Politik
Ingatan
Bre
Redana ; Penulis kolom
“Catatan Minggu” Kompas
|
KOMPAS,
25 Mei 2014
Salah
satu korban penculikan di seputar tahun 1998 pernah bercerita kepada saya mengenai
pengalamannya diculik, dianiaya, disiksa pada waktu itu. Sambil bercerita
mata dia kadang berkaca-kaca, mengenang titik paling nadir dari hidup yang
dikiranya bakal segera berakhir. Bahwa dia selamat, ia yakini sebagai
keajaiban dan karena berkah Allah.
Ia
bercerita sangat detail. Di antara detail cerita yang saya ingat adalah
bagaimana dalam keadaan mata ditutup kain, ia mencoba mengenali keadaan
sekeliling dan para penyiksanya. Dia kerahkan pendengarannya, juga
penciumannya. Pada suatu ketika ia menangkap sosok baru masuk ruangan. Dia
membaui aroma parfum mahal. Ia berkesimpulan, sosok ini pasti perwira tinggi.
Saya
jadi ingat Milan Kundera, novelis Ceko yang terusir dari negerinya. Melalui
novel-novelnya, banyak sekali Kundera membabar teka-teki mengenai memori,
mengenai ingatan. Berada pada ruang yang sama, waktu yang sama, peristiwa
politik yang sama, apa yang diingat si korban ini misalnya, pasti berbeda
dengan yang diingat sosok yang ia tengarai perwira tinggi berparfum mahal.
Sahabat
saya si korban mengingat sampai detail aroma parfum. Andaikan di hadapannya
saya bawa sampel sejumlah parfum mahal, pasti dia bisa mengenali mana yang ia
baui waktu itu. Sama seperti cewek, yang barangkali masih terbayang-bayang
aroma parfum cowok yang pernah dicintainya pada suatu masa. Ah....
Di lain
pihak, apa yang diingat si perwira? Mana mungkin ia ingat parfum yang
dipakainya. Maklum kaya. Parfumnya banyak. Siapa makhluk sial yang
compang-camping berdarah-darah di hadapannya boleh jadi ia lupa. ”Nothing personal”, saat itu cuma
tugas negara. Bahkan ada peristiwa penculikan pun jangan-jangan dia lupa.
Begitulah
memori bekerja. Ibarat geografi, memori adalah wilayah yang separuhnya
hilang, menjadi terra incognita, daerah tak dikenal. Pada simpul-simpul sejarah,
kami mengingat sesuatu, kalian tidak. Atau sebaliknya, kalian mengingat yang
kalian paksakan untuk diingat semua orang, dan untuk itu kami bilang tidak
dan tidak. Kami sadar, memori rentan untuk dimanipulasi, serta sanggup
memanipulasi dirinya sendiri.
Setiap
orang hendaknya sadar mengenai hal ini. Baik-baiklah menjaga memori, menjaga
otak masing-masing, agar tidak gampang hilang ingatan. Ada itu politikus
berusia mbah-mbah, yang jadi bahan
ketawaan di dunia maya, karena baru kemarin bilang A, sekarang bilang lain
lagi.
Ingat,
terbawa perkembangan teknologi informasi termasuk di dalamnya microchip alias
memori buatan, memori manusia menjadi kian lemah karena kurang terlatih.
Kalangan muda, generasi gadget, rentan terkena sindrom ini.
Gejala
ahistorik bermula dari situ. Pada awal republik ini misalnya, cerita mengenai
para pejuang kita adalah cerita tentang keberanian berbagi penderitaan,
kebersahajaan, termasuk romantisme berbagi sepiring
nasi
bersama saudara kita di gunung, di desa. Ada lagu langgam-keroncong berjudul
”Caping Gunung”, yang dengan bagus menggambarkan semangat tersebut. Kisahnya
kurang lebih, di zaman perjuangan, kami orang gunung mengasuh kamu para
pejuang dengan makanan dan tempat tinggal. Kini, di zaman merdeka, kok kamu
lupa....
Sebagian
politisi mencoba mempertautkan kekinian mereka dengan masa yang hilang tadi,
lewat simbol-simbol dan atribut yang mereka kenakan. Lihat, mereka mengenakan
peci, yang pada zamannya menjadi simbol kaum republiken.
Betapa
susahnya simbol-simbol baru, atribut baru, outfit baru ini mendadani
roh-tubuh-jiwa yang sudah berubah. Dulu setiap orang ingin diakui lebih
menderita dan lebih banyak berkorban dibanding yang lain. Itulah heroisme
zaman itu.
Sekarang
orang ingin diakui sebagai manusia sukses. Pahlawan zaman ini adalah orang
yang sukses, kaya, bukan orang yang menderita, apalagi korban.
Soal
ingatan, memori, banyak orang tak peduli. Asal sukses, banyak duit, lupa
ingatan tak jadi masalah. Tetap dielu-elukan.
Korban
perlu hati-hati. Jangan-jangan mereka ditembak dua kali.... ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar