Selasa, 20 Mei 2014

Stagnasi Gerakan Reformasi

Refleksi 16 Tahun Reformasi

Stagnasi Gerakan Reformasi

Agust Riewanto ;   Pengajar Program Pascasarjana Ilmu Hukum UNS
MEDIA INDONESIA,  20 Mei 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
SETIAP memasuki Mei bangsa Indonesia memiliki memori kolektif sejarah yang tak mudah dipupus dari ingatan, yakni 21 Mei 1998 saat mundurnya Presiden Soeharto dari singgasana kekuasaan yang digenggam selama 32 tahun akibat dari gelombang gerakan mahasiswa. Sejak itulah berakhir era Orde Baru (Orba) dan dimulai era Reformasi. Tak terasa kini era Reformasi tengah memasuki usia yang ke-16. Momentum ini selayaknya kita melakukan refl eksi atas hasil-hasilnya.

Pascausainya Orba dan memasuki babakan era Reformasi, ternyata energi intelektual dan kekuatan gerakan reformasi dari hari ke hari kian meredup dan bahkan tak berbekas. Karena cita-cita gerakan reformasi, berupa anti-KKN, supremasi hukum, pemerintahan yang bersih, dan kesejahteraan rakyat yang kian merata, tak terwujud. Lihatlah faktanya, kini kian masifnya perilaku korupsi elite politik, hukum kehilangan roh keadilan, rakyat kian jauh dari rasa makmur dan sejahtera.

Pascalengsernya Orba tak lagi transisional menuju konsolidasi demokrasi, sebagaimana diteorikan oleh Juan J Linz dan Alfred Stephan dalam Problems of Democratic Transition and Consolidation, (1996) tapi bersifat transaksional belaka, suatu ciri dan tanda berkuasanya kroni-kroni rezim Orba dalam format politik baru di era Reformasi. Perilaku politik rezim reformasi berkompromi dengan kekuatan kroni-kroni Orba yang mengubah wajah politiknya dalam suasana era reformasi.

Ciri ini sangat anomali karena sistem politik yang dibangun tidak memiliki arah, tujuan, dan sasaran yang jelas, khususnya dalam konsolidasi demokrasi dan merampungkan sejumlah agenda reformasi yang melahirkan transisi. Dampaknya, sejumlah agenda reformasi yang diusung sebagai suatu momentum bersama untuk melangkah dalam kehidupan politik yang lebih baik tidak terjadi.

Tertawan ideologi uang

Salah satu sebabnya hari-hari ini uang telah menjadi ideologi baru bagi baik semua aktor reformis maupun yang dulu antireformasi di hampir semua sektor publik, nyaris mengalahkan akal sehat. Ideologi uang ini mirip seperti yang disinyalkan oleh sosiolog Ignas Kleden (2004) yang memopulerkan istilah venalitas (venality), yakni gejala uang bisa digunakan untuk membayar dan membeli hal-hal yang secara substansial tak mungkin bisa dibeli dengan alat tukar uang.

Termasuk membeli hukum dan keadilan. Hukum dan keadilan amat bergantung pada uang. Sikap mental materialisme yang bertumpu pada uang itu kini menjadi ideologi para pekerja dan pengabdi hukum kita sehingga budaya venalitas ini terus memasuki ruang-ruang yang dulu mungkin tak dapat dan tak lazim dibeli dengan uang. Hukum dan keadilan idealnya tak bisa dibeli dengan uang. Namun, realitasnya uang menjadi alat tukar utama dan daya tawar utama akan terbitnya keadilan.

Di titik ini kita bisa melihat semuanya bisa dibeli. Siapa memiliki modal, dialah penentu kebijakan politik. Politik yang selama ini diwarnai politik aliran (nasionalis vs agama) sebetulnya hanya permukaan. Realitasnya, tidak ada politik aliran yang benar-benar memperjuangkan visi ideologinya. Yang berkuasa tetap si pemilik modal itu.

Mengelola negara dagang

Aliran dalam politik sekadar komoditas politik, bukan untuk memperjuangkan nilai ideologi yang terkandung. Mereka bergantung pada pemilik modal. Ini yang menyebabkan ketidakmampuan pemerintah bertindak tegas terhadap penyalahgunaan kekuasaan. Ini terjadi tidak hanya di pusat kekuasaan politik di Jakarta, akan telah sampai berurat nadi di pusat kekuasaan daerah (gubernur/bupati/wali kota), bahkan sampai di kantor kepala desa di seluruh Indonesia.

Manajemen yang digunakan oleh elite politik dan pejabat dalam mengelola negeri ini seperti pedagang pasar. Wajarlah bila disebut negara dagang. Hampir semua kebijakan publik di negeri ini diukur terlebih dahulu dari aspek untung-ruginya secara ekonomi dari si aktor pengambil kebijakan. Bila untung, kebijakan dilanjutkan; sebaliknya bila rugi, kebijakan ditinjau kembali.

Fenomena ini persis seperti disinyalkan Yosihara Kunio (1978) yang menengarai kini telah lahir model kapitalisme semu (pseudo-capitalism) di Asia Tenggara termasuk Indonesia, akibat kongsi kebijakan publik dengan kekuasaan politik dan ekonomi. Praktik tersebut bahkan dilakukan secara terang-terangan. Padahal, praktik ini membawa dampak prosedur demokrasi tak lagi berjalan mulus dan normal. Mengamati pergant an pemimpin politik di DPR dan DPRD di negeri ini melalui pemilu legislatif 9 April 2014 lalu yang penuh dengan politik uang (money politics) yang masif. Tampaknya para caleg terpilih hasil Pemilu 2014 tidak akan berdaya menghadapi jeratan ideologi uang. Untuk mengembalikan modal uang saat pemilu. Akibatnya, wataknya bukan lagi pemimpin politik, tapi pedagang politik yang memperjualbelikan kekuasaan melalui kebijakan sosial politik yang propasar dan pemilik modal ketimbang rakyat.

Karena itu, sesungguhnya hasil Pileg 2014 hanya penggantian elite kekuasaan politik, bukan pemimpin sejati. Karena itu, setiap elite politik akan cenderung mengulang kesalahan pendahulunya. Kini di gerakan reformasi yang telah menumbangkan penguasa rezim Orde Baru, segera tampak kekuatan reformasi terjebak dan terpecah-pecah dalam egoisme kekuasaan karena uang. Reformasi telah kehilangan maknanya yang hakiki. Partaipartai politik bermunculan bak cendawan di musim hujan sejak Pemilu 1999 hingga Pemilu 2014, dan setiap pemimpin mengukuhkan kekuasaannya dengan mendirikan partai politik sebagai kendaraan hanya untuk mendapatkan uang dan berbagi kekuasaan belaka.

Akibatnya, hari-hari ini bisnis kekuasaan marak di manamana dan segera melahirkan korupsi, tidak hanya di lembaga eksekutif, tetapi juga yudikatif, legislatif, bahkan lembaga agama, dan partai politik. Akibatnya, kekuatan dan gerak reformasi seakan mengalami stagnasi (kemacetan), tidak berdaya menahan dan mengatasi gelombang korupsi yang kian menggila.

Pasca-16 tahun gerakan reformasi sesungguhnya yang terlihat ialah memimpin upacara pengukuhan kekuasaan melalui Pemilu 2014, bukan memikirkan nasib rakyat. Kesibukan penguasa ialah mendatangi panggung upacara yang selalu diada-adakan, dari satu upacara ke upacara lain, di pusat sampai daerah. 

Sebaliknya pemecahan problem yang dihadapi rakyat dengan sendirinya akan dipecahkan melalui mekanisme birokrasi uang yang busuk dan dengan sendirinya akan melahirkan kebijakan publik yang propemilik modal. Oleh karena itu, sesungguhnya ideologi uang telah memacetkan dan menawan jalan reformasi di negeri ini.

Kini gerakan reformasi mengalami stagnasi (kemacetan) dan terperangkap dalam lorong gelap. Sistem politik yang dibangun tidak memiliki arah, tujuan, dan sasaran yang jelas, khususnya dalam konsolidasi demokrasi dan merampungkan sejumlah agenda reformasi yang melahirkan transisi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar