Senin, 05 Mei 2014

The Primacy of Teacher

The Primacy of Teacher

Ahmad Baedowi  ;   Direktur Pendidikan Yayasan Sukma, Jakarta
MEDIA INDONESIA,  05 Mei 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
MARI kita telaah secara saksama, apa capaian kualitas pendidikan yang ditorehkan pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam 10 tahun? 

Hanya satu yang menonjol, yaitu meningkatnya anggaran pendidikan hingga mencapai 20% dari total APBN kita. Namun sayang, anggaran sebesar itu tidak dapat dimanfaatkan secara maksimal, entah karena sistem penganggaran yang terlalu naif dan rigid sehingga tak bisa dirasakan langsung oleh siswa di ruang kelas, atau karena kebijakan program yang terasa seperti padat karya, tetapi lemah dalam mengawal elan vital pendidikan bangsa, yang mencerdaskan serta menjadikan siswa manusia yang taat, takwa, dan menghormati sesama.

Beberapa program yang cukup menonjol dan jelas menjadi sumber masalah setiap tahun ialah perihal ujian nasional (UN) yang berkorelasi langsung dengan kualitas guru kita. Logika awam sungguh sederhana. Jika tujuan pendidikan melulu berorientasi pada hasil, bersiaplah untuk kecewa sepanjang masa. Contohnya UN tetap dilaksanakan setiap tahun, tetapi kualitas pendidikan kita semakin jauh dari tujuan. Mengapa demikian? Sebab, bagaimana mungkin dengan kondisi kualitas guru yang rendah secara pedagogis dan penguasaan materi, kita bisa menghasilkan lulusan yang tinggi. Bagaimana mungkin jika hasil UKA dan UKG yang hanya di bawah lima harus menghasilkan lulusan di atas enam?

Wajah pendidikan kita bergerak semakin dalam ke arah yang lebih buruk jika cara menangani dan mengatasi kelemahan pedagogis guru hanyalah sertifikasi. Ketika program ini diinisiasi sekitar 5-6 tahun lalu, pemerintah begitu optimistis bahwa kualitas pendidikan kita akan meningkat. Sertifikasi, sejauh yang saya amati, hanya menambah kocek guru secara finansial, tapi tak berpengaruh sama sekali terhadap perubahan gaya mengajar di ruang kelas. Kegagalan program sertifikasi ini kemudian dikonfirmasi Bank Dunia, bahwa dengan program tersebut guru tak memiliki kejelasan korelasi dengan peningkatan mutu pembelajaran. Sertifikasi hanya efektif meningkatkan minat kaum muda cerdas dan berbakat dalam menggeluti profesi guru. Kualitas pendidikan nasional tetap jeblok, sekalipun program sertifikasi telah sedemikian rupa digulirkan.

Sikap profesional

Sesungguhnya jika kita belajar bagaimana program dan kebijakan sertifikasi ini dilakukan di beberapa negara, hakikat dan logikanya ialah melakukan transformasi keberadaan guru menjadi pendidik profesional. Profesional bukan hanya dalam arti pendapatan yang semakin meningkat. Di atas segalanya, profesional berarti sang guru memenuhi kualifikasi sebagai determinative actors for best educative teaching. Inilah yang menurut Bank Dunia gagal diwujudkan menjadi kenyataan. Jika diucapkan dengan bahasa lugas, sertifikasi tidak serius, main-main, dan permainan belaka.

Dalam rilisnya, berdasarkan penelitian yang dilakukan dalam kurun waktu 2009-2012, Bank Dunia setidaknya telah meneliti pelaksanaan sertifikasi guru untuk 240 sekolah dasar, 120 sekolah menengah pertama, 3.000 guru, dan 90 ribu siswa. Temuan yang mengejutkan, pertama, sertifikasi tak mengubah praktik mengajar dan perilaku guru. Kedua, peningkatan pendapatan guru yang lolos sertifikasi tidak ekuivalen dengan peningkatan mutu mengajar. Baik sebelum maupun setelah lolos sertifikasi, tak ada transformasi yang berarti.

Padahal, sesuai dengan retorika yang tak habis-habisnya didengungkan pemerintah, sertifikasi semestinya bukanlah kebijakan formalistis. Selama ini, pemerintah begitu lihai melontarkan retorika: sertifikasi guru penting demi memacu perbaikan daya saing bangsa melalui upaya peningkatan mutu guru. Pemerintah tanpa jeda membombardir ruang publik dengan ucap kata manis semanis madu, bahwa tantangan globalisasi harus dijawab oleh bangsa ini dengan bersenjatakan pendidikan bermutu. Guru diposisikan sebagai ujung tombak terciptanya pendidikan bermutu. Program sertifikasi guru, seperti acap kali dengan bangga diucapkan pemerintah, merupakan opsi paling logis peningkatan kualitas guru.

Dalam beberapa riset tentang teacher effectiveness, kualitas guru mencakup beberapa hal, yaitu 1) kecerdasan dan kemampuan verbal yang membantu guru mengorganisasi dan menjelaskan gagasan, mengamati dan berfikir secara diagnostik; 2) pengetahuan tentang bagaimana mengajar suatu bidang studi kepada peserta didik (learning pedagogy), secara khusus berkaitan dengan teknik-teknik mengajar dan cara mengembangkan keterampilan berpikir tinggi; 3) kemampuan memahami peserta didik, dinamika, dan gaya belajar, serta perkembangan belajar peserta didik; 4) kemampuan menilai dan merancang pembelajaran; 5) membantu peserta didik yang mengalami masalah atau kesulitan belajar atau mengikuti pembelajaran; serta 6) keahlian melakukan adaptasi yang memungkinkan guru membuat keputusan tentang apa yang dilakukan dalam menyahuti kebutuhan peserta didik (Darling Hammond, 2007).

Harusnya bermutu

Lalu, apakah guru kompeten atau profesional hanya dapat diciptakan melalui sertifikasi guru? Sertifikasi seyogianya ialah pengakuan dari badan atau lembaga profesional terhadap seorang anggota profesi yang telah mencapai standar atau performa tingkat tinggi (advanced). Sertifikasi dilakukan berdasarkan penilaian (assessment) performa, bukan merupakan kualifikasi akademik atau sederet catatan tentang kursus yang telah diikuti seseorang. Selain itu, standar sertifikasi harus memberikan penjelasan tentang satu set standar yang berhubungan dengan akreditasi, lisensi, dan relisensi.

Standar akreditasi, lisensi, dan sertifikasi seperti tiga kaki kursi yang mendukung penjaminan mutu dalam suatu profesi yang telah diakui. Sistem sertifikasi merupakan sarana bagi guru untuk membangun infrastruktur dalam menetap kan standar pengajaran yang bermutu tinggi, meningkatkan, atau mengembangkan standar yang ada dan memberi pengakuan terhadap siapa-siapa yang telah memenuhi standar. Di antara tujuan utama diberlakukannya sertifikasi yaitu meningkatkan efektivitas pengembangan profesionalitas guru. Standar yang sahih akan menjelaskan apa yang seharusnya diperoleh guru-guru jika mereka memberikan kontribusi atau peran signifikan terhadap peningkatan mutu sekolah dan mutu pembelajaran (Ingvarson; Hattie, 2008).

Di Amerika, sebagai contoh, untuk mendapatkan sertifikasi (NBPTS), guru harus menjawab 6 (enam) tes (computer based constructed-response exercises) untuk mengukur pengetahuan atau penguasaan subject matter knowledge, serta harus mengumpulkan portofolio yang berisikan videotapes pengajaran yang dilakukan guru, refleksi tertulis tentang tujuan dan keluaran setiap sesi dan karya peserta didik dengan materi pembelajaran yang direkam (Ingvarson, Hattie, 2008). 

Berdasarkan pengertian sertifikasi tadi, pengumpulan sertifikat yang kini menjadi tren dalam merespons sertifikasi sangat bertentangan dengan substansi sertifikasi sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar