ini selalu terjadi, termasuk di AS, Eropa, dan di negara-negara manapun yang menerapkan demokrasi. Ada istilah terkenal untuk menggambarkan fenomena menyedihkan ini: “donokrasi.”

Donokrasi menjelaskan keterkaitan erat antara pemberi dana kampanye (donor) dengan calon kepala daerah yang akan bertarung dalam suatu pilihan raya. Di Amerika, donokrasi dilakukan secara terbuka maupun sembunyi-sembunyi. Perusahaan-perusahaan besar memberikan dukungan (pledge) pada calon tertentu untuk mendapatkan kemudahan (atau proyek) jika sang kandidat memenangkan pilihan.

Di Indonesia, kita biasa mengenal istilah “bohir” yang berarti “pemilik modal.” Dalam bahasa aslinya (Belanda), bouwheer berarti “kontraktor”, berasal dari bouwen (membangun) dan heer (tuan). Dalam bahasa Indonesia, khususnya percakapan politik sehari-hari, istilah “bohir” merujuk pada pemberi modal politik. Umumnya, istilah ini digunakan secara negatif. Bohir adalah rentenir politik yang “meminjamkan” uang ke calon-calon yang akan berlaga dalam pilihan raya.

Begitu vitalnya peran bohir, banyak orang yang percaya bohir adalah penentu keberhasilan seorang kandidat dalam pilkada. Orang yang tak punya bohir bisa dipastikan akan mengalami kesulitan. Jika dia bisa memenangkan pertarungan politik tanpa bohir, itu adalah mukjizat, yang hanya terjadi pada para nabi.

Tak berlebihan kalau kita katakan demokrasi yang kita jalani di Indonesia adalah “bohirkrasi.” Pemegang saham terbesar dalam suatu pilihan raya bukanlah rakyat (demos), tapi bohir yang berada di balik setiap kontestan. Rakyat hanya pelengkap saja dari pesta yang mengatasnamakan diri mereka itu. Mungkin bagus juga kalau kita ganti istilah “pesta rakyat” menjadi “pesta bohir.”

Jalan keluar

Bagaimana jalan keluarnya? Seperti saya singgung di atas, ini bukan masalah di Indonesia saja. Di negara-negara maju, donokrasi telah melahirkan pemimpin-pemimpin yang tak (atau kurang) ideal. Mekanisme pemilihan yang sarat campur-tangan donor menyulitkan demokrasi berjalan secara alamiah. Selalu ada kepentingan bisnis di belakang setiap pemilihan politik.

Dampak langsung donokrasi adalah munculnya pemimpin-pemimpin medioker yang kurang pandai bekerja (inkompeten) atau kurang memenuhi ekspektasi publik. Kandidat-kandidat yang terpilih adalah mereka yang bisa meyakinkan sebagian besar pemilih abai (ignorant voters). Dalam berbagai temuan studi mutakhir, sebagian besar pemilih dalam demokrasi adalah kaum ignorant.

Di AS, kombinasi pemilih ignorant dan kepentingan bohir melahirkan kepala daerah yang mengecewakan. Menurut sebuah survei kepuasan publik (approval rating) atas gubernur-gubernur di AS, dari 50 gubernur terpilih, hanya tujuh yang dapat nilai (tingkat kepuasan) di atas 60 persen. Rata-rata gubernur dapat approval rating di bawah 50 persen (Morning Consult, Q4/2017).

Hal sama sebetulnya juga terjadi di Indonesia. Dari 500 lebih pilkada, berapa gubernur atau bupati/walikota yang berhasil menyita perhatian masyarakat karena performa kerjanya? Coba hitung!

Kita lebih sering mendengar kepala daerah yang tertangkap tangan oleh KPK ketimbang mereka yang dapat penghargaan atau pemberitaan karena berbagai prestasinya.

Para ilmuwan politik berusaha mencari jalan keluar dari kebuntuan demokrasi modern. Secara umum, ada dua solusi. Yang pertama bersifat radikal seperti diusulkan Jason Brennan dalam bukunya Against Democracy. Menurutnya, tidak ada cara lain untuk memperbaiki kualitas demokrasi kecuali dengan melakukan “sortifikasi” terhadap pemilih.

Sortifikasi adalah proses penyortiran atau pembatasan jumlah pemilih, misalnya hanya orang-orang tertentu yang benar-benar melek dan peduli politik yang berhak datang ke bilik suara. Mereka yang tak punya pengetahuan atau kepedulian politik tak layak diajak ikut pemilu. 
Mekanisme penyortiran bisa berdasarkan jenjang pendidikan, bisa juga berdasarkan perilaku informasi/pengetahuan yang dikonsumsi seseorang. Brennan menyebutnya “epistokrasi.”

Yang kedua, solusi bersifat struktural yang ditawarkan Ilya Somin dalam bukunya Democracy and Political Ignorance. Sortifikasi bukanlah alternatif ideal buat demokrasi. Selain mekanisme penyortiran yang tak mudah, semangat sortifikasi cenderung diskriminatif. Ignorance (abai) bukanlah sebuah kondisi yang tak masuk akal, tapi justru pilihan rasional pemilih. Di tengah banyaknya pilihan, memilih atau mengabaikan adalah keputusan yang sepenuhnya rasional.

Akar masalah dari buruknya hasil demokrasi adalah karena banyaknya pemilih yang abai. Mengapa para pemilih abai? Menurut Somin karena mereka disuguhi begitu banyak pilihan yang tak mungkin mereka kaji secara mendalam. Cara mengatasinya: mengurangi pilihan, mengurangi jabatan publik, mengurangi posisi-posisi yang tidak penting. Dengan kata lain: merampingkan pemerintahan.

Penggalangan dana

Ada cara ketiga yang menurut saya belum banyak dipercakapkan orang, khususnya di kalangan akademis. Jika masalah demokrasi terkait keterlibatan (emosional) pemilih dan juga pendanaan, memikirkan solusi yang bisa mengombinasikan keduanya adalah jalan keluar terbaik. Saya membayangkan ada sebuah sistem atau platform yang memungkinkan pemilih dalam demokrasi lebih terlibat dengan pilihan-pilihan politik mereka. Misalnya, mendorong mereka agar lebih besar lagi berperan dalam proses pemilihan, bukan hanya datang ke bilik suara, tapi aktif berkampanye dan melakukan penggalangan dana.

Penggalangan dana adalah unsur penting yang bisa menggabungkan emosi pemilih dengan isu pendanaan yang jadi akar persoalan demokrasi. Orang yang mengeluarkan uang (seberapapun jumlahnya), pasti punya ikatan emosional lebih besar ketimbang pemilih minimalis (yang tak menyumbang). Dia akan memantau calon yang didukung.

Dampak positif lain adalah kandidat yang didanai oleh uang masyarakat (hasil dari penggalangan dana) akan merasa lebih bertanggung jawab kepada publik ketimbang kepada seseorang (bohir). Penggalangan dana bukan hanya mengatasi masalah biaya politik yang selama ini sangat rawan, tapi juga mendorong seorang kandidat lebih bertanggung jawab kepada pemilihnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar